Selasa, 24 Maret 2009

cerpen

MENANTI CAHAYA
Oleh: Ani Dzakiyah
Hujan. Petir. Angin. Berirama mewarnai pagiku. Tetesan hujan melukis wajah yang selalu dirindu. Ada rasa pelan-pelan bergabung dalam risau hati menanti cahaya. Rasa itu pernah hilang. Berlabuh terlalu jauh dari hari-hariku. Ah, romantisme yang pernah hilang.
Hujan terus turun menyebar bau tanah. Kapan hujan reda? Pertanyaan itu langsung terjawab dengan kilat menyambar membuatku semakin gelisah. Kadang hujan bercerita tentang kerajaan di balik awan yang putih. Mengabarkan nyanyian terindah para dayang. Dan menyampaikan salam terhangat Sang Ratu. Tetap saja aku galau.

Mentari semakin enggan memperlihatkan cahayanya, padahal aku sudah berdiri hampir 30 menit untuk menyambutnya. Cahayanya pagi ini adalah jawaban terindah bagiku. Cahayanya akan menjadi anugerah terindah hariku. Cahayanya akan membawaku ke sebuah telaga bahagia. Tapi, mungkinkah cahaya itu mengintip dibalik awan gelap?
Gelap. Sungguh gelap awan ufuk timur, segelap mata birokrasi melirik kami. Warga kecil. Susah untuk menggeser kursi awan yang sedari tadi duduk manis menghalangi Sang Mentari. Seperti itukah materi menghalangi hati nurani para pemimpin yang terhormat?
Hujan membawa nuansa bening dan kesegaran di balik mekarnya mawar di taman. Sedikit membelai risauku. Apakah dia juga merasakan rasa ini? Semoga dia setia menanti, harapku cemas.
Kulirik jam tanganku. Sudah pukul 12.00, mungkin dia telah pergi. Harapan itu kini kan tinggal harapan belaka. Impianku mungkin hanya mampu menyisakan angan-angan. Dan cintaku tetap terpenjara di dasar hati.
Kembali kupandangi langit. Awan gelap itu mulai menggeser duduknya. Secercah cahaya mengintip di balik awan itu. Cahaya itu !!! Akhirnya dia sudi juga menampakkan diri. Hatiku girang bukan main. Langit kini menyiratkan keceriaan.
Segera kusambar travel bag yang telah penuh dengan barang keperluanku nanti. Langkahku ringan seringan niatku untuk memberi jawaban pasti masa depanku. Iunggu aku!!!
Sepanjang perjalanan hatiku cemas dalam ketidakpastian. Apakah dia masih menungguku? Bekas hujan masih sejukkan bumiku yang indah. Tapi tak mampu menyejukkan hati saudaraku di gubuk sesaknya yang kumuh. Uh… terlalu banyak masalah negeriku. Hari ini aku telah memutuskan untuk menerima tawaran seseorang yang ku cintai. Dia yang akan mendampingiku meraih cita-cita di negeri impianku. Aku tersenyum penuh kebahagiaan. Cahaya di langit yang biru menyinari seluruh sanubari. Cahaya yang kunanti. Vahya yang telah memberiku jalan untuk ke bandara. Andai dia tak datang aku akan tetap menunggu dalam pedih di balik jendela.
Setengah berlari aku masuk ke bandara mencari sosok yang kurindu siang dan malam, Juan Carloss. Dimana dia? Apakah dia sudah pergi? Hatiku semakin ciut saat mendengar jawaban seorang ibu.
“Tadi ada cowok bule disini, seperti gelisah menunggu seseorang. Tapi sejak 15 menit lalu saya tidak melihatnya lagi”
Keputusanku untuk memberinya kejutan terpaksa kulanggar. Aku harus menelponnya. Hatiku kembali miris saat mengetahui kalau hpnya tidak aktif. Pasti dia sudah berangkat. Lenyap sudah mimpi yang kusemai selama ini. Sang cahaya datang bukan pada waktunya. Aku ingin menangis tapi untuk apa? Aku ingin berteriak tapi karena apa? Semua telah musnah.
“Lisa” suara itu sangat aku kenal. Ku angkat wajahku dan mencoba menatap wajah laki-laki yang kini berdiri tepat didepan tempat dudukku.
“Juan…aku kira kamu telah meninggalkanku. Aku minta…”
“Sst, sudahlah kamu tidak usah minta maaf. Kedatanganmu disini adalah sebuah kebahagiaan yang tiada terperi buatku.” Ucapnya penuh makna terdalam.
“Kok kamu belum berangkat? Dan tadi kamu kemana aja?” aku masih bingung walau hati sangat bahagia.
“Pemberangkatan ditunda hingga ba’da Ashar. Tadi aku ke Musallah, shalat dhuhur. Kamu sudah shalat?” Ah Juan sepertinya kamu lebih alim dariku. Padahal kamu seorang muallaf sedangkan aku telah muslim sejak lahir.
“Lagi libur shalat. Hm… Juan, mama dan papa setuju dengan permintaan kamu. Dan mereka akan menyusul ke Paris saat akad nikah nikah kita.” Ucapku sambil menunduk. Aku malu ya Allah…
“Kamu menerima lamaranku? Kamu menolak beastudi ke Amerika? Kamu akan mengambil S2 di Sorbone? Kamu...”
“Cukup. Yang jelas aku akan pergi bersamamu.” Kulirik wajah Juan yang tampak bersinar bahagia. Cahayanya seperti cahaya mentari yang selalu kunanti. Cahaya itu pun telah berpindah ke hatiku. Eiffel, I’m coming.



Tidak ada komentar: