Minggu, 01 Maret 2009
cerpen budaya
RETAKNYA MIMPI SANG BISSU
Oleh: Ani Dzakiyah
“Ayah, apa kita sudah di Makassar?” pertanyaan Wahyu membuyarkan bayangan masa kecil yang sempat menari di pundak anganku. Patmi tersenyum memandang buah hati kami yang sudah berumur 11 tahun itu lalu menatapku lembut.
“Ya sayang, kita sudah sampai di tanah nenek moyang ayah. Nanti sebelum melanjutkan perjalanan ke Wajo, kampung kelahiran ayah, kita istirahat sebentar di rumah teman lama ayah.” Kupandangi wajah istri yang selalu cantik dimataku. Sebentar lagi kami mendarat di bandara Sultan Hasanuddin. Kurasakan gemuruh dalam dadaku. Perasaan apa ini? Mungkin aku sudah terlalu lama lari dari ini semua.
14 tahun kutinggalkan Sulawesi tak ada yang jauh berbeda, hanya bandara ini yang semakin megah saja. Sepertinya Makassar semakin makmur pikirku. Dari kejauhan Mahmud melambaikan tangan pada kami. Dia tampak lebih tua dan kurus dariku.
“Selamat datang di Bumi Angin Mammiri Rahman.” Dia merangkulku erat seakan ingin melampiaskan semua kerinduannya. Dia pun melirik pada anak dan istriku. Mungkin dia heran dan bertanya-tanya. Siapa gerangan mereka? Kuperkenalkan Patmi dan Wahyu pada Mahmud.
“Kamu benar-benar sudah berubah kawan. Hidupmu sudah sempurna, Man. Apalagi yang kau cari disini?” Pertanyaan mengalir lembut ke telingaku bersama deru knalpot pete-pete yang kami tumpangi.
“Aku rindu suasana kampung dan kerabat. Lagipula Patmi dan Wahyu juga belum pernah kesini, mereka akan kuperkenalkan pada keluarga.” jawabku. Sudah terlalu lama aku tak menghubungi ibu, termasuk tentang kepulangan ini. Mungkin akulah anak paling berdosa, tapi ini kulakukan demi pencarian pada jati diri. Kuedarkan pandangan menyisir tubuh tol Reformasi yang tampak gagah rupanya. Makassar sudah jaya.
***
Matahari mulai meninggalkan titik sentralnya, pertanda sore kan menjelang. Aku harus segera ke terminal karena kalau kemalaman dipastikan mobil Makassar-Sengkang sudah tidak ada. Istirahat di rumah Mahmud cukup menyegarkan badan dengan suguhan nuansa rumah segar dengan bunga-bunga indah dipadu perabotan antik. Rupanya Mahmud masih suka mengoleksi barang-barang antik. Setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih, kami segera ke terminal. Mahmud tak dapat mengantar kami karena ada urusan penting yang tidak dapat ditinggalkannya. Tepat pukul empat sore kami tinggalkan terminal.
Sepanjang perjalanan Wahyu dan Patmi hanya membisu sedangkan aku sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan yang membingungkanku sendiri. Mobil yang kami tumpangi merupakan mobil terakhir di terminal tadi. Kebetulan sopirnya tetanggaku di kampong, sehingga kami dapat duduk di kursi depan.
Pemandangan yang tersaji di luar jendela mobil sudah jauh berbeda saat kutinggalkan dulu. Tak adalagi hutan dan tanah lapang yang ada hanyalah pemukiman luas dan area pertanian yang mulai terdesak.
“Sudah sampai Man.” Aku terkejut, ternyata aku tertidur. Segera kubangunkan Patmi dan Wahyu yang masih pulas. Mereka tampak sangat kelelahan.
“Terima kasih Ali. Sepertinya ada pesta di rumah Datu?” tanyaku saat melihat keramaian di rumah Datu Ake yang berseberangan dengan rumah ibuku.
“Iya. Pesta lama…sepertinya baru mulai. Oh ya, ini baru pukul sepuluh. Ayo saya juga mau kesana” ajak Ali. Pesta lama?
Awalnya aku menolak dan bergegas menuju rumah ibuku tapi ternyata terkunci. Yah, ibu tidak mengetahui kedatangan kami. Pasti ibuku ada di rumah Datu. Barang bawaan kami simpan di depan pintu dan akhirnya memilih untuk kerumah Datu juga sekalian bertemu teman lama dan kerabat.
“Ramai sekali Yah?” Tanya Wahyu saat kami memasuki halaman rumah Datu. Tak ada yang menyadari kedatanganku, semuanya serius memandang ke arah seorang penari. Oh… hatiku ciut. Tanganku tiba-tiba dingin. Desiran darahku semakin kencang. Acara mabbissu, acara ritual yang diperankan oleh para bissu.
Orang kebanyakan mengatakan kalau bissu itu “Urane majjiwa makkunrai, tengurane toi temmakunraitoi” (Laki-laki yang berjiwa perempuan, tapi bukan laki-laki juga bukan perempuan). Para bissu berperan sebagai penasihat raja. Pada masa pra- Islam mereka bisa dikatakan sebagai pendeta agama Bugis kuno. Sebagai pelaksana dalam ritual kerajaan, bissulah yang menentukan hari baik untuk memulai sesuatu, seperti turun ke sawah atau membangun rumah.
“Kang lihat itu!” teriakan Patmi menghentikan perasaan aneh yang merayapi tubuh. Kuarahkan pandanganku pada seorang bissu yang ditunjuk Patmi. Tampak seorang bissu yang usianya lebih tua dari bissu lainnya. Itulah Puang Matoa, pimpinan para bissu. Dia sedang meletakkan keris ke lantai rumah, dengan ujung keris yang menghunus ke atas. Lalu menjatuhkan dirinya ke ujung keris itu. Alas kayu yang dijadikan tumpuan kerisnya berderak patah. Gerakan ini ia lakukan berulang-ulang. Bahkan beberapa kali ia menjatuhkan dirinya dengan sangat keras.
Keramaian bertambah ketika dengan keris terhunus, Puang Matoa menggorok lehernya sendiri. Ia lalu menyandarkan ujung keris tersebut ke tiang rumah, dan menekan-nekankan keris tersebut ke lehernya. Bunyi gendang semakin kuat. Puang Matoa melenguh, ia kemudian menancapkan keris panjangnya ke bagian perut. Ia menghentakkannya ke lantai, dan seketika bambu yang menjadi alas kersinya patah. Ia semakin liar. Kemudian ia kembali menghujamkan keris ke perutnya namun tak ada setetes darah pun yang tampak. Kegiatan itulah yang biasa disebut upacara maggiri. Bunyi gendang terhenti. Kami tersenyum puas dan bertepuk tangan.
“Pat, Wahyu mana?” Tanya ku pada Patmi saat menyadari kalau Wahyu tak bersama kami. Patmi juga tampak bingung seakan ingin berkata kalau Wahyu tadi disampingnya. Kuedarkan pandanganku ke setiap penjuru. Tidak. Anakku ternyata sedang berbicara dengan seorang bissu muda. Setengah berlari aku menghampirinya.
“Kakak hebat. Kulitnya tidak teriris keris. Wah ... aku ingin seperti itu.” Si bissu hanya tersenyum mendengar celoteh Wahyu. Tak boleh ada percakapan lagi.
“Wahyu, ayo ke rumah nenek. Ibu bingung mencarimu!” dengan sedikit hardikan Wahyu akhirnya menurut. Beberapa orang yang kulewati menyapaku bahkan ada yang merangkulku. Ternyata mereka merindukanku juga.
“Rahman sudah berubah ya?”
“Itu anaknya? Seperti mustahil kalo mengingat dia muda dulu”
Selentingan komentar dari mereka hanya kuanggap angin lalu. Aku ingin segera bertemu ibu. Kupercepat langkahku menuju Patmi yang berdiri mematung. Tampak seorang ibu yang hampir renta menegurnya. Itu ibu pekik batinku.
Pertemuan yang cukup mengharukan. Setelah berpamitan dengan Puang Datu Ake dan beberapa tetangga, kami pulang ke rumah yang hanya beberapa langkah dari rumah Puang Datu.
Malam ini menjadi malam yang sangat indah sepanjang hidupku. Bintang-bintang menari diiringi alunan merdu suara bulan. Pentas indah mutiara langit itu menyisipkan kebahagiaan yang tiada terperi di sepanjang aliran darah. Tapi siapa yang tahu kalau malam ini akan menjadi awal retaknya mimpiku.
***
“Yah, keren ya kalau jadi bissu. Aku tak perlu lagi takut sama Jack. Mau dipukul, di tendang atau di tikam sekali pun. Kan udah kebal.”
“Hentikan Wahyu, tidak ada yang akan pernah jadi bissu lagi di keluarga kita.” Aku menjadi emosi mendengar angan-angan Wahyu. Mendengar ucapanku yang meninggi, Wahyu segera berlari ke arah neneknya yang sedang memberi makan ayam di halaman samping rumah.
Melihat sikapku yang tak biasanya Patmi tampak bingung. Aku sendiri bingung dengan sikapku. Mungkin harapanku terlalu tinggi pada Wahyu atau kepahitan masa lalu yang tiba-tiba membias di angan.
“Kang, kok ngomongnya kasar gitu sih. Itukan cuma angan-angan anak kecil. Biarin aja.” Patmi mencoba menenangkanku. Udara pagi ini berhembus hampa di wajahku. Ini bukan sekedar angan-angan anak kecil tapi…
“Apa maksud ucapan Akang tadi?”
“Ucapan yang mana?”
“Menjadi bissu lagi?” Tanya Patmi dengan tatapan selidik khasnya. Aku mengerti arah pertanyaan istriku. Aku harus cerita sekarang. Mungkin inilah saat yang tepat untuk membuka tabir rahasia masa laluku.
“Patmi, bagiku kamu dan Wahyu adalah nafas hidupku. Aku bermimpi suatu saat nanti keluarga kita menjadi keluarga kecil yang bahagia. Aku ingin kamu menjadi istri yang bangga akan suamimu. Dan Wahyu menjadi anak yang terpandang tanpa cerca. Aku tak meminta banyak. Aku hanya ingin kita semua dihargai dan diterima dimanapun berada.” Ucapku serius mencoba mencari setitik embun dimata istriku.
“Aku bangga menjadi istrimu. Kamu seorang pekerja keras, rajin salat, dan tak pernah mengeluh. Ada yang ingin kau ceritakan?” tanya istriku sambil menggenggam tanganku. Sebuah keteguhan untuk mengungkap semuanya hadir dalam hatiku.
“Aku tak tahu apakah kamu masih bangga menjadi istriku setelah kuceritakan masa laluku?” istriku hanya mengangguk meyakinkan hatiku.
***
Sejak berusia belasan tahun aku sudah menyadari kelainan yang aku alami, dan mencoba untuk masuk seutuhnya ke wilayah bissu. Maka aku datang berguru kepada bissu-bissu senior ketika itu, salah satunya Puang Matoa Patiro. Aku dinyatakan lulus sebagai bissu pada usia 20 tahun.
Awalnya aku menjadi bissu karena tiga kali aku bermimpi bertemu lelaki tua berbusana serba putih yang menyuruhku ke Rumah Arajang yaitu altar berkumpulnya pembesar bissu. Aku tak berani ke sana. Melihat bissu-bissu itu saja sudah takut, karena cara berpakaiannya seperti perempuan tetapi wajahnya kekar-kekar. Namun, setelah mimpi ketiga baru aku memberanikan diri. Dan jadilah aku selalu bersama mereka.
Setelah 5 tahun menjadi bissu aku mulai merasa jenuh. Seiring pemahaman agama masyarakat yang semakin baik bissu tak lagi dianggap orang suci tapi mulai dicela dan dianggap mempraktikan kemusyrikan. Selama aku menjadi bissu pun kegiatan yang kami lakukan tak terlalu besar lagi seperti pada zaman kerajaan. Keinginanku untuk lebih dihargai dengan kekuranganku justru berubah menjadi pandangan jijik.
Mulai ada keinginan untuk menjadi orang normal. Dan keinginan itu semakin kuat sejak kejadian malam itu. Kejadian yang tak ingin kulihat lagi. Malam itu acara mabbissu digelar dirumah Datu Tenri Liweng. Saat tiba giliran Puang Matoa Patiro dan melakukan upacara maggiri sambil terus mengucapkan bahasa torilangi, bahasa para dewa. Keris pun mulai di tusukkan ke perutnya. Sukses. Namun, ketika ia bangkit dan menghujamkan kembali keris ke perutnya, matanya mendelik.
Aku dan Masse di sudut ruangan mulai memucat. Puang Patiro sempoyongan, dengan langkah tertatih ia berbalik ke dalam ruangan. Bunyi gendang terhenti. Kami tersenyum puas dan bertepuk tangan. Namun, sekembali dari ruangan, Puang Patiro ternyata masih memegang hulu keris yang masih menghujam ke perutnya, berkali-kali jempol tangan yang telah diludahinya diusapkan ke bagian perut. Kami tercekat, perut Puang Patiro berdarah. Terlihat darah segar! Perut Puang Patiro tersobek oleh tusukannya sendiri. Aku digerogoti rasa takut. Puang Patiro tertikam keris, bukannya segala ritual pada dewa sudah dia lakukan? Ah, ada kekuatan di atas kekuatan para dewa.
Malam itu mencekam detik-detik tidurku. Mimpi buruk pun menyusup perlahan menggetarkan hatiku. Terlihat diriku menari dengan gemulai, keris kutusukkan ke seluruh bagian tubuh. Tak ada yang terluka, tapi saat keris kuarahkan ke bagian hatiku tiba-tiba mengalir darah segar bahkan hampir disetiap lubang pada tubuhku mengeluarkan darah segar. Anehnya, Puang Matoa hanya tersenyum melihat kondisiku. Aku marah, kecewa, geram, dan sakit tapi siapa yang harus disalahkan? Mimpi itu terus mengusik malam-malamku.
Aku takut. Semua harus berakhir. Hari-hariku penuh gundah dengan tatapan hina orang-orang disekitarku. Aku seperti bangkai berjalan tanpa arah. Hingga akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan semuanya termasuk ibuku. Bandung menjadi tujuan pencarianku. Terlunta-lunta oleh waktu, musim dan kejamnya sinar matahari. Dan akhirnya aku bertemu denganmu, Patmi
***
Meskipun aku bukan bissu lagi, tak berarti kalau aku harus membenci para bissu. Aku tak mau sorot mataku menciptakan kegelisahan di hati mereka. Wahyu tak pernah lagi penasaran dengan bissu. Aku tak menyangka dia cepat akrab dengan anak-anak kampung sini. Cukuplah dia menjadi laki-laki normal. Tak perlu kekebalan dan ritual pemujaan karena ada yang lebih kuat diatas segalanya dan lebih pantas untuk dipuja. Dialah Sang Pencipta yang di tanganNya tergenggam jiwa-jiwa anak Adam.
“Oh… aduh kenapa pada lari. Ada apa?” Seorang gadis imut yang manis menabrakku.
“Wahyu Om, mimpinya kok aneh-aneh semua.” ucapnya menggemaskan.
“Mimpi aneh. Memangnya mimpi apa, Nak?” Kutatap gadis imut itu. Dia masih kertas putih tanpa warna buram kehidupan.
“Wahyu mimpi ketemu lelaki tua berbusana serba putih. Katanya mau diajarkan ilmu kuat biar tidak teriris keris, seperti Puang Matoa.” Apa??? Kata-kata gadis imut itu selaksa gemuruh yang menulikan pendengaranku. Kami harus segera pulang ke Bandung.
Kuceritakan kekhawatiranku pada istri dan ibu. Mereka menganggap aku terlalu berlebihan. Bahkan ibu hanya menganggap itu hanyalah masalah sehari yang akan berhenti hari ini juga. Wahyu harus tetap menjadi Wahyu. Tak ada bissu, mabbissu, ritual maggiri. Takkan pernah ada. Aku harus segera menegur Wahyu untuk tak percaya hal-hal seperti itu. Kita tak butuh itu semua karena sudah ada iman yang terlalu mahal bila harus digadaikan bahkan untuk menyandingkan keduanya pun tak pantas.
***
“Kang…kang…kang…”
“Ada apa Pat? Kok kamu teriak-teriak begitu.” Segera kuhampiri Patmi yang tampak panik.
“Wahyu…Anak kita kang. Tangannya berdarah. Dia terluka parah.” Patmi semakin panik.
“Kok bisa?” Kucoba untuk berpikir jernih.
“Ayolah kita ke rumah. Nanti dia kehabisan darah. Untung dia tidak menusukkan pisau ke perutnya.” Patmi menarikku pulang. Pisau…darah… Ah… Aku berusaha mengikuti kecepatan langkah Patmi.
“Jangan bilang dia mencoba seperti para bissu.”
“Seperti itulah, Kang.” Aku berhenti dan menatap istriku. Ini sudah tak bisa dibiarkan. Segera kuraih tangan istriku dan berlari ke rumah.
Kudapati Wahyu, anakku bersimpah darah. Segera kugendong tubuh kecilnya ke Puskesmas. Kamu harus bertahan, Nak pintaku dalam doa. Wahyu sudah tak sadarkan diri. Entah apa yang ia rasakan. Kasian anakku.
“Maaf pak, dokter lagi tak ditempat. Sebaiknya langsung ke rumah sakit saja” ucap seorang perawat.Ah lagi-lagi system pelayanan kesehatan.
“Anak saya kekurangan banyak darah, Bu. Tolong diberi pertolongan pertama dulu dong. Kalau anak saya sampai meninggal kalian aku tuntut.” Aku mulai emosi. Sistem seperti apa ini? Dimana rasa kemanusiaanya? Seorang perawat tampak masih ingin berkomentar, saat seorang perawat yang lebih tua langsung menyuruhku membawa Wahyu ruang gawat darurat. Luka Wahyu pun segera dijahit dan mendapat tambahan darah. Akhirnya nyawa anakku masih terselamatkan.
Malam mulai menaungi langit. Kegelapan menjadi teman sunyi yang setia. Wahyu tampak pulas dalam lelapnya. Mata sipitnya perlahan terbuka. Alhamdulillah. Kami yang berada di ruangan itu berucap syukur atas nikmat itu.
“Yah, kenapa aku tak bisa seperti mereka?” Sebuah tanya yang meruntuhkan bangunan senyum yang baru kubentuk.
“Sayang, nggak usah mikiran itu ya. Wahyu itu anak mama yang paling jago.” Patmi berusaha menenangkannya dan tak lepas tangannya membelai rambut anakku.
“Mama bohong. Buktinya Jack lebih jago dari aku. Kok bissu bisa ya?” Kami hanya mampu saling berpandangan. Ibuku pun mulai meneteskan air mata . Ah, hatinya sungguh lembut.
“Mama pernah ngomong kalau ayah adalah ayah terhebat buat Wahyu. Ya kan Ma?” Patmi hanya sanggup mengangguk.
“Ayah pasti bisa dong seperti bissu. Aku mau lihat, Yah.” Aku terkesiap mendengar permintaan itu. Ibu dan Patmi pun sangat kaget. Kenapa harus begini?
“Sayang… andai ayah bisa, ingin rasanya segera kuperlihatkan depan Wahyu. Tapi itu kelemahan ayah, Nak. Untuk sekali ini saja ayah minta maaf. Ayah tidak bisa.” Kucoba member pengertian pada Wahyu. Tak ada ucapan yang ia lontarkan. Tapi raut mukanya membiaskan rona kecewa yang sangat besar. Seorang anak telah kecewa pada ayahnya. Oh sungguh aku tak mampu memenuhi permintaan anakku sendiri.
“Lakukan sekali ini saja Man! Demi anakmu.”
“Tapi aku tidak bisa, Bu. Lagian sudah terlalu lama aku tak melakukannya. Aku sudah lupa semuanya.”
“Mungkin kamu telah berubah tapi jiwa kamu masih tetap seorang bissu, Man. Lakukan demi Wahyu. Kamu bisa minta bantuan Puang Matoa. Jangan sampai dia kecewa pada ayahnya sendiri. Dia lagi sakit, kasihan kalau permintaannya tak terpenuhi.” Ibu terus mencoba meyakinkanku.
“Aku sudah bersumpah tak akan melakukannya lagi.” ucapku sambil menatap istriku. Patmi hanya memandangku dengan mata berkaca-kaca. Dia juga tak rela aku melakukannya.
“Demi anak kita sayang. Kamu pernah bisa melakukannya. Pasti kamu masih bisa. Lihat kondisi anak kita dia sangat lemah dan kecewa sama kamu. Melihat wajahmu saja sepertinya ia enggan” Ucapan Patmi mengalir lembut menyapa nalarku.
Aku pun menemui Puang Matoa di rumah Arajang. Setelah kurasa cukup dan yakin masih bisa melakukannya, aku kembali ke kamar rawat Wahyu.
Seraya berdoa kumulai melakukan gerakan maggiri. Awalnya hanya pada lengan dan berhasil. Tampak senyum di wajah Wahyu. Aku pun menusukkan keris ke perutku. Ouw… cairan merah tampak mengalir di bajuku seiring rasa sakit yang teramat perih. Aku melanggarnya. Samar kulihat wajah panik istriku. Semua tiba-tiba berubah kelam. Gelap. Dan aku tak ingat apa-apa lagi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar