Selasa, 31 Mei 2011

PILIHAN

mungkin tiada hidup tanpa pilihan
meski aku pernah merasa tak memiliki pilihan
masa itu sungguh membosankan. aku harus bertahan hanya untuk satu pilihn sja.
tapi itu sudah berlalu..
kini justru ku dihadapkan pada 2 pilihan yang rumit
inilah hidup.
manusia harus mampu memilah yang terbaik.
pilihan-pilihan di sisiku, itulah yang akan mengajarkan tanggug jawab. karena manusi harus mampu bertanggung jawab atas pilihannya.
sesulit dan seberat apapun itu kita harus mampu memilih.
bersyukurlah bila masih diberi pilihan. karena pilihn bukti hidup

Kamis, 05 Mei 2011

MENDUNG DI SEKOLAH ARI

MENDUNG DI SEKOLAH ARI
Oleh: Ani Dzakiyah
Mentari hangat sepertinya enggan menemani langkah Ari menuju tempat menuntut ilmu. Langit masih saja berawan. Mendung pekat selaksa gumpalan bah. Tapi, Ari harus tetap melangkah dalam tapak kerikil teman seperjalanan. Ada ilmu yang menanti untuk dijamah. Dan inilah darah juang yang kan terus mendidih walau jauh dari sudut arah kota.
Lumpur mulai menebal mengelilingi sepatu bututnya. Langkah pun terasa berat. Beberapa teman Ari silih berganti melaluinya dengan deru knalpot yang bising. Tak bosan Ari melayangkan senyum dan lambaian tangan pada mereka. Tak sedikit pun rasa iri terbersit di hatinya. Meski di dasar hatinya tersimpan tekad bulat untuk seperti mereka.
Semua itu hanyalah sebuah asa. Toh, walaupun ia menangis meminta bapak ibunya takkan mampu mengindahkannya. Asa itu terlalu tinggi untuk seorang bocah miskin dalam kumal hari-harinya.
“ARI!!! Ayo cepat! Bel sebentar lagi berbunyi.” teriak Agusta sambil terus mengayuh sepedanya. Tampak adiknya terkatung-katung di boncengan. Ari pun menambah kecepatan kakinya. Berusaha memburu waktu secepat keringat di gurat wajahnya.
DUARRH
Gemuruh raksasa langit mulai menampakkan kuasanya. Dada Ari terasa bergemuruh. Sepertinya hujan bakal deras, gumamnya. Ari tetap melangkah dengan kecepatan sekilat. Tak dihiraukannya jalanan becek yang menganga. Tekadnya gigih untuk dapat mencapai sekolah tanpa basah dan telat.
Mata Ari tiba-tiba berbinar. Atap biru sekolahnya mulai tampak. Semangatnya kian membara. Tapi langit makin kehilangan cahayanya. Gumpalan-gumpalan awan gelap menaungi Ari di sela-sela kilat dan guntur yang riuh. Sepotong doa pun terlintas dalam benaknya, Rabb…tangguhkanlah hujanMu, semenit saja!!!
Keberuntungan sepertinya masih enggan berpihak padanya. Tetes air dari kuasaNya satu per satu mulai membasahi seragamnya. Angin yang biasanya lembut mulai berhembus tajam. Ari mulai berlari. Dikejarnya bayangan sekolah menghindari barisan-barisan hujan. Lalu, teng…teng…teng. 5 langkah tak menyelamatkan Ari dari lonceng tanda masuk. Dia terlambat dan basah kuyup.
Ari dengan langkah gontai mulai memasuki kelas. Namun, dia tiba-tiba berhenti dan tertegun panjang. Pak Idrus, wali kelas dan teman sekelasnya berdiri menepi. Mereka pun tertegun. Hujan bulan April sungguh memperlihatkan sikap tak bersahabatnya. Rembesan airnya menelusup masuk di cela lantai dan atap. Seharusnya ini tak menjadi peristiwa mengejutkan bagi mereka karena sudah menjadi kejadian rutin di tiap hujan. Tapi hujan kali ini telah berhasil menerbangkan beberapa helai seng atap. Air mulai menggenangi lantai. Meja dan kursi tak layak untuk menjadi alas belajar lagi.
“Gimana dong, Pak? Kita jadi belajar atau tidak?” tanya Agusta Si Ketua kelas.
“Sebaiknya kita berteduh di perpustakaan. Bapak rasa disitu aman.”
Ari hanya bisa diam dan mulai mengikuti arah teman- temannya. Ruang perpustakaan memang cukup kokoh. Wajar karena inilah gedung terakhir yang dibangun di sekolah itu. Tapi sayang, ruang perpustakaan yang luas tiba-tiba terasa sempit. Beberapa murid dari kelas lain juga sudah berkumpul. Bapak kepala sekolah pun mengambil alih suasana.
“Anak-anakku, karena hari ini tidak memungkinkan belajar dalam kelas dan beberapa teman dari kelas lain juga berkumpul disini. Jadi, kegiatan belajar mengajar diganti dengan pelajaran mengarang sambil menunggu hujan reda. Temanya tentang apa yang kalian alami hari ini.” Selepas Bapak kepala sekolah berbicara. Para murid mulai sibuk dengan penanya.
Jauh berbeda dengan Ari. Dia malah bingung harus memulai kisahnya darimana. Terlalu banyak hal yang ingin ia kisahkan. Bahkan berjubel keluh ingin dia adukan. Apa daya, ia hanyalah seorang murid miskin dari sudut terjauh arah kota. Keluh kesah dalam kisahnya pun hanya dapat membentuk sebuah karangan singkat. Entah akan terliput oleh para penguasa atau sekedar menjadi pencuci mata di majalah dinding. Mungkin pula hanya sekedar pelengkap sampah-sampah hanyut di musim hujan.
Dalam rangka hari pendidikan nasional 2011

Minggu, 27 Maret 2011

sebuah karya menjadi bukti "aku ada"

SEBUAH KARYA
Seorang bijak pernah berkata, “kualitas karya kita akan menjelaskan SIAPA KITA. ” tiap lekuk yang terbentuk dari buah tangan takkan jauh dari penciptanya. Begitu pula sebuah karya lahir dengan roh dan jiwa yang terhembus dari tangan-tangan lincah penciptanya.
Pencipta itu adalah kita. Setiap diri punya rasa untuk mencipta yang berarti punya rasa untuk berkarya. Tak berkarya berarti mati. Apalah arti perjalanan langkah kaki di atas bumi tanpa jejak-jejak pijakan. Sepudar apapun ia, kan tetap menjadi bukti keberadaan kita.
Lalu, sudahkah kita berkarya???
Sebuah karya ternilai relatif di pandangan manusia. Karena itu tak perlu ada kata takut dan malu. Kita hanya perlu malu bila tak mau berkarya karena semua punya bakat untuk itu seburuk dan sekecil apa pun itu.
Telah ramai hasil karya manusia di bumi ini dari laki-laki hingga wanita. Tua-muda, kaya-miskin, berpendidikan-tak berpendidikan, pejabat-buruh dari setiap sudut jagad raya. Terkenal dan tidaknya, bermanfaat/tidak tergantung dari mereka yang membutuhkannya. Wujud nyata hasil karya itulah yang akan mengenalkan dunia tentang penciptanya. Karya itulah yang akan menjelaskan pada dunia tentang diri kita. Mungkin pula apa karya kita hari ini akan menjelaskan siapa kita di masa depan.
Dear, friend
Dari silau teriknya matahari siang aku ingin berkisah. Dimana pun kalian, kondisi seberat apa pun, dan selemah apa pun lingkungan kita, JANGAN MENYERAH UNTUK BERKARYA! Aku disini dari sudut terjauh keramaian kota mencoba berkarya meski tertatih. Serba sempitnya ruang gerak tetap mampu membuatku mampu menggeliat hanya sekedar untuk berkarya demi mereka yang butuh buah tangan dan pikirku. Meski berawal dari kerabunan rasa ikhlas dan tanpa kepastian yang indah terus kujalani demi sebuah karya disini sampai saatnya aku harus berkarya di tempat lain. Aku yakin bila karya yang indah mampu kucipta maka dunia akan mengenalku dengan indah. Dan aku pun mampu berkata “Inilah AKU.”
TERUS BERKARYA!!!!!