Minggu, 06 Desember 2009

Sindrom Skripsi


Semester tujuh bagi sebagian mahasiswa bukanlah masa yang perlu merenggut separuh waktu. Berbeda dengan realita yang harus dijalani Delisha dengan teman satu kampusnya. Awal semester tujuh adalah ambang batas kecepatan arus kencang tak berperasaan bagi jiwa-jiwa penuntut kebebasan dan pengagum ketidakseriusan. Termasuk Delisha yang belum siap menghadapi puncak keseriusan langkahnya.
Berbagai gejala muncul satu per satu. Sibuk, lelah, pusing, bosan, hingga stress menampakkan wajah bengis di sepanjang koridor. Dengan modal 40% keseriusan ditambah 35% kesiapan plus 55% semangat,

Delisha mencoba masuk dalam bisnis reputasi akhir itu. Dia tak ingin tergilas waktu.
Di hari yang dianggapnya akan membawa keberuntungan, Delisha mencoba mengajukan judul hasil mesin terbaik otak. Lambat tapi pasti. Pelan tapi mulus, bujuk nuraninya. Entah sudah berapa detak jantung memaksa peluh bercucuran. Menegangkan urat saraf dalam jasad kaku di depan dosen pembimbing.
Senyum itu akhirnya mengembang tapi hanya beberapa detik telah terganti oleh gelengan kepala Sang Pembimbing disusul kata manis yang takkan terlupakan.
“Ajukan judul ulang ya!”
“Ya, Pak.” Hanya itu yang mampu keluar dari lidah kelu Delisha. Terpuruk, sudah pasti. Ingin berteriak melampiaskan kecewa tapi tak mungkin. Masih terlalu tinggi rasa malu yang dijunjungnya.
Berjalan dengan kepala teertunduk sungguh tak nyaman. Tapi entah sudah sejauh mana kaki melangkah Delisha tak mampu menatap ke depan. Trauma, mungkin itu yang dirasakannya.
Sapaan hari belum mampu melembutkan rasa sesal dalam hatinya. Hingga hati nurani bertindak. Kamu tak boleh seperti ini Delisha! Ayo bangkit, tunjukkan kalau kamu bisa! Bisikan itu sangat kuat menghujam hati kecilnya.
Tak ingin tertinggal terlalu jauh, dibongkarnya semua bahan kuliah selama ini. Slide-slide kuliah, catatan dan buku dilahapnya. Judul baru itu harus segera lahir. Semua sia-sia. Ide itu seakan terpenjara di ruang beku.
Bertambah sudah gejala baru dalam arus itu. Malas. Gejala itu memaksa jiwa-jiwa lelah lebih rajin ke perpustakaan dibanding kuliah. Di titik gerah itu Delisha berusaha membangun diskusi dengan teman-temannya.
“Gimana kalau aku ambil tema kespro tapi variabelnya media Hp?”
“Bagus juga, apalagi di kampung-kampung sekarang banyak sekali remaja yang buka facebook, internet gitu pakai Hp. Siapa yang tahu kalau mereka buka hal yang berbau pornografi.” Saran Neny.
Tema itu menghantui malam-malam Delisha. Yang akhinya pupus oleh judul baru dari rumusan bahan semester lalu. Dan tanda tangan tanda acc berhasil menghiasi lembar usulan judul Delisha.
Kini dia mencoba masuk dalam gelombang itu. Berkutat dengan hal-hal baru yang sulit dia bayangkan. Kuliah semakin menuntut eksistensi penulisan skripsi. Walaupun nyali yang terpancang kuat dalam benak Delisha mulai menyusut. Dia tak sanggup dalam himpitan keseriusan dan kesibukan. Ditambah tuntutan amanah luar yang semakin menyesakkan dada. Tak mampu dia berpikir jenih dalam hembusan nafas bebas. Hatinya ingin menyesali langkah itu tapi tak ingin ada penyesalan. Dan hanya mampu bertanya “Kenapa kondisi ini seakan sindrom yang menggerogoti raga, seakan tak mampu rileks menjalani hari?”.
Delisha tak ingin mendramatisi keadaan itu. Tapi merasakan sindrom itu membuatnya harus memacu diri lebih maju. Para jiwa-jiwa lelah seakan ingin segera meninggalkan kampus yang telah membesarkan jiwanya. Lari dari tuntutan peran besar sebagai mahasiswa. Ataukah mereka sudah bosan dengan aturan-aturan yang terasa mengganggu apresiasi diri.
Jauh di lubuk hati Delisha masih banyak hal lain yang ingin dicapainya sebagai mahasiswa. Mungkin bukan dari ranah akademik, tapi ranah lain yang ingin dia coba bangun. Masih ada rasa juang yang ingin diembannya disela tuntutan keluarga dan rasa iri pada pergerakan rekan seperjuangan.
Waktu semakin membawa Delisha pada ruangan sesak. Mencoba eksis meraup banyak waktu terbuang dari sisinya.
“Sa, sibuk sekali ya? Padahal ada lomba nasional bergengsi, kamu harusnya ikut.” Sukma mencoba menyadarkan tentang karirnya. Ajang bergengsi itu memang harus ada nama Delisha, setidaknya sebagai peserta.
Rasa penasaran yang terlalu tinggi merubah konsentrasi Delisha. Arah yang telah jelas ditempuhnya berubah haluan. Aku harus ikut lomba itu, tegas hatinya.
Berteman google, kertas, pulpen, laptop dan teman-teman yang kadang membawa pada alam kegilaan imajinasi dijalaninya. Minus 3 hari membuat bantal harus iri pada tuts laptop. Draft proposal pun harus merintih mencoba mencari perhatian. Delisha semakin jauh dalam dunia imajinasinya. Kesibukan teman-teman dan nuansa hangat konsultasi dengan pembimbing tak melenakan Delisha.
“Sudah ada kupon Kak?” tanya Delisha.
“Belum, nanti Sukma yang belikan. Sudah selesai naskahnya?” Delisha hanya menggelengkan kepala menjawab pertanyaan kak Vina.
Minus 1 hari lagi pemasukan berkas lomba ditutup. Delisha telah merampungkan semuanya. Dengan langkah ringan dia pergi menunaikan kewajiban sebagai mahasiswa.
“Hai Delisha, kemana saja? Oh ya kalau tidak salah kamu dan teman satu pembimbing akan praproposal 3 hari lagi.” Ucapan Gina meruntuhkan bangunan senyum di pipinya. Delisha tak mampu menjawab apa-apa. Sungguh dia belum siap dengan semua itu. Tak pernah disangka secepat itu arus membawanya pada ambang akhir kampus.
Kembali Delisha berjuang di sisa nyali yang dimilikinya. Malu, sungguh malu pada berkas-berkas proposal yang pernah dia abaikan demi reputasi dan penghargaan yang belum pasti. Bab 2 masih terlalu gersang sedangkan bab 3 dan 4 menari tak sabar untuk segera dijamah. Hari-hari itu berguguran. Delisha pun terkapar di gulita malam.


Rabu, 18 November 2009

Ada Kalanya


siapa yang tahu bila langkah ini tersandung dan harus meneteskan pilu di wajah.
siapa yang menduga kalau hati terkadang diambang ketidakberdayaan
adakalanya pandangan rabun oleh silau perasaan yang lembut, membawa hati pada pencarian yang kandas.
fenomena-fenomena dalam gerak juang memang tak lepas dari godaan. apalagi kerikil tajam yang menyentuh kadang terlalu sakit menggores hingga sanubari. Tapi semua itu akan membawa kita pada kedewasaan dan kebijakan.
Coba lihat!!!daun-daun di pohon yang rindang tak selamanya bertengger gagah di dahan. Mereka berguguran dalam lelahnya. Ada yang jatuh sia0sia, tapi ada pula yang membusuk kemudian menjadi pupuk yang menambah suburnya pohon itu. Hingga lahirlah daun-daun segar baru menggantikannya.
semua mencoba menjadi yang terbaik walau mereka tahu tak mungkin mampu sempurna.Ada ungkapan yang mengatakan "bila tak mampu menjadi beringin yang tumbuh di puncak bukit maka jadilah belukar. Belukar yang terbaik tumbuh di tepi danau. Bila tak mampou menjadi belukar jadilah rumput tapi rumput yang terbaik yang memperkuat tanggul pinggiran jalan. Jika kita tak mampu menjadi jln raya, jadilah saja jalanan kecil yang membawa orang ke mata air. Tak semua orang akan menjadi nahkoda, tentu ada awak kapalnya. Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi rendahnya diri kita tapi sejauh mana kita bekerja dan menyelesaikannya"

Kamis, 01 Oktober 2009

Pilu


Segelas air putih kupaksa melewati kerongkongan. Hambar. Riak kemelut batin bercampur kecewa mulai memuai di mata. Potongan kisah hariku memenjarakan dalam buih tanya.
“Persetan dengan persahabatan. Mungkinkah ada pertemanan yang tulus tanpa kepentingan?” Kucengkeram gelas air minum dengan geram. Terbayang senyum indah di wajah curang Inez, menyayat gemilang prestasiku. Kejernihan mata Anggun telah berhasil menyilaukan harta keluargaku.
Ah… BRUKK
Akhirnya gelas di tangan takluk pada kerasnya lantai. Pecahan-pecahan kemilau itu semakin memudarkan ceriaku. Tersungkur di dasar menara ketenaran yang kubangun.

“Tuhan… Kenapa ini terjadi padaku? Dimana ketulusan itu?” Hatiku gelap. Tarian istigfar tak kuhiraukan lagi. Kuraih kunci CR-V silverku. Berusaha lari dari kepungan asap kecewa.
Alunan adzan, entah mengapa selalu berhasil meraihku. Kuparkir CR-Vku di depan mesjid kampus. Hiruk pikuk itu masih sama. Lamban dalam dawai berirama. Bulir-bulir wudhu berjalan di raut yang tak pernah lelah bergerak demi sebuah kemenangan pasti. Aku iri pada wajah tawadhu di tangga mesjid. Damai bersanding di sisi jiwanya. Bersenandung membingkai sibuknya dakwah.
Ah… Semu.
Niat yang telah terpancang kuat kuurungkan. Kupandangi kerikil basah di taman mesjid.
“Oh, afwan.” Seorang gadis menabrakku. Aku tak peduli, dan malah sibuk mengamati jilbabnya.
“Aku tidak sengaja. Anda marah ya?” Kupingku memerah. Sekedar basa-basi, batinku. Terlanjur gelap hatiku untuk melihat sebuah keramahan.
“Tidak.” jawabku sekenanya.
“Tapi, kedengarannya tidak ikhlas. Keikhlasan itu perhiasan terindah akhlak, lho.”
“Kamu tidak bisa lihat ya? Aku tuh tidak apa-apa” Intonasiku meninggi.
“Afwan aku buta. Syukurlah.” Sesungging senyum pisah yang sangat manis.
Kutinggalkan mihrab suci itu. Menyusuri lekukan pilu yang tiba-tiba bergabung dengan kecewaku. Berjalan tanpa arah pada titian rapuh jiwaku dan berhenti di keremangan magrib di kotaku. Selintas kupandangi para jamaah yang bertengger pada sucinya niat.
“Kenapa aku kembali kesini lagi?” tangisku pelan. Sepi. Hatiku sendiri meraung melewati pilu. Kuseret langkah menuju tempat wudhu. Aku iri pada kerikil di taman mesjid yang selalu basah. Damai dalam genangan air wudhu.
"Syukran Via." Sayup kudengar suara tadi sore.
Gadis itu, ucapku lirih. Senyum yang tak pernah hilang. Berdendang dalam salam. Senada dengan gurau. Berbalas tawa dan rangkulan. Aku sakit memandang keakraban itu. Disanakah persahabatan yang tulus bisa kutemukan?
Sejuknya wudhu terpaksa kuabaikan. Kudekati dia. Mencoba merangkai cerita baru. Senyum itu selalu anggun di wajahnya. Teduh, mengukir ikhlas dan syukur. Bagaimana mungkin ada syukur dibalik ketidaksempurnaan?
“Aku bersyukur masih diberi kesempatan untuk mendengar ayat-ayatNya. Aku memang tidak bisa, melihat tapi aku yakin Dia Maha Melihat. Kusyukuri semua yang ada. Iman, keluarga, saudara, teman dan sahabat.”
Nalarku kembali meronta. Sahabat? Bergetar lidah berusaha mematahkan kebenaran. Terlalu jauh kecewa merambah hatiku.
“Cobalah memahami apa yang ada disekitar kita. Jangan pernah menuntut untuk selalu dimengerti karena yang bisa mengerti diri kita adalah diri kita sendiri.”
Kamu tidak mengerti Alya-nama gadis itu. Terlalu banyak lumpur khianat bergelantungan. Menjaring persahabatan dan ketulusan pada sarang kelabu. Melenyapkannya dari nuansa hari-hariku.
“Ukhuwah adalah ketulusan persaudaraan karena dihimpun oleh iman.” Alya mencoba menyelami jiwaku. Kucoba merangkai kembali memori cerah masa beliaku di kampus.
“Mukenanya ukhti.”
“Oh, syukran.”
“Ukhti sehat?”
“Alhamdulillah.” jawabku dengan senyum.
“Jadi dong ikut ke rumahnya Ummi Aminah? Rugi lho kalau tidak datang. Aku jemput ya.”
Aku pun bergerak pada arus yang sama walaupun justru bermuara pada lembah yang beda. Persaudaraan yang kuanggap begitu tulus. Tapi dimana mereka saat aku terjatuh? Dan saat para iblis menyeretku?
“Oh...” Kutangisi piluku. Tetesan bening di pipiku kini membasahi kerikil di taman mesjid yang akan selalu basah. Kuberlari berusaha menjauh. Mencari penawar pilu. Begitu galau nuraniku. Entah apa sebenarnya yang kucari? Mungkinkah ada yang bisa memahamiku? Hanya satu yang kuyakini. Sejauh apa pun aku berkelana, kuyakin pasti akan kembali kesini.
***
Kususuri jalan siang tadi. Kembali kepangkuan zona nyaman bahteraku. Namun, Kawasaki di persimpangan sana mencoba melawan maut. Aku tak tahu kenapa bumi terasa berputar bukan pada porosnya. Matahari pun kehilangan sinar. Dan semua potongan-potongan film kemarin kembali muncul.
“Mau ke pestanya Uki tapi bajuku jelek-jelek. Traktir dong Sof! Satu aja cukup.”
“Sorry Anggun. Aku lagi ingin menghemat. Pinjam bajuku saja. Atau tidak usah datang. Mendingan kita ikut acaranya Zakiyah.”
“What? Kamu sudah gila ya, Sof? Pesta mewah ditolak demi acara nggak penting.”
“Aku sudah janji. Nggak enak sama Zakiyah.”
“Kamu mau kembali menjadi orang yang sok sibuk mengurus…”
“Cukup. Mereka orang baik dan sangat baik. Mereka tidak pernah mengajak temannya untuk boros dan hura-hura nggak penting.”
“Kenapa kamu membela mereka? Bukannya kamu sendiri yang memutuskan hubungan karena tidak betah dan…”
“Itu karena kamu yang meracuni pikiranku dengan argumen-argumen basi.”
Uh... desahku mengiring potongan film lainnya.
“Kenapa kamu mengajukan judul yang sama. Itukan ideku Nez.”
“Kamu sih lamban.”
“Tidak bisa begitu dong. Itukan sama saja kalau kamu mencuri atau menciplak hasil pikiranku. Kamu curang.”
“Ini persaingan. Dalam persaingan tidak ada istilah seperti yang kau sebutkan itu. Karena toh yang akan dikenal orang adalah siapa nama yang tertera di karya itu. ”
“Aku kira kamu sahabatku. Yang bersedia mendengarkan curhatku. Menjadi juri dan pembimbing ide-ideku. Tapi aku salah. Kamu ternyata duri dalam daging.”
“Terserah kamu mau bilang apa. Ingat Sof, tidak ada orang yang ingin rugi. Apa yang bisa kau berikan padaku sebagai sahabat? Cuma sekedar tempat curhat dan peti penyimpang ide-ide kamu? Tidak Sof.”
Semua kini tampak pudar, suram,dan semakin gelap.
"Sof... Sof... Sofia bisa dengar suara mama kan? Ukh... Ukh... Ukh" Samar kudengar tangisan mama.
"Tuhan, jangan kau biarkan pencarianku berlabuh sampai disini. Aku masih ingin memandang kerikil-kerikil basah di taman mesjid." Pada rapuhnya jiwaku sempat terbayang senyum Alya dalam majelisnya sebelum cairan infus bercampur cairan tubuhku. Benarkah yang kucari ada disana?



Kamis, 10 September 2009

gadis itu bernama Mutiah


Gadis Itu Bernama Mutiah
“Woi…tahan gadis itu. Kurang ajar, mereka mau main-main dengan aparat.”
“KEJAR…!!!”
“Aduh! Lindungi yang lain!”
“Ah…”
Aku pilu. Hiruk pikuk itu terhenti di ujung batas kebebasan. Sel penjara membingkai perih medan demonstrasi siang tadi. Pantulan suara hati teman mahasiswa di bibir kami berbuncah amarah lumrah mereka yang gelap hatinya.
***
Pikiran beku yang terkurung harus meronta saat langkah-langkah perkasa memecah sunyi.
“Bawa dia masuk!!!”
Tampak seorang gadis muda yang diseret ke dalam sel. Dia sangat kusut. Wajahnya pucat menyiratkan kepahitan.

“Sekarang kamu sudah punya teman disini.” bisik Pak Sipir pada gadis itu.
“Hai manis…” Aku tercekat. Mata Pak Sipir seakan menelanjangiku. Kucoba menenggelamkan tubuh di tembok beku. Pak Sipir mencoba menjangkauku.
“Jangan… Jangan sentuh aku!!!” pekikku tertahan dalam ruang hampa.
“Jangan sentuh dia!” Gadis itu mencoba membelaku. Pembelaan yang merongsokkan wajahnya. Tangan jahil Si Sipir beralih mencengkeram wajah lugu Sang Gadis. Hanya sesaat. Karena panggilan keramat menulikan Si Sipir. Dia pun beranjak pergi.
Ku hembuskan nafas lega. Niat hati berucap terimakasih pada Sang Gadis tapi dia mematung. Aku pun memilih terpekur dalam diam. Tatapanku tak lepas dari gadis muda berkulit hitam manis itu. Bibirnya terkatup dalam diam merona basah di wajah berbaur tatapan kosong. Menampilkan siluet gadis kecil berlari riang menyongsong Sang Ayah yang tertunduk. Riang berpendar menjadi pilu di ujung lidah yang berucap kebenaran berbuah kecurangan dari mereka yang culas. Mungkin ayahnya baru saja dipecat.
Aku terus berkelana di relung tatapan kosongnya. Udara dingin menyusup menambah perih tubuh yang lebam. Kurasakan dera membanting, meremukkan impian di garis kulit yang memerah. Gadis itu tampak rapuh, terkurung dalam terali besi yang kokoh. Entah sudah berapa pukulan dan tamparan mengenai tubuh itu. Dia ingin menangis, tapi air mata telah kering. Dia ingin berteriak, tapi untuk apa toh tidak akan ada yang peduli. Dia terbelenggu karena salah yang tak pernah dia tahu.
Tiba-tiba aku terjungkal, gadis itu mengeluarkan air mata tanpa suara. Bening tetesan itu membiaskan potongan pilu tentang ronrongan tiga laki-laki berseragam. Wajah Gadis Muram, gelar dariku. Dia harus rela menerima tamparan polisi berkumis yang tampak garang. Betisnya harus kuat menahan tendangan Si Perut Buncit yang kasar. Dan punggungnya harus tetap tegak walaupun pukulan Si Kribo sangat menyakitkan. Tetapi bibir itu tetap diam karena dia tak tahu apa-apa.
***
“Hai, namaku Indah. Makasih ya tadi. Ehm, kamu siapa? Kok kamu bisa disini juga?” Kucoba merajut perkenalan sebagai awal sulaman pertemanan. Tapi gadis itu tetap diam dan larut dalam alam pikirannya sendiri.
Malam kian larut. Entah sudah berapa ribu detik telah kulewatkan bersama Gadis Muram itu dalam diam? Ingin rasanya kukisahkan suasana demonstrasi siang tadi padanya. Tentang kemunafikan, kebodohan dan sikap pengecut mereka yang menganggap aksi kami hanya karena kepentingan sepihak.
Kelopak mata yang kupaksa tetap terbuka mulai kelu. Sunyi bersama diam adalah sebuah kolaborasi menjenuhkan. Kubaringkan tubuh yang penat oleh ketidakpastian dan kaburnya keadilan. Perlahan-lahan cahaya rembulan merayap di raut muka sosok yang sejak tadi setia kupandangi.
Dia tersenyum di tengah kegalauan hati. Digerakkannya tangan dan kaki mencoba menjangkau jeruji besi. Rupanya interogasi siang tadi meninggalkan sakit yang menyiksa hingga dia hanya mampu mengaduh dan kembali diam. Sungguh pilu melihat airmatanya jatuh memecah cahaya yang sempat bertengger di wajah.
Kucoba untuk peduli, tapi…sia-sia! Dia tetap diam membekap dada, menatap dinding penjara yang bisu. Kembali kucoba berkelana jauh dalam gelombang lurus tatapan itu. Nihil. Terlalu susah untuk menembus bayangan kisahnya. Di tengah kantuk yang menyiksa, aku menonton potongan film yang berkelebat dari suara pilu Si Gadis Muram.
Gadis muda berambut sebahu tampak diseret keluar dari rumah sederhana. Dia mencoba melawan tapi tenaganya tak sebanding dengan kekarnya otot-otot aparat kepolisian. Dia pun sampai pada batas kebebasan. Pria berseragam pengayom masyarakat, berwibawa tapi picik, mendekatinya dan berkata,“Dimana ayahmu, Si Teroris itu??? Kamu pikir mudah menyusup ke dunia ini, Ha…Sok pahlawan. Sok peduli. Sok suci. Orang kayak kalian mending diam aja di rumah. Tahu apa tentang dunia politik? Untuk apa pusing mikirin HAM, Korupsi dan SARA, yang penting kita senang. Sekarang jawab dimana ayah kamu? Biar dia tahu buah perlawanannya.”
Tiba-tiba aku meringis, gigitan nyamuk menyerang pipiku. Gadis itu telah terlelap padahal potongan film itu masih samar. Jadi gadis ini adalah anak seorang aktivis HAM yang mengungkap keculasan pembebasan wilayah seribu gunung. Bukannya dia seorang penulis berbakat yang sarat perjuangan? Diakah penulis muda yang setia menggores kebenaran dari mulut ayahnya? Pertanyaaan-pertanyaan nakal mulai berlompatan di alam pikiranku. Jangan tanyakan kenapa? Aku pun tak tahu keahlian apa yang ada di balik sikap kritis mahasiswa sepertiku, dan perjuangan apa yang kurencanakan malam ini?
***
Batas kebebasan yang kuanggap menghapus impian tak berlaku bagi Gadis Muram, teman satu selku. Ujung pulpennya tak pernah tumpul menggores kisah perlawanan hingga aku terlepas dari kurungan nasib di balik terali besi.
Siapa yang menduga kelincahan lidah Sang Pengacara mampu melumpuhkan kuatnya kemunafikan pihak yang bermata gelap. Gadis Muram berambut sebahu akhirnya mampu merajut kembali mimpinya dalam indahnya kebebasan, sebulan setelah aku terbebas.
Siapa sangka diam dan deritanya melahirkan tulisan fenomenal kemanusiaan. Andai dia takut menyusul ayahnya ke kota yang konon sejuta mimpi. Andai dia kehilangan ketegaran di atas altar suci kebenaran. Para algojo berdasi tidak akan memelas di himpitan terali besi.
Sungguh tak mudah mengukir kebenaran. Tapi perlawanan tak boleh tamat hanya karena fisik dan kekuasaan karena Gadis Hebat, gelar baru yang tersangkut- membuang gelar Gadis Muram-telah membuktikannya. Kelihaian susunan kata yang berjejer rapi di tiap lembar telah mengukir sejarahnya sendiri. Melantunkan nada perlawanan yang berbuah kebenaran.
“Hadirin, teman dan sahabatku semua. Sebelum berdiri disini. Abu-abu kepastian bertiup terang menyilaukan hingga aku tak mampu menatap cerah wajah hadirin. Aku takut gadis itu tidak datang di malam puncak penganugrahan pemuda terbaik bangsa ini. Dia pantas menjadi bintang terang malam ini karena perjuangannya melalui tulisan. Gadis itu tak pernah layu dalam menebar ide-ide gemilang, ide ceria, kasih sayang dan perlawanan. Dialah inspirasiku hingga akhirnya aku mampu berdiri disini mewakili bapak menteri pemuda dan olahraga. Gadis yang kuceritakan tadi bukanlah tokoh pewayangan ataupun tokoh negeri dongeng. Dia ada diantara kita sekarang. Duduk anggun dalam balutan kebaya ungu. Gadis itu bernama Mutiah.” Kuakhiri sambutanku dengan sebuah pesan perjuangan. Tepuk tangan riuh memenuhi ruangan. Dan semua pandangan tertuju pada Mutiah, tapi gadis itu hanya diam.







Rabu, 12 Agustus 2009

puisi

RIAK BULAN JUNI
gemerincik sentuhan juang
mengalir dalam rembesan masa depan
terdesak di ombak asa
memaksa buih merangkul arus
terbelenggu dalam riak-riak tak beraturan

riak senyum, lembut menyentuh pantai
kala goresan lahirkan cerita
riak air mata memecah karang
bersama titik tinta berserakan
ah.riak bulan Juni

Sabtu, 25 April 2009

lintas

LIHATLAH KAWAN!!!












Senin, 06 April 2009

artikel

KEANEHAN SEX DI PENJURU DUNIA
Keanehan yang terjadi di berbagai belahan dunia ini dapat dijadikan renungan atau pemikiran bahwa kita hidup di dunia dengan kejadian yang beragam dan aneh-aneh. Janganlah kita ikut-ikutan bertingkah aneh, karena kejadian di bawah ini sudah cukup untuk dijadikan pelajaran bagi kita semua.

1. Di Lebanon, pria diperbolehkan ‘bercinta’ dengan binatang, asalkan binatang itu betina. Hukuman mati dikenakan bagi pria yang ketahuan berhubungan dengan binatang jantan.
2. Di Bahrain, dokter pria sah secara hukum untuk memeriksa alat vital wanita, tetapi dilarang secara langsung melihatnya selama pemeriksaan. Mereka hanya diperbolehkan melihatnya melalui sebuah cermin.


3. Di Guam ada pekerjaan full-time bagi para pria untuk memerawani gadis-gadis, yang membayar mereka untuk melakukan hubungan badan pertama kalinya..
Alasannya: Menurut hukum di Guam, wanita yang masih virgin dilarang menikah.
4. DiHong Kong, istri yang dikhianati sah secara hukum membunuh suaminya yang selingkuh, tetapi hanya dengan menggunakan tangan kosong. Sedangkan selingkuhannya, boleh dibunuh dengan cara apapun.
5. Di Cali, Kolombia, wanita hanya diperbolehkan berhubungan badan dengan suaminya,dan pada malam pertama, sang ibu dari wanita harus berada di dalam kamar untuk menyaksikan adegan tersebut.
6. Di Santa Cruz, Bolivia, adalah tindakan melawan hukum jika seorang pria melakukan hubungan sex dengan seorang wanita dan anak perempuannya pada saat bersamaan.(pratamastory.wordpress.com)
NAUDZUBILLAH...

Selasa, 24 Maret 2009

cerpen

MENANTI CAHAYA
Oleh: Ani Dzakiyah
Hujan. Petir. Angin. Berirama mewarnai pagiku. Tetesan hujan melukis wajah yang selalu dirindu. Ada rasa pelan-pelan bergabung dalam risau hati menanti cahaya. Rasa itu pernah hilang. Berlabuh terlalu jauh dari hari-hariku. Ah, romantisme yang pernah hilang.
Hujan terus turun menyebar bau tanah. Kapan hujan reda? Pertanyaan itu langsung terjawab dengan kilat menyambar membuatku semakin gelisah. Kadang hujan bercerita tentang kerajaan di balik awan yang putih. Mengabarkan nyanyian terindah para dayang. Dan menyampaikan salam terhangat Sang Ratu. Tetap saja aku galau.

Mentari semakin enggan memperlihatkan cahayanya, padahal aku sudah berdiri hampir 30 menit untuk menyambutnya. Cahayanya pagi ini adalah jawaban terindah bagiku. Cahayanya akan menjadi anugerah terindah hariku. Cahayanya akan membawaku ke sebuah telaga bahagia. Tapi, mungkinkah cahaya itu mengintip dibalik awan gelap?
Gelap. Sungguh gelap awan ufuk timur, segelap mata birokrasi melirik kami. Warga kecil. Susah untuk menggeser kursi awan yang sedari tadi duduk manis menghalangi Sang Mentari. Seperti itukah materi menghalangi hati nurani para pemimpin yang terhormat?
Hujan membawa nuansa bening dan kesegaran di balik mekarnya mawar di taman. Sedikit membelai risauku. Apakah dia juga merasakan rasa ini? Semoga dia setia menanti, harapku cemas.
Kulirik jam tanganku. Sudah pukul 12.00, mungkin dia telah pergi. Harapan itu kini kan tinggal harapan belaka. Impianku mungkin hanya mampu menyisakan angan-angan. Dan cintaku tetap terpenjara di dasar hati.
Kembali kupandangi langit. Awan gelap itu mulai menggeser duduknya. Secercah cahaya mengintip di balik awan itu. Cahaya itu !!! Akhirnya dia sudi juga menampakkan diri. Hatiku girang bukan main. Langit kini menyiratkan keceriaan.
Segera kusambar travel bag yang telah penuh dengan barang keperluanku nanti. Langkahku ringan seringan niatku untuk memberi jawaban pasti masa depanku. Iunggu aku!!!
Sepanjang perjalanan hatiku cemas dalam ketidakpastian. Apakah dia masih menungguku? Bekas hujan masih sejukkan bumiku yang indah. Tapi tak mampu menyejukkan hati saudaraku di gubuk sesaknya yang kumuh. Uh… terlalu banyak masalah negeriku. Hari ini aku telah memutuskan untuk menerima tawaran seseorang yang ku cintai. Dia yang akan mendampingiku meraih cita-cita di negeri impianku. Aku tersenyum penuh kebahagiaan. Cahaya di langit yang biru menyinari seluruh sanubari. Cahaya yang kunanti. Vahya yang telah memberiku jalan untuk ke bandara. Andai dia tak datang aku akan tetap menunggu dalam pedih di balik jendela.
Setengah berlari aku masuk ke bandara mencari sosok yang kurindu siang dan malam, Juan Carloss. Dimana dia? Apakah dia sudah pergi? Hatiku semakin ciut saat mendengar jawaban seorang ibu.
“Tadi ada cowok bule disini, seperti gelisah menunggu seseorang. Tapi sejak 15 menit lalu saya tidak melihatnya lagi”
Keputusanku untuk memberinya kejutan terpaksa kulanggar. Aku harus menelponnya. Hatiku kembali miris saat mengetahui kalau hpnya tidak aktif. Pasti dia sudah berangkat. Lenyap sudah mimpi yang kusemai selama ini. Sang cahaya datang bukan pada waktunya. Aku ingin menangis tapi untuk apa? Aku ingin berteriak tapi karena apa? Semua telah musnah.
“Lisa” suara itu sangat aku kenal. Ku angkat wajahku dan mencoba menatap wajah laki-laki yang kini berdiri tepat didepan tempat dudukku.
“Juan…aku kira kamu telah meninggalkanku. Aku minta…”
“Sst, sudahlah kamu tidak usah minta maaf. Kedatanganmu disini adalah sebuah kebahagiaan yang tiada terperi buatku.” Ucapnya penuh makna terdalam.
“Kok kamu belum berangkat? Dan tadi kamu kemana aja?” aku masih bingung walau hati sangat bahagia.
“Pemberangkatan ditunda hingga ba’da Ashar. Tadi aku ke Musallah, shalat dhuhur. Kamu sudah shalat?” Ah Juan sepertinya kamu lebih alim dariku. Padahal kamu seorang muallaf sedangkan aku telah muslim sejak lahir.
“Lagi libur shalat. Hm… Juan, mama dan papa setuju dengan permintaan kamu. Dan mereka akan menyusul ke Paris saat akad nikah nikah kita.” Ucapku sambil menunduk. Aku malu ya Allah…
“Kamu menerima lamaranku? Kamu menolak beastudi ke Amerika? Kamu akan mengambil S2 di Sorbone? Kamu...”
“Cukup. Yang jelas aku akan pergi bersamamu.” Kulirik wajah Juan yang tampak bersinar bahagia. Cahayanya seperti cahaya mentari yang selalu kunanti. Cahaya itu pun telah berpindah ke hatiku. Eiffel, I’m coming.



Kamis, 05 Maret 2009

akhwat dadakan


Ahad menjadi hari paling sial dalam hidup Wini. Entah kenapa dia harus selalu bertemu Iis, Si Jilbaber yang paling menyebalkan di matanya. Semua kesialan itu seakan berawal dari tatapan Iis.
“Uh, nyebelin banget sih… pokoknya dia nggak boleh menjadi pusat perhatian terus. Apalagi Aldi, kok maunya berurusan sama cewek kayak Si Iis itu. Sudah pendek, pakai baju kebesaran lagi kayak lontong berjalan saja. Ditambah jilbab besar berkibarnya. Oh… amit-amit deh. Dan kacamatanya kayak professor gitu. Uh, pokoknya nyebeliiin.” Tak henti Wini mengomel. Dia terus mondar-mandir dari pintu ke tempat tidurnya hingga akhirnya dia tersenyum lebar. Ide cemerlang mulai dia temukan.

Segera dia mencari ibunya. Sepertinya Aldi punya selera cewek kayak Iis. Hm,aku juga bisa. Ibunya tidak dia temukan di hampir semua sudut rumahnya. Dia pun segera mengeledah lemari pakaian ibunya. Semua kemeja sampai daster dia coba. Terlalu jadul pakaian-pakaian itu, tapi tak menjadi masalah yang penting bisa tampil ala Iis. Setelah berkutat dengan baju-baju besar ibunya akhirnya dia mendapatkan sebuah baju kaos lengan panjang warna ungu dan rok kotak-kotak berwarna hitam. Lumayan, hibur hatinya.
Wini pun mencoba pakaian barunya dan berlatih berjalan menggunakan rok. Selama ini dia selalu tampil tomboy dengan celana jeans biru favoritnya dipadu kaos oblong pendek. Pertama memakai rok jalannya menjadi tak seimbang dan sudah berapa kali dia menginjak pinggir rokoknya. Seperti ada yang kurang. Jilbab. Wini berusaha mencari kain yang bisa menjadi jilbab. Di rumahnya tak ada yang memakai jilbab, jadi tak mungkin ada jilbab yang dapat dipinjamnya. Untung ada taplak meja hijau nenek. Ini yang aku cari.
Komplitlah pakaian ala Iis di tubuhnya. Lucu, komentar akalnya. Tapi aneh, protes hatinya. Takkan ada kesialan lagi kalau sudah begini, dia mematok tubuhnya di depan cermin besar. Baju ungu yang kebesaran dipadu rok kotak-kotak hitam plus jilbab yang tak lain taplak meja hijau neneknya. Sebenarnya kesialan itu ada karena Wini tak pernah berhasil mengajak Aldi mengobrol berdua. Justru Iislah cewek paling sering dia ajak mengobrol dan hari ahad bukan lagi momen asyik untuk berdiskusi. Semua karena Iis.
***
“Aduh, telat deh. Kok nggak ada yang bangunin aku ya? Hari ini kan launching bukunnya Aldi.” Setengah berlari Wini ke kamar mandi. Lima menit cukup untuk mandi. Dia pun buru-buru memakai pakaian yang sudah dia setrika rapi. Hari ini akan menjadi hari keberuntungan aku, pikirnya mantap.
“Oh NO… tujuh menit lagi.” Dipercepatnya memakai jilbab dan kaos kaki. Mencong kiri dan kanan tak dia pedulikan yang penting dia tidak terlambat. Diayunnya langkah seribu lebih cepat dari biasanya untung dia memakai sepatu keats.
Telat deh… segera dia bergabung dengan para undangan. Tak ada yang peduli dengan kehadirannya termasuk Aldi. Sebel, udah keren gini masih belum dilirik. Kembali dia mengamati penampilannya. Baju ungu besar, rok kotak-kotak, jilbab hijau yang tak lain taplak meja nenek, sepatu keats Puma dan kacamata tebal. Lumayan.
Wini mulai gelisah, hampir empat puluh lima menit dia memasang senyum termanisnya tapi Aldi tak kunjung melihat kearahnya. Sesi tanya jawab mulai dibuka. Hampir semua tamu mengacungkan tangan kecuali Wini yang memang tak pernah fokus pada isi buku yang dipaparkan Aldi.
Seorang laki-laki tiga kursi dari tempatnya duduk mengajukan pertanyaan. Aldi pun memusatkan perhatiannya pada laki-laki itu.
“Duh Al kepalanya belokin dikit ke arah aku dong. Cuma 15o doang. Ayo dong. Kanan-kanan. Dikit lagi Al. Yah gitu dong.” Akhirnya dia melihatku juga.
Aldi yang duduk manis di depan menjadi fokus pada satu titik, gadis berjilbab yang tampak baru di matanya.
“Siapa gadis itu? Sepertinya dia mahasiswa baru. Ah bukan … itukan Wini. Tidak mungkin. Wini yang tomboy pakai jilbab. Tidak…tidak mungkin” Aldi berusaha lebih fokus lagi dia pertajam penglihatannya. Tapi gadis itu tetap Wini. Gadis yang diperhatikannya tampak malu-malu dan mulai sibuk dengan ujung jilbabnya.
“Aduh, Aldi kok ngeliatnya sampai segitunya. Kan jadi malu. Aku manis banget ya di matamu. Oh… akhirnya aku mendapat perhatian juga darimu. Tatapan itu udah lama aku tunggu.”
Aldi semakin yakin itu memang Wini. Dia sebenarnya tak ingin memandang gadis dengan seksama tapi gadis yang satu ini benar-benar beda.
“WINI… Ah, kok bisa memakai pakaian seperti itu. Baju ungu kebesaran, rok kotak-kotak, jilbab… tampaknya taplak meja yang disulap, warna hijau lagi. Sungguh aneh. Lho… sejak kapan dia pakai kacamata, tebal banget lagi lensanya mirip Betty Lavea” geli melihatnya. Aldi tersenyum menunduk takut terlihat audience. Kembali dia konsentrasi pada pertanyaan-pertanyaan yang diterimanya.
***
“Oh…No…kok jadi begini sih. Kenapa harus datang pas dalam kondisi senang begini??? Jangan dulu dong! Nanti aja, tuh Aldi lagi memandangi aku nih. Please, jangan sekarang!!! Aow… aku nggak tahan lagi. Sekarang harus SEKARANG.” Wini segera berlari sekencang-kencangnya menuju toilet. Dalam kondisi tegang pasti dia ingin buang air kecil.
Plong deh. Sebelum meninggalkan toilet tak lupa dia memperbaiki jilbab yang selalu mencong ke kiri-kanan. Poninya selalu saja menampakkan diri di jidat. Tapi kok Iis tidak begini, pasti dia tidak punya poni.
Para undangan mulai meninggalkan ruangan saat Wini kembali ke tempat duduknya. Sial, dia bertemu Iis.
“Hai Win. Penampilan baru nih. Selamat ya, semoga hidayahnya dipertahankan. Kamu anggun deh dengan pakaian itu.” Iis berlalu dengan senyum.
“Ehm, sok baik banget sih lo Is. Bilang aja takut tersaingi. He…he…he…” Wini tertawa sendiri. Dia lupa kalau bertemu Iis bakal ada kesialan. Pandangannya kembali tertuju pada Aldi. Oh, dia cakep banget hari ini. Lalu diambilnya tas kemudian beranjak pergi. Saat dia berbalik, BRUKK. Seorang pelayan minuman menabraknya. Bajunya basah oleh jus jeruk. Warna kuning langsung menghiasi baju ungunya.
“Sial…sial…sial.” Dia mau marah tapi dia juga salah. Dengan hati jengkel dia menuju toilet.
Entah sudah takdirnya mendapat sial bila bertemu Iis. Tapi mungkin juga itu balasan karena hatinya selalu marah dan jengkel bila bertemu Iis.
***
Gerah. Pengap. Sesak. Suasana mulai mencampakkannya, jilbab yang sedari tadi membungkus kepala pun dibuka. Keringat berjalan bebas di leher. Bajunya pun dia bersihkan dengan tissu.
Lagu “Menunggu” Ridho Irama tiba-tiba berdering di hpnya. Gaya boleh tomboy dan gaul tapi ringtone dangdut setia menyertai. Dari mamanya “Sayang mama sekarang jemput kamu nih depan aula. Cepetan kesini ya. PENTING!!!”
“Aduh, mama paling bisa deh. Datang tidak bilang-bilang dan kalau sudah bilang penting berarti sekarang.” Wini segera berlari keluar toilet. Tak disangkanya sepanjang koridor ramai sekali oleh teman-temannya yang sibuk meminta tanda tangan Aldi. Wini juga ingin sekali bergabung, tapi mamanya sudah menunggu.
“Jilbab kamu mana, Win? Perasaan tadi kamu pakai jilbab. Ha…ha…” tegur seorang teman yang langsung diiringi tawa teman-teman yang lain.
“Akhwat dadakan sih.” Teriak seorang teman cowoknya. Kembali derai tawa menggema di sepanjang koridor. Wini baru sadar, disentuhnya kepalanya. Oh…No, malu banget gue. Ya Allah, kalau begini lebih baik aku pingsan aja. Pingsankan gue dong. Duh Tuhanku. Wini pun berlari kembali ke toilet. Jilbab yang dicari pun dia temukan tergeletak dekat tempat sampah. Hatinya miris. Sedih. Pilu.
“Lihat lap disini?” tanya seorang cewek disampingnya. Jilbab aku dikira lap. Ya Tuhan, sial banget sih.
“Ini…Pakai jilbabku saja. Kebetulan tadi saya bawa dua.” Iis datang sebagai pahlawan. Ternyata Iis sudah melihat apa yang dialami Wini.
“Makasih” Dengan terpaksa Wini memakai jilbab yang ditawarkan Iis. Rasa malu masih lekat diwajahnya saat berlalu disepanjang koridor. Sepi. Hatinya lega karena dia bisa berjalan dengan tenang. Lagi-lagi hpnya berdering. Langkahnya pun dipercepat.
“Eh… sorry” Seorang laki-laki hampir saja ditabraknya.
“Wini… Ehm selamat ya. Mudah-mudahan jilbabnya dipertahankan. Aku salut banget sama kamu. Perubahan yang cepat dan semoga pasti. Yang diomongin teman-teman tentang akhwat dadakan itu tidak benarkan?”
Aldi kamu perhatian banget sih, tapi kenapa tidak mau memandang aku sedikit aja? Andai kamu tahu ini semua kulakukan demi kamu, batinnya. Wini malu. Rasanya dia ingin menangis. Kenapa justru terjebak dalam kondisi begini?
***
“Wini, kamu sayang? He…he. Gaya apa nih? Lagi lomba kostum jadul ya?”
“Ih mama… Anak berubah lebih baik kok tidak disyukuri. Wini kan cuma lagi introkspeksi diri.” Wini mencoba menarik perhatian mamanya. Walau hatinya berbeda. Suerr, semua demi Aldi.
“Oh ya, atau cuma lagi menarik perhatian seseorang? Ehm, mungkin juga lagi naksir seseorang. Biasanya kan anak mami punya kebiasaan begitu.” Mamanya paling senang menggoda Wini.
“Ah…mama.” Wini yang digodain jadi salah tingkah. Oh tidak… dia datang lagi. Tahan Win, kamu pasti bisa. Nggak… aku nggak bisa. Segera Wini berlari meninggalkan mamanya yang senyum-senyum melihat tingkah anaknya. Wini pun mengangkat roknya tinggi-tinggi untung memakai jeans di dalam. Tak disadarinya kalau sepasang mata memerhatikannya dibalik jendela mushallah.
“Ehm, benar-benar tomboy atau sekedar akhwat dadakan. Padahal dia manis kok. Astagfirullah.” Aldi segera mengalihkan pandangannya.


Senin, 02 Maret 2009

essay

HARUSKAH MAHASISWA BERPOLITIK?
Oleh: Ani Dzakiyah
Pesta demokrasi 2009 sudah depan mata. Kedepannya diprediksi berbagai elemen masyarakat akan terjun dan ikut dalam pertarungan politik tersebut, termasuk mahasiswa. Keterlibatan mahasiswa dan kampus dalam perhelatan akbar politik di negeri ini menciptakan paradigma berbeda di beberapa kampus.
Sebagian besar kampus meyakini bahwa kampus harus steril dari urusan-urusan praktis partai politik. Sebagian lagi ada kecenderungan kampus mulai melakukan upaya pendekatan untuk mengakomodir kepentingan partai politik-sebagai media efektif memberikan kesempatan kepada partai politik untuk menemukan positioning strategisnya di mata konsituen.

Paradigma yang mengatakan bahwa kampus harus steril dari aktivitas partai politik harus ditelaah kembali secara tepat. Hal ini dimaksudkan agar golongan intelektual memahami bahwa realitas politik dan realitas sosial yang berkembang di tengah masyarakat haruslah tetap menjadi perhatian masyarakat kampus.
Mahasiswa memang menjadi komunitas yang unik dan telah tercatat di dalam sejarah perubahan selalu menjadi garda terdepan dan motor penggerak. Dalam pergerakannya mahasiswa tetap harus memperhatikan 4 peran yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya yaitu peran moral, sosial, akademik, dan politik.
Peran politik yang dipegang mahasiswa memperlihatkan bagaimana mahasiswa sebagai agent of change membedah berbagai problem politik dalam bingkai akademis. Sejatinya pemikiran politik mahasiswa merupakan sebuah gerakan politik yang secara moral mewadahi semua kepentingan yang perlu diakomodir secara akademis. Selain itu dengan adanya kegiatan parpol seperti kampanye ataupun diskusi publik pada mahasiswa bisa menjadi momen paling baik dalam proses pembelajaran politik dan demokrasi bagi mahasiswa itu sendiri. Pembelajaran ini penting karena fakta historis dan kultural dinamika dan perubahan suatu bangsa di seluruh dunia termasuk Indonesia, sangat kental diwarnai oleh tingkat sejauh mana masyarakat kampus berperan pada dinamika dan perubahan politik yang dialami suatu bangsa.
Kita yang masih memahami bahwa kampus harus steril masih menganggap aktivitas politik di kampus identik dengan kampanye massa, banyaknya pesan atribusi Parpol yang ada di kampus. Kalau memang demikian kontesnya maka sterilisasi dalam konteks itu harus atau tetap dijaga secara konsisten sebab yang demikian ini pasti akan mendistorsi prinsip-prinsip Tri Dharma Perguruan Tinggi. Apabila yang kita pahami tentang masuknya Parpol masih dengan pemahaman sempit seperti itu maka terlalu naif dan amat dangkal persepsi kita dalam menyediakan tempat bagi Parpol untuk melakukan proses dialektika politik.
Perbedaan persepsi tentang keterlibatan kampus atau perlunya kampus steril atau tidak dari segala bentuk aktivitas Parpol bukan satu-satunya perbedaan yang ada dalam menyikapi perhelatan politik negeri ini tetapi juga perbedaan mengenai posisi mahasiswa dalam pemilu. Sebagian menuntut mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan harus bersikap netral dan tidak menunjukkan keberpihakan kepada salah satu partai politik.
Posisi mahasiswa memang sebaiknya netral dari kepentingan politik mengingat peran politk yang dipikul mahasiswa sangat berat. Peran politik adalah peran yang paling berbahaya karena mahasiswa harus berfungsi sebagai presseur group ( group penekan ) bagi pemerintah yang zalim tanpa memandang partai yang mengusung dibalik pemerintahan itu.
Sekarang zaman kebebasan berpolitik telah terbuka lebar bagi siapapun termasuk mahasiswa tak seperti zaman orde baru lagi. Pada zaman orba pemerintah yang zalim merancang sedemikian rupa agar mahasiswa tidak mengambil peran politiknya. Pada masa orde baru daya kritis dipasung, siapa yang berbeda pemikiran dengan pemerintah langsung dicap sebagai makar dan kejahatan terhadap bangsa.
Posisi mahasiswa yang dituntut untuk netral bukan berarti harus membisukannya dari keramaian kegiatan politik (pemilu) 2009. Lalu apa yang harus kita lakukan pada pemilu 2009 dalam melaksanakan peran kita?
Sebagai mahasiswa yang tak lain adalah calon pemimpin negeri ini tak boleh tinggal mematung memerhatikan momentum pemilu 2009. Kita harus melakukan sebuah gerakan yang tak lepas dari nafas pergerakan mahasiswa itu sendiri yaitu idealis karena apa yang disuarakan mahasiswa adalah nilai kebenaran universal berupa nilai moral yang diakui bersama kebaikannya oleh seluruh masyarakat, seperti anti tirani, demokratisasi, berantas KKN dll.
Secara internal mahasiswa atau gerakan kemahasiswaan dalam jelang pemilu harus menyamakan persepsi tentang kawajiban kita menyelamatkan nasib bangsa dengan jalan mendorong lahirnya kepemimpinan yang bersih dan kuat. Hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil karena mahasiswa pernah membuktikannya pada gerakan Reformasi 98.
Selain itu mahasiswa juga harus berperan diluar medan pertarungan politik yaitu memberikan informasi ataupun pembelajaran politik kepada masyarakat luas. Tidak semua masyarakat negeri ini paham tentang pergerakan politik. Bahkan pemilu sebenarnya tak memiliki warna bagi mereka. Baginya pemilu hanyalah formalitas yang ,mengharuskan dirinya untuk memilih orang atau partai yang tak dikenalnya dengan baik. Sedangkan untuk pemilu 2009 yang teknisnya berbeda dengan pemilu sebelumnya masih banyak masyarakat yang bingung dan belum mengetahuinya. Jangan sampai mereka menjadi sampah pesta politik. Olehnya itu mahasiswa jangan membiarkan hal ini terjadi dan ingat ada peran moral dan sosial yang harus dijalankan.
Walau mahasiswa tak perlu terjun ke dalam gelanggang pertarungan politik praktis, tapi peran harus tetap terlaksana. Ada satu hal yang penting dilakukan mahasiswa dalam pemilu nanti yaitu mengontrol serta mengawasi agar proses yang ada dapat memberikan output berkualitas dengan lahirnya kepemimpin yang kuat.
Pada gelanggang pertarungan politik 2009 banyak aktor-aktor yang akan ikut didalam dinamika tersebut, baik sebagai peserta (partai, caleg, capres dan cawapres) maupun panitia (KPU dan Panwas). Kecurangan-kecurangan tak ada yang dapat memungkiri bisa saja terjadi karena setiap diri menginginkan sebuah kemenangan. Bahkan banyak yang rela melakukan dan berkoraban apa saja untuk meraih visinya. Mahasiswa harus mengawasi dan mengontrol agar geliat politik ini dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan dan mencapai tujuan demokrasi yang diimpikan.
Selama ini mungkin terlalu banyak pihak yang telah muak dengan tingkah maupun pergerakan elit politik yang munafik apalagi demokrasi dan Pancasila mulai dinodai. Mungkin saja diantara pihak itu, mahasiswa termasuk dalam golongan yang bosan dan pasif dalam menyikapi kondisi bangsa ini. Menganggap gerakan politik hanyalah cara merebut kekuasaan. Mungkinkah ini terjadi karena kita belum mencapai kedewasaan berpolitik? Tapi sadar atau tidak masih banyak politikus kita yang memaknai politik sebagai sebuah cara untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat. Ataukah sikap acuh tak acuh dalam peran dan pemikiran kita pada gerakan politik lahir karena masih adanya pertanyaan yang belum terpecahkan. Haruskah mahasiswa berpolitik?
Mahasiswa adalah kaum terpelajar dinamis yang penuh dengan kreativitas. Mahasiswa adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari rakyat. Oleh karena itu, mahasiswa harus sadar akan arti tugas dan peranan intelektual. Mau atau tidak, mahasiswa harus mengambil bagian dalam pesta demokrasi ini. Pola pergerakan politik negeri ini tak boleh lepas dari pandangan mata.


cerpen


MALAIKAT 14 HARI
Oleh: Ani Dzakiyah
“Aku ada dimana?” Hanya itu yang mampu terucap saat kusadari tempat itu terlalu asing buatku. Dindingnya sangat kokoh, langit-langit kamar yang putih pualam, interior Makassar kuno dengan lantai marmer mengkilap. Sungguh indah. Dan kasur ini sangat empuk, badanku yang kurus tenggelam sebagian kedalamnya. Mataku menjelajahi tiap sudut kamar luas itu. Ada satu yang sangat mempesona. Jendela… ya jendela itu luas, menawarkan keindahan danau dengan teratai cantik dan lili di sisinya. Dari semua keindahan yang tersaji ada hal yang jauh lebih menarik perhatianku. Siapa laki-laki tua yang sedari tadi memandang semua tingkahku? Heran.
“Aku ada dimana, Pak?” kuulangi kata itu sekedar berharap sebuah jawaban.

“Kamu bersama bapak, Nak. Nikmati semua yang ada dan jangan pernah bertanya lagi?” Bapak itu mengusap kepalaku lembut penuh kasih sayang. Kedamaian menyusup dalam relung hatiku bersama bahagia yang tiba-tiba muncul bersanding dengan jiwaku. Siapa bapak itu? Tak henti aku bertanya pada angin dan kicau burung di pucuk pohon dekat danau.
Nikmati semua yang ada, kembali kalimat bapak itu terngiang. Ah… lebih baik aku nikmati kamar megah ini. Indah sekali pemandangan di luar sana. Aku berlari keluar kamar. Dan wow… sebuah ruangan besar dengan nuansa warna kayu dan pernak-pernik ruangan yang antik namun terkesan elegan.
“Kamu mau ikut bapak?” Suara Sang Bapak mengejutkanku dari decap kagum pada keindahan itu. Aku mau bertanya, kemana? Tapi urung karena bapak itu telah berpesan jangan pernah bertanya lagi.
Kuikuti Sang Bapak yang telah rapi dengan jubah putih dan sorban yang dikalungkannya di leher. Bapak yang teduh, baik dan lembut. Berjuta tanya masih menggantung di pikiranku saat kami sampai di sebuah dusun.
“Ini Cambaya, salah satu dusun di Kabupaten Maros. Coba kamu lihat! Jalanannya rusak, sumber air bersih tidak ada, sekolah tak memadai, sampah, gizi, kesehatan semua bermasalah. Padahal alamnya indah, penduduknya ramah bahkan produktif bila empang-empang itu mendapat perhatian. Kita akan bantu mereka. Selama 14 hari, kamu akan menjadi malaikat kecil.” Penjelasan bapak itu semakin melukis tanya di benakku. Ah menjadi malaikat kecil, mungkinkah? gumamku.
Setelah membagikan tiga kardus peralatan tulis-menulis dan beberapa buku bacaan kepada siswa-siswi Cambaya, bapak itu mengajakku ke sebuah kota metropolitan. Aku tak tahu nama kota itu. Aku pun tak tahu bagaimana caranya dari sebuah dusun kecil langsung berada di kota besar ini. Semua bagai kilat, terlalu cepat untuk dirasakan. Walau aku bingung bahkan pusing aku tetap tak berani bertanya.
Di kota besar itu kulihat kemacetan yang sesak. Copet beroperasi mulus, bahkan kutemui berbagai jenis manusia dengan wajah munafiknya melenggang cantik tanpa dosa di gedung-gedung megah. Ah, anak jalanan berseliweran, pengemis menjamur dan pengamen … itu pekerjaanku. Pengamen bernyanyi dengan sumbang hingga hilang bersama deru mobil mewah orang-orang yang enggan menghargai suara sumbang itu. Perih melihatnya walau hampir setiap hari aku sakit merasakannya.
“Kita akan ke kolong jembatan membagikan makanan dan uang agar mereka bisa makan. Sekaligus membantu mereka membangun rumah-rumah mereka yang telah dugusur.” Kembali bapak itu membawaku pergi ke kolong jembatan. Itukan teman-temanku. Indra, Susan, Viki dan Dede. Tapi kok mereka tidak mengenaliku? Aneh.
“Orang-orang seperti mereka harus dibantu bukan dibantai. Aku lihat dikotamu tak ada yang peduli dengan mereka. Bahkan penderitaan dan rasa lapar mereka tak ada yang mau tahu. Padahal banyak diantara mereka saat mencalonkan diri sebagai caleg menawarkan janji kesejahteraan bagi siapa saja. Lihat baliho besar itu! Janjinya sangat manis, sekolah gratis. Kita tunggu saja, karena kita memang sedang menunggu. Mungkinkah sekolah akan gratis atau semua hanya tinggal janji belaka.” Aku miris mendengar ucapan Si Bapak. Seperti itukah orang-orang disekililingku. Sebagai pengamen aku mengira mereka terlalu sibuk saja sehingga tidak sempat memberi sereceh uang.
“Masih banyak yang ingin bapak perlihatkan. Dan bapak senang kamu mau menemaniku membagikan bantuan itu walau tak seberapa. Dan Cambaya saya rasa biar mereka yang menyelesaikannya.” Mereka? tanyaku membathin. Seperti mendengar pertanyaan hatiku bapak itu pun berucap “Mereka itu para mahasiswa Kesehatan Masyarakat yang seminggu lagi akan datang ke Cambaya melaksanakan Pengalaman Belajar Lapangan (PBL). Kamu takkan mengerti. Sudah waktunya kamu pulang. Bapak yakin walaupun kamu cuma seorang pengamen tapi jiwamu seorang ksatria.” Bapak itu pun lalu pergi dan menghilang.
“Pak… bapak…Tunggu Udin mau bertanyaaa…Ba…Pak…”
Oh, aku terhenyak. Mimpi itu lagi, ucapku lirih. Sudah hampir dua minggu ini aku bermimpi bertemu seorang Bapak Tua di rumah yang selalu berbeda. Hanya satu yang sama, rumah itu selalu megah dengan interior Nusantara. Entah sudah berapa wilayah di tanah air yang kukunjungi tapi semua hampir sama, menyimpang komunitas bawah yang selalu tertindas dan semua wilayah itu pun berjaya dalam kemasan namun terpuruk isinya.
“Udiiin… cepat lari petugas-petugas itu datang lagi!!!” Teriakan Dede segera mengembalikanku ke alam nyata. Aku harus segera berlari, kalau tidak aku pasti digrebek petugas-petugas tak kenal kemanusiaan itu. Ah… tidur di emperan toko saja dilarang apalagi kalau mendirikan kios kaki lima, pantas aja digusur, geramku diantara derap kaki yang semakin kupercepat.
***
Semalam aku berhasil kabur dari kesulitan yang mengintai. Lega juga rasanya dan akhirnya aku dapat kembali memetik gitar tuaku demi sesuap nasi untuk hari ini. Matahari dengan teriknya ganas membakar kulitku. Semoga hari ini ada yang peduli dengan suara sumbangku. Kutenteng gitar tuaku keliling pasar sentral berharap keikhlasan pengunjung. Sepertinya tenda bubur ayam di ujung lorong itu menguntungkan buatku, harapku dalam hati. Kumulai bernyanyi diantara kerumunan orang yang sedang asyik mengobrol sambil menikmati sarapannya. Kulantunkan lagu Laskar Pelangi sebagai penyemangat menyambut hari ini. Sepertinya mereka menikmati laguku, pikirku diantara suara yang kupaksa merdu. Ada pula yang cuek dan tak peduli mungkin bubur ayamnya terlalu enak untuk dicampur dengan suara sumbangku. Selepas bernyanyi dengan sopan kuedarkan topiku meminta imbalan. Ah, sepertinya hari ini perutku harus rela dengan sepotong roti. Dari delapan orang pengunjung hanya dua orang yang memberiku recehan. Semuanya Rp. 500.
Betul kata bapak dalam mimpiku kalau orang di kotaku sungguh tak peduli dengan nasib kami. Hanya kepasrahan menjadi modal kami. Kebisingan dan deru mobil orang berduit adalah hiburan kami sehari-hari. Dan lampu merah adalah kawan kami. Kembali kucoba memetik gitar tuaku di dekat sebuah mobil metalik. Aku tak menyangka kalau dia akan mengusirku.
“Sudah sana ganggu orang saja! Udah liat macet, panas lagi masih aja nyanyi. Tambah pening tau nggak.” gertak orang berdasi di jok mobil mewah itu.
Bukan Udin Sang Pengamen namanya kalau menyerah karena digertak. Kutinggalkan mobil itu dan beralih ke mobil yang tampilannya biasa saja tapi cukup bagus. Mewahnya mobil kadang tak seindah hati pemiliknya. Ternyata pemilik mobil yang tak semewah mobil metalik tadi memiliki hati emas. Dia memberiku selembar uang dua puluhan. Akhirnya aku bisa makan enak hari ini.
Dengan wajah berseri aku beranjak berteduh di bawah sebuah baliho besar. Seorang caleg tersenyum indah di baliho itu. Mungkinkah beliau iri dengan kebaikan pemilik mobil biasa tadi? Semoga agar dia juga dapat dermawan dan peduli penderitaan kami, gumamku membathin.
“Woi… Dilarang berdiri di situ. Ayo sana pergi!!!” teriak seorang polisi lalu lintas. Aku kaget mendengar larangan itu. Segitunya, memangnya ada larangan seperti itu. Sekilas kulihat seorang bapak di seberang jalan tersenyum dan menganggukkan kepalanya padaku. Bapak itu?



Minggu, 01 Maret 2009

cerpen budaya


RETAKNYA MIMPI SANG BISSU
Oleh: Ani Dzakiyah
“Ayah, apa kita sudah di Makassar?” pertanyaan Wahyu membuyarkan bayangan masa kecil yang sempat menari di pundak anganku. Patmi tersenyum memandang buah hati kami yang sudah berumur 11 tahun itu lalu menatapku lembut.
“Ya sayang, kita sudah sampai di tanah nenek moyang ayah. Nanti sebelum melanjutkan perjalanan ke Wajo, kampung kelahiran ayah, kita istirahat sebentar di rumah teman lama ayah.” Kupandangi wajah istri yang selalu cantik dimataku. Sebentar lagi kami mendarat di bandara Sultan Hasanuddin. Kurasakan gemuruh dalam dadaku. Perasaan apa ini? Mungkin aku sudah terlalu lama lari dari ini semua.

14 tahun kutinggalkan Sulawesi tak ada yang jauh berbeda, hanya bandara ini yang semakin megah saja. Sepertinya Makassar semakin makmur pikirku. Dari kejauhan Mahmud melambaikan tangan pada kami. Dia tampak lebih tua dan kurus dariku.
“Selamat datang di Bumi Angin Mammiri Rahman.” Dia merangkulku erat seakan ingin melampiaskan semua kerinduannya. Dia pun melirik pada anak dan istriku. Mungkin dia heran dan bertanya-tanya. Siapa gerangan mereka? Kuperkenalkan Patmi dan Wahyu pada Mahmud.
“Kamu benar-benar sudah berubah kawan. Hidupmu sudah sempurna, Man. Apalagi yang kau cari disini?” Pertanyaan mengalir lembut ke telingaku bersama deru knalpot pete-pete yang kami tumpangi.
“Aku rindu suasana kampung dan kerabat. Lagipula Patmi dan Wahyu juga belum pernah kesini, mereka akan kuperkenalkan pada keluarga.” jawabku. Sudah terlalu lama aku tak menghubungi ibu, termasuk tentang kepulangan ini. Mungkin akulah anak paling berdosa, tapi ini kulakukan demi pencarian pada jati diri. Kuedarkan pandangan menyisir tubuh tol Reformasi yang tampak gagah rupanya. Makassar sudah jaya.
***
Matahari mulai meninggalkan titik sentralnya, pertanda sore kan menjelang. Aku harus segera ke terminal karena kalau kemalaman dipastikan mobil Makassar-Sengkang sudah tidak ada. Istirahat di rumah Mahmud cukup menyegarkan badan dengan suguhan nuansa rumah segar dengan bunga-bunga indah dipadu perabotan antik. Rupanya Mahmud masih suka mengoleksi barang-barang antik. Setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih, kami segera ke terminal. Mahmud tak dapat mengantar kami karena ada urusan penting yang tidak dapat ditinggalkannya. Tepat pukul empat sore kami tinggalkan terminal.
Sepanjang perjalanan Wahyu dan Patmi hanya membisu sedangkan aku sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan yang membingungkanku sendiri. Mobil yang kami tumpangi merupakan mobil terakhir di terminal tadi. Kebetulan sopirnya tetanggaku di kampong, sehingga kami dapat duduk di kursi depan.
Pemandangan yang tersaji di luar jendela mobil sudah jauh berbeda saat kutinggalkan dulu. Tak adalagi hutan dan tanah lapang yang ada hanyalah pemukiman luas dan area pertanian yang mulai terdesak.
“Sudah sampai Man.” Aku terkejut, ternyata aku tertidur. Segera kubangunkan Patmi dan Wahyu yang masih pulas. Mereka tampak sangat kelelahan.
“Terima kasih Ali. Sepertinya ada pesta di rumah Datu?” tanyaku saat melihat keramaian di rumah Datu Ake yang berseberangan dengan rumah ibuku.
“Iya. Pesta lama…sepertinya baru mulai. Oh ya, ini baru pukul sepuluh. Ayo saya juga mau kesana” ajak Ali. Pesta lama?
Awalnya aku menolak dan bergegas menuju rumah ibuku tapi ternyata terkunci. Yah, ibu tidak mengetahui kedatangan kami. Pasti ibuku ada di rumah Datu. Barang bawaan kami simpan di depan pintu dan akhirnya memilih untuk kerumah Datu juga sekalian bertemu teman lama dan kerabat.
“Ramai sekali Yah?” Tanya Wahyu saat kami memasuki halaman rumah Datu. Tak ada yang menyadari kedatanganku, semuanya serius memandang ke arah seorang penari. Oh… hatiku ciut. Tanganku tiba-tiba dingin. Desiran darahku semakin kencang. Acara mabbissu, acara ritual yang diperankan oleh para bissu.
Orang kebanyakan mengatakan kalau bissu itu “Urane majjiwa makkunrai, tengurane toi temmakunraitoi” (Laki-laki yang berjiwa perempuan, tapi bukan laki-laki juga bukan perempuan). Para bissu berperan sebagai penasihat raja. Pada masa pra- Islam mereka bisa dikatakan sebagai pendeta agama Bugis kuno. Sebagai pelaksana dalam ritual kerajaan, bissulah yang menentukan hari baik untuk memulai sesuatu, seperti turun ke sawah atau membangun rumah.
“Kang lihat itu!” teriakan Patmi menghentikan perasaan aneh yang merayapi tubuh. Kuarahkan pandanganku pada seorang bissu yang ditunjuk Patmi. Tampak seorang bissu yang usianya lebih tua dari bissu lainnya. Itulah Puang Matoa, pimpinan para bissu. Dia sedang meletakkan keris ke lantai rumah, dengan ujung keris yang menghunus ke atas. Lalu menjatuhkan dirinya ke ujung keris itu. Alas kayu yang dijadikan tumpuan kerisnya berderak patah. Gerakan ini ia lakukan berulang-ulang. Bahkan beberapa kali ia menjatuhkan dirinya dengan sangat keras.
Keramaian bertambah ketika dengan keris terhunus, Puang Matoa menggorok lehernya sendiri. Ia lalu menyandarkan ujung keris tersebut ke tiang rumah, dan menekan-nekankan keris tersebut ke lehernya. Bunyi gendang semakin kuat. Puang Matoa melenguh, ia kemudian menancapkan keris panjangnya ke bagian perut. Ia menghentakkannya ke lantai, dan seketika bambu yang menjadi alas kersinya patah. Ia semakin liar. Kemudian ia kembali menghujamkan keris ke perutnya namun tak ada setetes darah pun yang tampak. Kegiatan itulah yang biasa disebut upacara maggiri. Bunyi gendang terhenti. Kami tersenyum puas dan bertepuk tangan.
“Pat, Wahyu mana?” Tanya ku pada Patmi saat menyadari kalau Wahyu tak bersama kami. Patmi juga tampak bingung seakan ingin berkata kalau Wahyu tadi disampingnya. Kuedarkan pandanganku ke setiap penjuru. Tidak. Anakku ternyata sedang berbicara dengan seorang bissu muda. Setengah berlari aku menghampirinya.
“Kakak hebat. Kulitnya tidak teriris keris. Wah ... aku ingin seperti itu.” Si bissu hanya tersenyum mendengar celoteh Wahyu. Tak boleh ada percakapan lagi.
“Wahyu, ayo ke rumah nenek. Ibu bingung mencarimu!” dengan sedikit hardikan Wahyu akhirnya menurut. Beberapa orang yang kulewati menyapaku bahkan ada yang merangkulku. Ternyata mereka merindukanku juga.
“Rahman sudah berubah ya?”
“Itu anaknya? Seperti mustahil kalo mengingat dia muda dulu”
Selentingan komentar dari mereka hanya kuanggap angin lalu. Aku ingin segera bertemu ibu. Kupercepat langkahku menuju Patmi yang berdiri mematung. Tampak seorang ibu yang hampir renta menegurnya. Itu ibu pekik batinku.
Pertemuan yang cukup mengharukan. Setelah berpamitan dengan Puang Datu Ake dan beberapa tetangga, kami pulang ke rumah yang hanya beberapa langkah dari rumah Puang Datu.
Malam ini menjadi malam yang sangat indah sepanjang hidupku. Bintang-bintang menari diiringi alunan merdu suara bulan. Pentas indah mutiara langit itu menyisipkan kebahagiaan yang tiada terperi di sepanjang aliran darah. Tapi siapa yang tahu kalau malam ini akan menjadi awal retaknya mimpiku.
***
“Yah, keren ya kalau jadi bissu. Aku tak perlu lagi takut sama Jack. Mau dipukul, di tendang atau di tikam sekali pun. Kan udah kebal.”
“Hentikan Wahyu, tidak ada yang akan pernah jadi bissu lagi di keluarga kita.” Aku menjadi emosi mendengar angan-angan Wahyu. Mendengar ucapanku yang meninggi, Wahyu segera berlari ke arah neneknya yang sedang memberi makan ayam di halaman samping rumah.
Melihat sikapku yang tak biasanya Patmi tampak bingung. Aku sendiri bingung dengan sikapku. Mungkin harapanku terlalu tinggi pada Wahyu atau kepahitan masa lalu yang tiba-tiba membias di angan.
“Kang, kok ngomongnya kasar gitu sih. Itukan cuma angan-angan anak kecil. Biarin aja.” Patmi mencoba menenangkanku. Udara pagi ini berhembus hampa di wajahku. Ini bukan sekedar angan-angan anak kecil tapi…
“Apa maksud ucapan Akang tadi?”
“Ucapan yang mana?”
“Menjadi bissu lagi?” Tanya Patmi dengan tatapan selidik khasnya. Aku mengerti arah pertanyaan istriku. Aku harus cerita sekarang. Mungkin inilah saat yang tepat untuk membuka tabir rahasia masa laluku.
“Patmi, bagiku kamu dan Wahyu adalah nafas hidupku. Aku bermimpi suatu saat nanti keluarga kita menjadi keluarga kecil yang bahagia. Aku ingin kamu menjadi istri yang bangga akan suamimu. Dan Wahyu menjadi anak yang terpandang tanpa cerca. Aku tak meminta banyak. Aku hanya ingin kita semua dihargai dan diterima dimanapun berada.” Ucapku serius mencoba mencari setitik embun dimata istriku.
“Aku bangga menjadi istrimu. Kamu seorang pekerja keras, rajin salat, dan tak pernah mengeluh. Ada yang ingin kau ceritakan?” tanya istriku sambil menggenggam tanganku. Sebuah keteguhan untuk mengungkap semuanya hadir dalam hatiku.
“Aku tak tahu apakah kamu masih bangga menjadi istriku setelah kuceritakan masa laluku?” istriku hanya mengangguk meyakinkan hatiku.
***
Sejak berusia belasan tahun aku sudah menyadari kelainan yang aku alami, dan mencoba untuk masuk seutuhnya ke wilayah bissu. Maka aku datang berguru kepada bissu-bissu senior ketika itu, salah satunya Puang Matoa Patiro. Aku dinyatakan lulus sebagai bissu pada usia 20 tahun.
Awalnya aku menjadi bissu karena tiga kali aku bermimpi bertemu lelaki tua berbusana serba putih yang menyuruhku ke Rumah Arajang yaitu altar berkumpulnya pembesar bissu. Aku tak berani ke sana. Melihat bissu-bissu itu saja sudah takut, karena cara berpakaiannya seperti perempuan tetapi wajahnya kekar-kekar. Namun, setelah mimpi ketiga baru aku memberanikan diri. Dan jadilah aku selalu bersama mereka.
Setelah 5 tahun menjadi bissu aku mulai merasa jenuh. Seiring pemahaman agama masyarakat yang semakin baik bissu tak lagi dianggap orang suci tapi mulai dicela dan dianggap mempraktikan kemusyrikan. Selama aku menjadi bissu pun kegiatan yang kami lakukan tak terlalu besar lagi seperti pada zaman kerajaan. Keinginanku untuk lebih dihargai dengan kekuranganku justru berubah menjadi pandangan jijik.
Mulai ada keinginan untuk menjadi orang normal. Dan keinginan itu semakin kuat sejak kejadian malam itu. Kejadian yang tak ingin kulihat lagi. Malam itu acara mabbissu digelar dirumah Datu Tenri Liweng. Saat tiba giliran Puang Matoa Patiro dan melakukan upacara maggiri sambil terus mengucapkan bahasa torilangi, bahasa para dewa. Keris pun mulai di tusukkan ke perutnya. Sukses. Namun, ketika ia bangkit dan menghujamkan kembali keris ke perutnya, matanya mendelik.
Aku dan Masse di sudut ruangan mulai memucat. Puang Patiro sempoyongan, dengan langkah tertatih ia berbalik ke dalam ruangan. Bunyi gendang terhenti. Kami tersenyum puas dan bertepuk tangan. Namun, sekembali dari ruangan, Puang Patiro ternyata masih memegang hulu keris yang masih menghujam ke perutnya, berkali-kali jempol tangan yang telah diludahinya diusapkan ke bagian perut. Kami tercekat, perut Puang Patiro berdarah. Terlihat darah segar! Perut Puang Patiro tersobek oleh tusukannya sendiri. Aku digerogoti rasa takut. Puang Patiro tertikam keris, bukannya segala ritual pada dewa sudah dia lakukan? Ah, ada kekuatan di atas kekuatan para dewa.
Malam itu mencekam detik-detik tidurku. Mimpi buruk pun menyusup perlahan menggetarkan hatiku. Terlihat diriku menari dengan gemulai, keris kutusukkan ke seluruh bagian tubuh. Tak ada yang terluka, tapi saat keris kuarahkan ke bagian hatiku tiba-tiba mengalir darah segar bahkan hampir disetiap lubang pada tubuhku mengeluarkan darah segar. Anehnya, Puang Matoa hanya tersenyum melihat kondisiku. Aku marah, kecewa, geram, dan sakit tapi siapa yang harus disalahkan? Mimpi itu terus mengusik malam-malamku.
Aku takut. Semua harus berakhir. Hari-hariku penuh gundah dengan tatapan hina orang-orang disekitarku. Aku seperti bangkai berjalan tanpa arah. Hingga akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan semuanya termasuk ibuku. Bandung menjadi tujuan pencarianku. Terlunta-lunta oleh waktu, musim dan kejamnya sinar matahari. Dan akhirnya aku bertemu denganmu, Patmi
***
Meskipun aku bukan bissu lagi, tak berarti kalau aku harus membenci para bissu. Aku tak mau sorot mataku menciptakan kegelisahan di hati mereka. Wahyu tak pernah lagi penasaran dengan bissu. Aku tak menyangka dia cepat akrab dengan anak-anak kampung sini. Cukuplah dia menjadi laki-laki normal. Tak perlu kekebalan dan ritual pemujaan karena ada yang lebih kuat diatas segalanya dan lebih pantas untuk dipuja. Dialah Sang Pencipta yang di tanganNya tergenggam jiwa-jiwa anak Adam.
“Oh… aduh kenapa pada lari. Ada apa?” Seorang gadis imut yang manis menabrakku.
“Wahyu Om, mimpinya kok aneh-aneh semua.” ucapnya menggemaskan.
“Mimpi aneh. Memangnya mimpi apa, Nak?” Kutatap gadis imut itu. Dia masih kertas putih tanpa warna buram kehidupan.
“Wahyu mimpi ketemu lelaki tua berbusana serba putih. Katanya mau diajarkan ilmu kuat biar tidak teriris keris, seperti Puang Matoa.” Apa??? Kata-kata gadis imut itu selaksa gemuruh yang menulikan pendengaranku. Kami harus segera pulang ke Bandung.
Kuceritakan kekhawatiranku pada istri dan ibu. Mereka menganggap aku terlalu berlebihan. Bahkan ibu hanya menganggap itu hanyalah masalah sehari yang akan berhenti hari ini juga. Wahyu harus tetap menjadi Wahyu. Tak ada bissu, mabbissu, ritual maggiri. Takkan pernah ada. Aku harus segera menegur Wahyu untuk tak percaya hal-hal seperti itu. Kita tak butuh itu semua karena sudah ada iman yang terlalu mahal bila harus digadaikan bahkan untuk menyandingkan keduanya pun tak pantas.
***
“Kang…kang…kang…”
“Ada apa Pat? Kok kamu teriak-teriak begitu.” Segera kuhampiri Patmi yang tampak panik.
“Wahyu…Anak kita kang. Tangannya berdarah. Dia terluka parah.” Patmi semakin panik.
“Kok bisa?” Kucoba untuk berpikir jernih.
“Ayolah kita ke rumah. Nanti dia kehabisan darah. Untung dia tidak menusukkan pisau ke perutnya.” Patmi menarikku pulang. Pisau…darah… Ah… Aku berusaha mengikuti kecepatan langkah Patmi.
“Jangan bilang dia mencoba seperti para bissu.”
“Seperti itulah, Kang.” Aku berhenti dan menatap istriku. Ini sudah tak bisa dibiarkan. Segera kuraih tangan istriku dan berlari ke rumah.
Kudapati Wahyu, anakku bersimpah darah. Segera kugendong tubuh kecilnya ke Puskesmas. Kamu harus bertahan, Nak pintaku dalam doa. Wahyu sudah tak sadarkan diri. Entah apa yang ia rasakan. Kasian anakku.
“Maaf pak, dokter lagi tak ditempat. Sebaiknya langsung ke rumah sakit saja” ucap seorang perawat.Ah lagi-lagi system pelayanan kesehatan.
“Anak saya kekurangan banyak darah, Bu. Tolong diberi pertolongan pertama dulu dong. Kalau anak saya sampai meninggal kalian aku tuntut.” Aku mulai emosi. Sistem seperti apa ini? Dimana rasa kemanusiaanya? Seorang perawat tampak masih ingin berkomentar, saat seorang perawat yang lebih tua langsung menyuruhku membawa Wahyu ruang gawat darurat. Luka Wahyu pun segera dijahit dan mendapat tambahan darah. Akhirnya nyawa anakku masih terselamatkan.
Malam mulai menaungi langit. Kegelapan menjadi teman sunyi yang setia. Wahyu tampak pulas dalam lelapnya. Mata sipitnya perlahan terbuka. Alhamdulillah. Kami yang berada di ruangan itu berucap syukur atas nikmat itu.
“Yah, kenapa aku tak bisa seperti mereka?” Sebuah tanya yang meruntuhkan bangunan senyum yang baru kubentuk.
“Sayang, nggak usah mikiran itu ya. Wahyu itu anak mama yang paling jago.” Patmi berusaha menenangkannya dan tak lepas tangannya membelai rambut anakku.
“Mama bohong. Buktinya Jack lebih jago dari aku. Kok bissu bisa ya?” Kami hanya mampu saling berpandangan. Ibuku pun mulai meneteskan air mata . Ah, hatinya sungguh lembut.
“Mama pernah ngomong kalau ayah adalah ayah terhebat buat Wahyu. Ya kan Ma?” Patmi hanya sanggup mengangguk.
“Ayah pasti bisa dong seperti bissu. Aku mau lihat, Yah.” Aku terkesiap mendengar permintaan itu. Ibu dan Patmi pun sangat kaget. Kenapa harus begini?
“Sayang… andai ayah bisa, ingin rasanya segera kuperlihatkan depan Wahyu. Tapi itu kelemahan ayah, Nak. Untuk sekali ini saja ayah minta maaf. Ayah tidak bisa.” Kucoba member pengertian pada Wahyu. Tak ada ucapan yang ia lontarkan. Tapi raut mukanya membiaskan rona kecewa yang sangat besar. Seorang anak telah kecewa pada ayahnya. Oh sungguh aku tak mampu memenuhi permintaan anakku sendiri.
“Lakukan sekali ini saja Man! Demi anakmu.”
“Tapi aku tidak bisa, Bu. Lagian sudah terlalu lama aku tak melakukannya. Aku sudah lupa semuanya.”
“Mungkin kamu telah berubah tapi jiwa kamu masih tetap seorang bissu, Man. Lakukan demi Wahyu. Kamu bisa minta bantuan Puang Matoa. Jangan sampai dia kecewa pada ayahnya sendiri. Dia lagi sakit, kasihan kalau permintaannya tak terpenuhi.” Ibu terus mencoba meyakinkanku.
“Aku sudah bersumpah tak akan melakukannya lagi.” ucapku sambil menatap istriku. Patmi hanya memandangku dengan mata berkaca-kaca. Dia juga tak rela aku melakukannya.
“Demi anak kita sayang. Kamu pernah bisa melakukannya. Pasti kamu masih bisa. Lihat kondisi anak kita dia sangat lemah dan kecewa sama kamu. Melihat wajahmu saja sepertinya ia enggan” Ucapan Patmi mengalir lembut menyapa nalarku.
Aku pun menemui Puang Matoa di rumah Arajang. Setelah kurasa cukup dan yakin masih bisa melakukannya, aku kembali ke kamar rawat Wahyu.
Seraya berdoa kumulai melakukan gerakan maggiri. Awalnya hanya pada lengan dan berhasil. Tampak senyum di wajah Wahyu. Aku pun menusukkan keris ke perutku. Ouw… cairan merah tampak mengalir di bajuku seiring rasa sakit yang teramat perih. Aku melanggarnya. Samar kulihat wajah panik istriku. Semua tiba-tiba berubah kelam. Gelap. Dan aku tak ingat apa-apa lagi.







Kamis, 08 Januari 2009

untaian kata


UNTUKMU YANG TERDESAK
Saudaraku, kuterpaku dalam sepi
mencari jawaban atas Tanya
di balik sandiwara pengeras hati
saudaraku, alam ini damai dalam linangan air matamu
Di antara untaian doa di saat sujudmu
Namun kini, alam menangis dalam linangan darahmu
Mengiring kepergianmu dalam mengantar jasad nan suci
Saudaraku, ku menangis digelapnya malam

Menjamah benang-benang kemunafikan yang telah membelenggu
Menggoyahkan langkah dalam suara merdu si hitam hati
Mereka meluluhlantahkan shimponi indah adzan fardhu
Menyilaukan mata dari kiblat nan agung
Ku terpaku dalam sepi
Kuteteskan airmata di semburat marahku
Merajam ulah para penebar perang
Dia telah merenggut damai jiwa
Menciptakan debu-debu pedih dalam raga
Membiaskan rona sedih dan tangis duka
Saudaraku, walau jiwa dan raga menangis
Mulut merintih di pelukan derita
Namun rahmtNya bersemayam di sisi jiwa
*Saat bom Israel meruntuhkan damai Gaza

Senin, 05 Januari 2009

cerpen


SPEKTRUM CINTA DARI NEGERI DONGENG
Olif sadar kalau spektrum itu menyengat hatinya cukup kuat. Bahkan terlalu kuat sehingga ia tak kuasa untuk menghindar. Hatinya berwarna kala spektrum itu menyapa. Menyalakan pelita di dasar hati dan menyinari hasrat yang hampir beku. Spektrum itu menguasai tiap puing mimpinya. Menerbangkan angan hingga ke negeri dongeng. Cinta, spektrum yang kau pancarkan telah menawarkan senyum di pinggir hati.
“ Permisi”
“ Oh…” Olif kaget. Tanpa disadarinya seorang laki-laki telah berdiri di hadapannya. Laki-laki yang telah membawa spektrum di hatinya. Apakah ini di negeri dongeng? Tanya hati kecilnya dalam girang.

Seperti mimpinya semalam, pangeran datang menjemput di pintu istana kemudian mereka bercengkerama di taman utama kerajaan. Di temani bunga mawar dan anggrek yang bermekaran, rumput hijau menawan, suara gemericik air bersama alunan lembut suara para dayang berbaju sutera ungu yang lincah memetik anggur. Pangeranku gumam Olif. Tapi semua akhirnya terdampar pada lembah yang gelap. Saat tahu kalau dia hanya ingin masuk kelas. Ternyata Olif telah cukup lama menghalanginya masuk kelas. Dengan senyum malu Arin beranjak dari pintu ke tempat duduknya. “ Altar” Suara itu sangat jelas dari lubuk hatinya yang paling dalam.
Altar hanya terpaku di tempatnya memandang dengan sorot bingung pada sosok Olif yang pergi begitu saja tanpa jawaban. Namun, senyum itu cukup menggores belahan jiwanya. Dasar cewek aneh. Tapi kalau dipikir-pikir dia antik, unik dan luar biasa pikir Altar sambil tersenyum dalam makna yang tersembunyi.
***
“Yes. Uh… metode penelitianku dapat A” Olif bersorak girang memamerkan senyum untuk semua temannya. Seperti mimpi karena menurut rumor yang beredar susah lulus mata kuliah ini.
“Selamat ya.” Denting waktu seakan berhenti sampai disini. Angin pun enggan bertiup. Altar ngucapin selamat ke aku hatinya melayang melewati horizon.
“Mata kuliah ini memang sulit tapi kita bisa lulus dengan nilai A lagi. Kayak mimpi ya? Mungkin karena kita sama-sama pintar, he…he…” Altar tersenyum lebar. Sedangkan Olif hanya membisu dengan pikiran entah dimana. Itulah kalimat terpanjang yang pernah Altar ucapkan pada Olif. Karena melihat Olif diam saja, Altar melanjutkan “Kita boleh sama-sama dapat A tapi sepertinya aku perlu meralat ucapanku tadi. Kita nggak sama pintar. Kamu cuma lagi beruntung aja kalau tidak karena kebetulan mungkin akan bernasib sama dengan yang lain.” Altar memojokkan Olif.
“Kepedean banget sih, kamu tuh yang cuma nebeng nasib doang di ujung pulpen bapak. Beliaukan PA kamu. Lagian aku bisa kok buktiin kalau aku lebih bisa dari kamu.” Olif mulai panas. Dia memang tidak tahan dipandang sebelah mata dan cenderung suka nekat.
“Ok. Kita buktiin, siapa yang duluan S1 berarti dia lebih pintar. Kamu boleh deh nyuruh aku apapun kalau kamu menang.” tantang Altar dengan sorot mata penuh arti. Entah apa yang dipikirkan Altar sehingga dia berani menaruh taruhan seperti itu.
“Siapa takut. Kalau kamu menang, kamu… boleh minta apapun sama aku.” ucap Olif tak mau kalah. Altar tersenyum mantap sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.
“Tapi apa yang kamu minta nanti tidak boleh melanggar HAM dan tidak boleh mencemarkan nama baik.” balas Olif tanpa menyambut uluran tangan Altar. Dia pun berlalu dengan sejuta keheranan, kok aku mau taruhan gituan ya. Altar kan bukan rivalku dan spektrum itu? sesal bathinnya.
***
Perpustakaan, warnet, dan rumah senior menjadi tempat nongkrong Olif sekarang. Bulan ini dia bertekad harus memasukkan judul ke pembimbingnya kemudian menyusun proposal penelitian. Olif yakin bisa mendahului Altar.
Siang malam Olif membaca untuk mendapatkan judul yang menggebrak. Entah apa yang dilakukan Altar sekarang? Bayangan itu kembali mencul mengganggu pikirannya. Mungkin Altar harus menjadi rivalku sekarang demi nama baik. Tapi bagi Olif, Altar tetaplah sosok yang menghantui mozaik harinya.
“Judul aku ditolak. Katanya terlalu biasa dan sederhana. Hm… sebaiknya aku melakukan observasi aja dulu, mungkin di luar sana ada fenomena yang menarik.” desah Olif diantara ceritanya kepada Mai. Sebenarnya Mai heran dengan sikap Olif. Kenapa Olif terlalu berambisi selesai tahun ini? Bukannya itu terlalu cepat? Tiga tahun empat bulan adalah waktu yang terlalu singkat untuk merampungkan kuliah.
Tak ada kabar tentang Altar. Olif menjadi gelisah sendiri dan harus berbaur dengan berbagai pertanyaan. Apakah Altar terlalu sibuk mengurus skripsinya sampai lupa ke kampus? Hati Olif menjadi ciut. Ada ketakutan yang mulai menyusup ke relung hatinya. Bagaimana kalau dia kalah? Apa yang akan diminta Altar padanya? Ah, sungguh kebodohan yang tak terperikan.
Hari-hari Olif menjadi serba sibuk. Dia tidak mau kehilangan waktunya hanya untuk mengurus rindu yang nakal di bilik jiwanya. Olif rindu sosok Altar yang selalu mengejutkannya. Altar terlalu gagah di matanya. Cool tapi humoris, alim tapi gaul, agak nakal tapi berprestasi. Andai Altar tahu?
***
Enam bulan telah berlalu, tetap tak ada kabar dari Altar. Setitik harapan untuk menang menggantung di pelupuk mata Olif yang baru selesai merampungkan hasil penelitiannya. Sepertinya bulan Maret yang akan mendatangkan kemenangan itu. Tahun ini tak mengikhlaskan detiknya untuk kemenangan Olif.
“Hai… Wah udah lama banget ya kita nggak ketemu. Kamu masih ingatkan taruhan kita?” Altar tiba-tiba muncul mengagetkan Olif yang sedang serius membaca. Akhirnya Olif bisa juga melihat sosok itu lagi. Dan spektrum yang terus dia kubur mengangkasa di langit hatinya. Tapi itu hanya sesaat, karena setitik harapannya tinggal jejak kala melihat pakaian Altar. Hitam-putih.
“Gimana jadi wisuda bulan ini?” Olif telah kalah dalam pertarungan yang dibentuknya sendiri. Olif harus mengakui kalau Altar memang pintar .
“Kamu mau meminta apa? Tapi ingat syaratnya.” ucap Olif kemudian dengan wajah juteknya dan berusaha memasang sikap berwibawa. Dia tidak mau kelihatan terlalu bodoh di mata Altar. Senyum penuh kemenangan Altar berkembang. Dia sebenarnya sudah tahu semua tentang Olif termasuk saat judulnya ditolak dan penelitiannya yang gagal.
“Aku hanya minta… kamu memakai cincin ini sebagai pengikat hati kita. Kamu bersediakan jadi calon permaisuriku” Altar menyerahkan kotak cincin berwarna ungu kepada Olif. Akhirnya kalimat itu berhasil juga dia keluarkan dari mulutnya. Tidak sia-sia dia mengeja kalimat itu di setiap spasi skripsinya.Olif kehilangan ekspresi wibawa yang sempat dia pasang beberapa menit lalu. Apakah ini di negeri dongeng? Pertanyaan itu kembali muncul bersama spektrum yang telah menguasai seluruh jiwa raganya.