Kamis, 01 Oktober 2009

Pilu


Segelas air putih kupaksa melewati kerongkongan. Hambar. Riak kemelut batin bercampur kecewa mulai memuai di mata. Potongan kisah hariku memenjarakan dalam buih tanya.
“Persetan dengan persahabatan. Mungkinkah ada pertemanan yang tulus tanpa kepentingan?” Kucengkeram gelas air minum dengan geram. Terbayang senyum indah di wajah curang Inez, menyayat gemilang prestasiku. Kejernihan mata Anggun telah berhasil menyilaukan harta keluargaku.
Ah… BRUKK
Akhirnya gelas di tangan takluk pada kerasnya lantai. Pecahan-pecahan kemilau itu semakin memudarkan ceriaku. Tersungkur di dasar menara ketenaran yang kubangun.

“Tuhan… Kenapa ini terjadi padaku? Dimana ketulusan itu?” Hatiku gelap. Tarian istigfar tak kuhiraukan lagi. Kuraih kunci CR-V silverku. Berusaha lari dari kepungan asap kecewa.
Alunan adzan, entah mengapa selalu berhasil meraihku. Kuparkir CR-Vku di depan mesjid kampus. Hiruk pikuk itu masih sama. Lamban dalam dawai berirama. Bulir-bulir wudhu berjalan di raut yang tak pernah lelah bergerak demi sebuah kemenangan pasti. Aku iri pada wajah tawadhu di tangga mesjid. Damai bersanding di sisi jiwanya. Bersenandung membingkai sibuknya dakwah.
Ah… Semu.
Niat yang telah terpancang kuat kuurungkan. Kupandangi kerikil basah di taman mesjid.
“Oh, afwan.” Seorang gadis menabrakku. Aku tak peduli, dan malah sibuk mengamati jilbabnya.
“Aku tidak sengaja. Anda marah ya?” Kupingku memerah. Sekedar basa-basi, batinku. Terlanjur gelap hatiku untuk melihat sebuah keramahan.
“Tidak.” jawabku sekenanya.
“Tapi, kedengarannya tidak ikhlas. Keikhlasan itu perhiasan terindah akhlak, lho.”
“Kamu tidak bisa lihat ya? Aku tuh tidak apa-apa” Intonasiku meninggi.
“Afwan aku buta. Syukurlah.” Sesungging senyum pisah yang sangat manis.
Kutinggalkan mihrab suci itu. Menyusuri lekukan pilu yang tiba-tiba bergabung dengan kecewaku. Berjalan tanpa arah pada titian rapuh jiwaku dan berhenti di keremangan magrib di kotaku. Selintas kupandangi para jamaah yang bertengger pada sucinya niat.
“Kenapa aku kembali kesini lagi?” tangisku pelan. Sepi. Hatiku sendiri meraung melewati pilu. Kuseret langkah menuju tempat wudhu. Aku iri pada kerikil di taman mesjid yang selalu basah. Damai dalam genangan air wudhu.
"Syukran Via." Sayup kudengar suara tadi sore.
Gadis itu, ucapku lirih. Senyum yang tak pernah hilang. Berdendang dalam salam. Senada dengan gurau. Berbalas tawa dan rangkulan. Aku sakit memandang keakraban itu. Disanakah persahabatan yang tulus bisa kutemukan?
Sejuknya wudhu terpaksa kuabaikan. Kudekati dia. Mencoba merangkai cerita baru. Senyum itu selalu anggun di wajahnya. Teduh, mengukir ikhlas dan syukur. Bagaimana mungkin ada syukur dibalik ketidaksempurnaan?
“Aku bersyukur masih diberi kesempatan untuk mendengar ayat-ayatNya. Aku memang tidak bisa, melihat tapi aku yakin Dia Maha Melihat. Kusyukuri semua yang ada. Iman, keluarga, saudara, teman dan sahabat.”
Nalarku kembali meronta. Sahabat? Bergetar lidah berusaha mematahkan kebenaran. Terlalu jauh kecewa merambah hatiku.
“Cobalah memahami apa yang ada disekitar kita. Jangan pernah menuntut untuk selalu dimengerti karena yang bisa mengerti diri kita adalah diri kita sendiri.”
Kamu tidak mengerti Alya-nama gadis itu. Terlalu banyak lumpur khianat bergelantungan. Menjaring persahabatan dan ketulusan pada sarang kelabu. Melenyapkannya dari nuansa hari-hariku.
“Ukhuwah adalah ketulusan persaudaraan karena dihimpun oleh iman.” Alya mencoba menyelami jiwaku. Kucoba merangkai kembali memori cerah masa beliaku di kampus.
“Mukenanya ukhti.”
“Oh, syukran.”
“Ukhti sehat?”
“Alhamdulillah.” jawabku dengan senyum.
“Jadi dong ikut ke rumahnya Ummi Aminah? Rugi lho kalau tidak datang. Aku jemput ya.”
Aku pun bergerak pada arus yang sama walaupun justru bermuara pada lembah yang beda. Persaudaraan yang kuanggap begitu tulus. Tapi dimana mereka saat aku terjatuh? Dan saat para iblis menyeretku?
“Oh...” Kutangisi piluku. Tetesan bening di pipiku kini membasahi kerikil di taman mesjid yang akan selalu basah. Kuberlari berusaha menjauh. Mencari penawar pilu. Begitu galau nuraniku. Entah apa sebenarnya yang kucari? Mungkinkah ada yang bisa memahamiku? Hanya satu yang kuyakini. Sejauh apa pun aku berkelana, kuyakin pasti akan kembali kesini.
***
Kususuri jalan siang tadi. Kembali kepangkuan zona nyaman bahteraku. Namun, Kawasaki di persimpangan sana mencoba melawan maut. Aku tak tahu kenapa bumi terasa berputar bukan pada porosnya. Matahari pun kehilangan sinar. Dan semua potongan-potongan film kemarin kembali muncul.
“Mau ke pestanya Uki tapi bajuku jelek-jelek. Traktir dong Sof! Satu aja cukup.”
“Sorry Anggun. Aku lagi ingin menghemat. Pinjam bajuku saja. Atau tidak usah datang. Mendingan kita ikut acaranya Zakiyah.”
“What? Kamu sudah gila ya, Sof? Pesta mewah ditolak demi acara nggak penting.”
“Aku sudah janji. Nggak enak sama Zakiyah.”
“Kamu mau kembali menjadi orang yang sok sibuk mengurus…”
“Cukup. Mereka orang baik dan sangat baik. Mereka tidak pernah mengajak temannya untuk boros dan hura-hura nggak penting.”
“Kenapa kamu membela mereka? Bukannya kamu sendiri yang memutuskan hubungan karena tidak betah dan…”
“Itu karena kamu yang meracuni pikiranku dengan argumen-argumen basi.”
Uh... desahku mengiring potongan film lainnya.
“Kenapa kamu mengajukan judul yang sama. Itukan ideku Nez.”
“Kamu sih lamban.”
“Tidak bisa begitu dong. Itukan sama saja kalau kamu mencuri atau menciplak hasil pikiranku. Kamu curang.”
“Ini persaingan. Dalam persaingan tidak ada istilah seperti yang kau sebutkan itu. Karena toh yang akan dikenal orang adalah siapa nama yang tertera di karya itu. ”
“Aku kira kamu sahabatku. Yang bersedia mendengarkan curhatku. Menjadi juri dan pembimbing ide-ideku. Tapi aku salah. Kamu ternyata duri dalam daging.”
“Terserah kamu mau bilang apa. Ingat Sof, tidak ada orang yang ingin rugi. Apa yang bisa kau berikan padaku sebagai sahabat? Cuma sekedar tempat curhat dan peti penyimpang ide-ide kamu? Tidak Sof.”
Semua kini tampak pudar, suram,dan semakin gelap.
"Sof... Sof... Sofia bisa dengar suara mama kan? Ukh... Ukh... Ukh" Samar kudengar tangisan mama.
"Tuhan, jangan kau biarkan pencarianku berlabuh sampai disini. Aku masih ingin memandang kerikil-kerikil basah di taman mesjid." Pada rapuhnya jiwaku sempat terbayang senyum Alya dalam majelisnya sebelum cairan infus bercampur cairan tubuhku. Benarkah yang kucari ada disana?