Senin, 02 Maret 2009

cerpen


MALAIKAT 14 HARI
Oleh: Ani Dzakiyah
“Aku ada dimana?” Hanya itu yang mampu terucap saat kusadari tempat itu terlalu asing buatku. Dindingnya sangat kokoh, langit-langit kamar yang putih pualam, interior Makassar kuno dengan lantai marmer mengkilap. Sungguh indah. Dan kasur ini sangat empuk, badanku yang kurus tenggelam sebagian kedalamnya. Mataku menjelajahi tiap sudut kamar luas itu. Ada satu yang sangat mempesona. Jendela… ya jendela itu luas, menawarkan keindahan danau dengan teratai cantik dan lili di sisinya. Dari semua keindahan yang tersaji ada hal yang jauh lebih menarik perhatianku. Siapa laki-laki tua yang sedari tadi memandang semua tingkahku? Heran.
“Aku ada dimana, Pak?” kuulangi kata itu sekedar berharap sebuah jawaban.

“Kamu bersama bapak, Nak. Nikmati semua yang ada dan jangan pernah bertanya lagi?” Bapak itu mengusap kepalaku lembut penuh kasih sayang. Kedamaian menyusup dalam relung hatiku bersama bahagia yang tiba-tiba muncul bersanding dengan jiwaku. Siapa bapak itu? Tak henti aku bertanya pada angin dan kicau burung di pucuk pohon dekat danau.
Nikmati semua yang ada, kembali kalimat bapak itu terngiang. Ah… lebih baik aku nikmati kamar megah ini. Indah sekali pemandangan di luar sana. Aku berlari keluar kamar. Dan wow… sebuah ruangan besar dengan nuansa warna kayu dan pernak-pernik ruangan yang antik namun terkesan elegan.
“Kamu mau ikut bapak?” Suara Sang Bapak mengejutkanku dari decap kagum pada keindahan itu. Aku mau bertanya, kemana? Tapi urung karena bapak itu telah berpesan jangan pernah bertanya lagi.
Kuikuti Sang Bapak yang telah rapi dengan jubah putih dan sorban yang dikalungkannya di leher. Bapak yang teduh, baik dan lembut. Berjuta tanya masih menggantung di pikiranku saat kami sampai di sebuah dusun.
“Ini Cambaya, salah satu dusun di Kabupaten Maros. Coba kamu lihat! Jalanannya rusak, sumber air bersih tidak ada, sekolah tak memadai, sampah, gizi, kesehatan semua bermasalah. Padahal alamnya indah, penduduknya ramah bahkan produktif bila empang-empang itu mendapat perhatian. Kita akan bantu mereka. Selama 14 hari, kamu akan menjadi malaikat kecil.” Penjelasan bapak itu semakin melukis tanya di benakku. Ah menjadi malaikat kecil, mungkinkah? gumamku.
Setelah membagikan tiga kardus peralatan tulis-menulis dan beberapa buku bacaan kepada siswa-siswi Cambaya, bapak itu mengajakku ke sebuah kota metropolitan. Aku tak tahu nama kota itu. Aku pun tak tahu bagaimana caranya dari sebuah dusun kecil langsung berada di kota besar ini. Semua bagai kilat, terlalu cepat untuk dirasakan. Walau aku bingung bahkan pusing aku tetap tak berani bertanya.
Di kota besar itu kulihat kemacetan yang sesak. Copet beroperasi mulus, bahkan kutemui berbagai jenis manusia dengan wajah munafiknya melenggang cantik tanpa dosa di gedung-gedung megah. Ah, anak jalanan berseliweran, pengemis menjamur dan pengamen … itu pekerjaanku. Pengamen bernyanyi dengan sumbang hingga hilang bersama deru mobil mewah orang-orang yang enggan menghargai suara sumbang itu. Perih melihatnya walau hampir setiap hari aku sakit merasakannya.
“Kita akan ke kolong jembatan membagikan makanan dan uang agar mereka bisa makan. Sekaligus membantu mereka membangun rumah-rumah mereka yang telah dugusur.” Kembali bapak itu membawaku pergi ke kolong jembatan. Itukan teman-temanku. Indra, Susan, Viki dan Dede. Tapi kok mereka tidak mengenaliku? Aneh.
“Orang-orang seperti mereka harus dibantu bukan dibantai. Aku lihat dikotamu tak ada yang peduli dengan mereka. Bahkan penderitaan dan rasa lapar mereka tak ada yang mau tahu. Padahal banyak diantara mereka saat mencalonkan diri sebagai caleg menawarkan janji kesejahteraan bagi siapa saja. Lihat baliho besar itu! Janjinya sangat manis, sekolah gratis. Kita tunggu saja, karena kita memang sedang menunggu. Mungkinkah sekolah akan gratis atau semua hanya tinggal janji belaka.” Aku miris mendengar ucapan Si Bapak. Seperti itukah orang-orang disekililingku. Sebagai pengamen aku mengira mereka terlalu sibuk saja sehingga tidak sempat memberi sereceh uang.
“Masih banyak yang ingin bapak perlihatkan. Dan bapak senang kamu mau menemaniku membagikan bantuan itu walau tak seberapa. Dan Cambaya saya rasa biar mereka yang menyelesaikannya.” Mereka? tanyaku membathin. Seperti mendengar pertanyaan hatiku bapak itu pun berucap “Mereka itu para mahasiswa Kesehatan Masyarakat yang seminggu lagi akan datang ke Cambaya melaksanakan Pengalaman Belajar Lapangan (PBL). Kamu takkan mengerti. Sudah waktunya kamu pulang. Bapak yakin walaupun kamu cuma seorang pengamen tapi jiwamu seorang ksatria.” Bapak itu pun lalu pergi dan menghilang.
“Pak… bapak…Tunggu Udin mau bertanyaaa…Ba…Pak…”
Oh, aku terhenyak. Mimpi itu lagi, ucapku lirih. Sudah hampir dua minggu ini aku bermimpi bertemu seorang Bapak Tua di rumah yang selalu berbeda. Hanya satu yang sama, rumah itu selalu megah dengan interior Nusantara. Entah sudah berapa wilayah di tanah air yang kukunjungi tapi semua hampir sama, menyimpang komunitas bawah yang selalu tertindas dan semua wilayah itu pun berjaya dalam kemasan namun terpuruk isinya.
“Udiiin… cepat lari petugas-petugas itu datang lagi!!!” Teriakan Dede segera mengembalikanku ke alam nyata. Aku harus segera berlari, kalau tidak aku pasti digrebek petugas-petugas tak kenal kemanusiaan itu. Ah… tidur di emperan toko saja dilarang apalagi kalau mendirikan kios kaki lima, pantas aja digusur, geramku diantara derap kaki yang semakin kupercepat.
***
Semalam aku berhasil kabur dari kesulitan yang mengintai. Lega juga rasanya dan akhirnya aku dapat kembali memetik gitar tuaku demi sesuap nasi untuk hari ini. Matahari dengan teriknya ganas membakar kulitku. Semoga hari ini ada yang peduli dengan suara sumbangku. Kutenteng gitar tuaku keliling pasar sentral berharap keikhlasan pengunjung. Sepertinya tenda bubur ayam di ujung lorong itu menguntungkan buatku, harapku dalam hati. Kumulai bernyanyi diantara kerumunan orang yang sedang asyik mengobrol sambil menikmati sarapannya. Kulantunkan lagu Laskar Pelangi sebagai penyemangat menyambut hari ini. Sepertinya mereka menikmati laguku, pikirku diantara suara yang kupaksa merdu. Ada pula yang cuek dan tak peduli mungkin bubur ayamnya terlalu enak untuk dicampur dengan suara sumbangku. Selepas bernyanyi dengan sopan kuedarkan topiku meminta imbalan. Ah, sepertinya hari ini perutku harus rela dengan sepotong roti. Dari delapan orang pengunjung hanya dua orang yang memberiku recehan. Semuanya Rp. 500.
Betul kata bapak dalam mimpiku kalau orang di kotaku sungguh tak peduli dengan nasib kami. Hanya kepasrahan menjadi modal kami. Kebisingan dan deru mobil orang berduit adalah hiburan kami sehari-hari. Dan lampu merah adalah kawan kami. Kembali kucoba memetik gitar tuaku di dekat sebuah mobil metalik. Aku tak menyangka kalau dia akan mengusirku.
“Sudah sana ganggu orang saja! Udah liat macet, panas lagi masih aja nyanyi. Tambah pening tau nggak.” gertak orang berdasi di jok mobil mewah itu.
Bukan Udin Sang Pengamen namanya kalau menyerah karena digertak. Kutinggalkan mobil itu dan beralih ke mobil yang tampilannya biasa saja tapi cukup bagus. Mewahnya mobil kadang tak seindah hati pemiliknya. Ternyata pemilik mobil yang tak semewah mobil metalik tadi memiliki hati emas. Dia memberiku selembar uang dua puluhan. Akhirnya aku bisa makan enak hari ini.
Dengan wajah berseri aku beranjak berteduh di bawah sebuah baliho besar. Seorang caleg tersenyum indah di baliho itu. Mungkinkah beliau iri dengan kebaikan pemilik mobil biasa tadi? Semoga agar dia juga dapat dermawan dan peduli penderitaan kami, gumamku membathin.
“Woi… Dilarang berdiri di situ. Ayo sana pergi!!!” teriak seorang polisi lalu lintas. Aku kaget mendengar larangan itu. Segitunya, memangnya ada larangan seperti itu. Sekilas kulihat seorang bapak di seberang jalan tersenyum dan menganggukkan kepalanya padaku. Bapak itu?



Tidak ada komentar: