Selasa, 24 Maret 2009

cerpen

MENANTI CAHAYA
Oleh: Ani Dzakiyah
Hujan. Petir. Angin. Berirama mewarnai pagiku. Tetesan hujan melukis wajah yang selalu dirindu. Ada rasa pelan-pelan bergabung dalam risau hati menanti cahaya. Rasa itu pernah hilang. Berlabuh terlalu jauh dari hari-hariku. Ah, romantisme yang pernah hilang.
Hujan terus turun menyebar bau tanah. Kapan hujan reda? Pertanyaan itu langsung terjawab dengan kilat menyambar membuatku semakin gelisah. Kadang hujan bercerita tentang kerajaan di balik awan yang putih. Mengabarkan nyanyian terindah para dayang. Dan menyampaikan salam terhangat Sang Ratu. Tetap saja aku galau.

Mentari semakin enggan memperlihatkan cahayanya, padahal aku sudah berdiri hampir 30 menit untuk menyambutnya. Cahayanya pagi ini adalah jawaban terindah bagiku. Cahayanya akan menjadi anugerah terindah hariku. Cahayanya akan membawaku ke sebuah telaga bahagia. Tapi, mungkinkah cahaya itu mengintip dibalik awan gelap?
Gelap. Sungguh gelap awan ufuk timur, segelap mata birokrasi melirik kami. Warga kecil. Susah untuk menggeser kursi awan yang sedari tadi duduk manis menghalangi Sang Mentari. Seperti itukah materi menghalangi hati nurani para pemimpin yang terhormat?
Hujan membawa nuansa bening dan kesegaran di balik mekarnya mawar di taman. Sedikit membelai risauku. Apakah dia juga merasakan rasa ini? Semoga dia setia menanti, harapku cemas.
Kulirik jam tanganku. Sudah pukul 12.00, mungkin dia telah pergi. Harapan itu kini kan tinggal harapan belaka. Impianku mungkin hanya mampu menyisakan angan-angan. Dan cintaku tetap terpenjara di dasar hati.
Kembali kupandangi langit. Awan gelap itu mulai menggeser duduknya. Secercah cahaya mengintip di balik awan itu. Cahaya itu !!! Akhirnya dia sudi juga menampakkan diri. Hatiku girang bukan main. Langit kini menyiratkan keceriaan.
Segera kusambar travel bag yang telah penuh dengan barang keperluanku nanti. Langkahku ringan seringan niatku untuk memberi jawaban pasti masa depanku. Iunggu aku!!!
Sepanjang perjalanan hatiku cemas dalam ketidakpastian. Apakah dia masih menungguku? Bekas hujan masih sejukkan bumiku yang indah. Tapi tak mampu menyejukkan hati saudaraku di gubuk sesaknya yang kumuh. Uh… terlalu banyak masalah negeriku. Hari ini aku telah memutuskan untuk menerima tawaran seseorang yang ku cintai. Dia yang akan mendampingiku meraih cita-cita di negeri impianku. Aku tersenyum penuh kebahagiaan. Cahaya di langit yang biru menyinari seluruh sanubari. Cahaya yang kunanti. Vahya yang telah memberiku jalan untuk ke bandara. Andai dia tak datang aku akan tetap menunggu dalam pedih di balik jendela.
Setengah berlari aku masuk ke bandara mencari sosok yang kurindu siang dan malam, Juan Carloss. Dimana dia? Apakah dia sudah pergi? Hatiku semakin ciut saat mendengar jawaban seorang ibu.
“Tadi ada cowok bule disini, seperti gelisah menunggu seseorang. Tapi sejak 15 menit lalu saya tidak melihatnya lagi”
Keputusanku untuk memberinya kejutan terpaksa kulanggar. Aku harus menelponnya. Hatiku kembali miris saat mengetahui kalau hpnya tidak aktif. Pasti dia sudah berangkat. Lenyap sudah mimpi yang kusemai selama ini. Sang cahaya datang bukan pada waktunya. Aku ingin menangis tapi untuk apa? Aku ingin berteriak tapi karena apa? Semua telah musnah.
“Lisa” suara itu sangat aku kenal. Ku angkat wajahku dan mencoba menatap wajah laki-laki yang kini berdiri tepat didepan tempat dudukku.
“Juan…aku kira kamu telah meninggalkanku. Aku minta…”
“Sst, sudahlah kamu tidak usah minta maaf. Kedatanganmu disini adalah sebuah kebahagiaan yang tiada terperi buatku.” Ucapnya penuh makna terdalam.
“Kok kamu belum berangkat? Dan tadi kamu kemana aja?” aku masih bingung walau hati sangat bahagia.
“Pemberangkatan ditunda hingga ba’da Ashar. Tadi aku ke Musallah, shalat dhuhur. Kamu sudah shalat?” Ah Juan sepertinya kamu lebih alim dariku. Padahal kamu seorang muallaf sedangkan aku telah muslim sejak lahir.
“Lagi libur shalat. Hm… Juan, mama dan papa setuju dengan permintaan kamu. Dan mereka akan menyusul ke Paris saat akad nikah nikah kita.” Ucapku sambil menunduk. Aku malu ya Allah…
“Kamu menerima lamaranku? Kamu menolak beastudi ke Amerika? Kamu akan mengambil S2 di Sorbone? Kamu...”
“Cukup. Yang jelas aku akan pergi bersamamu.” Kulirik wajah Juan yang tampak bersinar bahagia. Cahayanya seperti cahaya mentari yang selalu kunanti. Cahaya itu pun telah berpindah ke hatiku. Eiffel, I’m coming.



Kamis, 05 Maret 2009

akhwat dadakan


Ahad menjadi hari paling sial dalam hidup Wini. Entah kenapa dia harus selalu bertemu Iis, Si Jilbaber yang paling menyebalkan di matanya. Semua kesialan itu seakan berawal dari tatapan Iis.
“Uh, nyebelin banget sih… pokoknya dia nggak boleh menjadi pusat perhatian terus. Apalagi Aldi, kok maunya berurusan sama cewek kayak Si Iis itu. Sudah pendek, pakai baju kebesaran lagi kayak lontong berjalan saja. Ditambah jilbab besar berkibarnya. Oh… amit-amit deh. Dan kacamatanya kayak professor gitu. Uh, pokoknya nyebeliiin.” Tak henti Wini mengomel. Dia terus mondar-mandir dari pintu ke tempat tidurnya hingga akhirnya dia tersenyum lebar. Ide cemerlang mulai dia temukan.

Segera dia mencari ibunya. Sepertinya Aldi punya selera cewek kayak Iis. Hm,aku juga bisa. Ibunya tidak dia temukan di hampir semua sudut rumahnya. Dia pun segera mengeledah lemari pakaian ibunya. Semua kemeja sampai daster dia coba. Terlalu jadul pakaian-pakaian itu, tapi tak menjadi masalah yang penting bisa tampil ala Iis. Setelah berkutat dengan baju-baju besar ibunya akhirnya dia mendapatkan sebuah baju kaos lengan panjang warna ungu dan rok kotak-kotak berwarna hitam. Lumayan, hibur hatinya.
Wini pun mencoba pakaian barunya dan berlatih berjalan menggunakan rok. Selama ini dia selalu tampil tomboy dengan celana jeans biru favoritnya dipadu kaos oblong pendek. Pertama memakai rok jalannya menjadi tak seimbang dan sudah berapa kali dia menginjak pinggir rokoknya. Seperti ada yang kurang. Jilbab. Wini berusaha mencari kain yang bisa menjadi jilbab. Di rumahnya tak ada yang memakai jilbab, jadi tak mungkin ada jilbab yang dapat dipinjamnya. Untung ada taplak meja hijau nenek. Ini yang aku cari.
Komplitlah pakaian ala Iis di tubuhnya. Lucu, komentar akalnya. Tapi aneh, protes hatinya. Takkan ada kesialan lagi kalau sudah begini, dia mematok tubuhnya di depan cermin besar. Baju ungu yang kebesaran dipadu rok kotak-kotak hitam plus jilbab yang tak lain taplak meja hijau neneknya. Sebenarnya kesialan itu ada karena Wini tak pernah berhasil mengajak Aldi mengobrol berdua. Justru Iislah cewek paling sering dia ajak mengobrol dan hari ahad bukan lagi momen asyik untuk berdiskusi. Semua karena Iis.
***
“Aduh, telat deh. Kok nggak ada yang bangunin aku ya? Hari ini kan launching bukunnya Aldi.” Setengah berlari Wini ke kamar mandi. Lima menit cukup untuk mandi. Dia pun buru-buru memakai pakaian yang sudah dia setrika rapi. Hari ini akan menjadi hari keberuntungan aku, pikirnya mantap.
“Oh NO… tujuh menit lagi.” Dipercepatnya memakai jilbab dan kaos kaki. Mencong kiri dan kanan tak dia pedulikan yang penting dia tidak terlambat. Diayunnya langkah seribu lebih cepat dari biasanya untung dia memakai sepatu keats.
Telat deh… segera dia bergabung dengan para undangan. Tak ada yang peduli dengan kehadirannya termasuk Aldi. Sebel, udah keren gini masih belum dilirik. Kembali dia mengamati penampilannya. Baju ungu besar, rok kotak-kotak, jilbab hijau yang tak lain taplak meja nenek, sepatu keats Puma dan kacamata tebal. Lumayan.
Wini mulai gelisah, hampir empat puluh lima menit dia memasang senyum termanisnya tapi Aldi tak kunjung melihat kearahnya. Sesi tanya jawab mulai dibuka. Hampir semua tamu mengacungkan tangan kecuali Wini yang memang tak pernah fokus pada isi buku yang dipaparkan Aldi.
Seorang laki-laki tiga kursi dari tempatnya duduk mengajukan pertanyaan. Aldi pun memusatkan perhatiannya pada laki-laki itu.
“Duh Al kepalanya belokin dikit ke arah aku dong. Cuma 15o doang. Ayo dong. Kanan-kanan. Dikit lagi Al. Yah gitu dong.” Akhirnya dia melihatku juga.
Aldi yang duduk manis di depan menjadi fokus pada satu titik, gadis berjilbab yang tampak baru di matanya.
“Siapa gadis itu? Sepertinya dia mahasiswa baru. Ah bukan … itukan Wini. Tidak mungkin. Wini yang tomboy pakai jilbab. Tidak…tidak mungkin” Aldi berusaha lebih fokus lagi dia pertajam penglihatannya. Tapi gadis itu tetap Wini. Gadis yang diperhatikannya tampak malu-malu dan mulai sibuk dengan ujung jilbabnya.
“Aduh, Aldi kok ngeliatnya sampai segitunya. Kan jadi malu. Aku manis banget ya di matamu. Oh… akhirnya aku mendapat perhatian juga darimu. Tatapan itu udah lama aku tunggu.”
Aldi semakin yakin itu memang Wini. Dia sebenarnya tak ingin memandang gadis dengan seksama tapi gadis yang satu ini benar-benar beda.
“WINI… Ah, kok bisa memakai pakaian seperti itu. Baju ungu kebesaran, rok kotak-kotak, jilbab… tampaknya taplak meja yang disulap, warna hijau lagi. Sungguh aneh. Lho… sejak kapan dia pakai kacamata, tebal banget lagi lensanya mirip Betty Lavea” geli melihatnya. Aldi tersenyum menunduk takut terlihat audience. Kembali dia konsentrasi pada pertanyaan-pertanyaan yang diterimanya.
***
“Oh…No…kok jadi begini sih. Kenapa harus datang pas dalam kondisi senang begini??? Jangan dulu dong! Nanti aja, tuh Aldi lagi memandangi aku nih. Please, jangan sekarang!!! Aow… aku nggak tahan lagi. Sekarang harus SEKARANG.” Wini segera berlari sekencang-kencangnya menuju toilet. Dalam kondisi tegang pasti dia ingin buang air kecil.
Plong deh. Sebelum meninggalkan toilet tak lupa dia memperbaiki jilbab yang selalu mencong ke kiri-kanan. Poninya selalu saja menampakkan diri di jidat. Tapi kok Iis tidak begini, pasti dia tidak punya poni.
Para undangan mulai meninggalkan ruangan saat Wini kembali ke tempat duduknya. Sial, dia bertemu Iis.
“Hai Win. Penampilan baru nih. Selamat ya, semoga hidayahnya dipertahankan. Kamu anggun deh dengan pakaian itu.” Iis berlalu dengan senyum.
“Ehm, sok baik banget sih lo Is. Bilang aja takut tersaingi. He…he…he…” Wini tertawa sendiri. Dia lupa kalau bertemu Iis bakal ada kesialan. Pandangannya kembali tertuju pada Aldi. Oh, dia cakep banget hari ini. Lalu diambilnya tas kemudian beranjak pergi. Saat dia berbalik, BRUKK. Seorang pelayan minuman menabraknya. Bajunya basah oleh jus jeruk. Warna kuning langsung menghiasi baju ungunya.
“Sial…sial…sial.” Dia mau marah tapi dia juga salah. Dengan hati jengkel dia menuju toilet.
Entah sudah takdirnya mendapat sial bila bertemu Iis. Tapi mungkin juga itu balasan karena hatinya selalu marah dan jengkel bila bertemu Iis.
***
Gerah. Pengap. Sesak. Suasana mulai mencampakkannya, jilbab yang sedari tadi membungkus kepala pun dibuka. Keringat berjalan bebas di leher. Bajunya pun dia bersihkan dengan tissu.
Lagu “Menunggu” Ridho Irama tiba-tiba berdering di hpnya. Gaya boleh tomboy dan gaul tapi ringtone dangdut setia menyertai. Dari mamanya “Sayang mama sekarang jemput kamu nih depan aula. Cepetan kesini ya. PENTING!!!”
“Aduh, mama paling bisa deh. Datang tidak bilang-bilang dan kalau sudah bilang penting berarti sekarang.” Wini segera berlari keluar toilet. Tak disangkanya sepanjang koridor ramai sekali oleh teman-temannya yang sibuk meminta tanda tangan Aldi. Wini juga ingin sekali bergabung, tapi mamanya sudah menunggu.
“Jilbab kamu mana, Win? Perasaan tadi kamu pakai jilbab. Ha…ha…” tegur seorang teman yang langsung diiringi tawa teman-teman yang lain.
“Akhwat dadakan sih.” Teriak seorang teman cowoknya. Kembali derai tawa menggema di sepanjang koridor. Wini baru sadar, disentuhnya kepalanya. Oh…No, malu banget gue. Ya Allah, kalau begini lebih baik aku pingsan aja. Pingsankan gue dong. Duh Tuhanku. Wini pun berlari kembali ke toilet. Jilbab yang dicari pun dia temukan tergeletak dekat tempat sampah. Hatinya miris. Sedih. Pilu.
“Lihat lap disini?” tanya seorang cewek disampingnya. Jilbab aku dikira lap. Ya Tuhan, sial banget sih.
“Ini…Pakai jilbabku saja. Kebetulan tadi saya bawa dua.” Iis datang sebagai pahlawan. Ternyata Iis sudah melihat apa yang dialami Wini.
“Makasih” Dengan terpaksa Wini memakai jilbab yang ditawarkan Iis. Rasa malu masih lekat diwajahnya saat berlalu disepanjang koridor. Sepi. Hatinya lega karena dia bisa berjalan dengan tenang. Lagi-lagi hpnya berdering. Langkahnya pun dipercepat.
“Eh… sorry” Seorang laki-laki hampir saja ditabraknya.
“Wini… Ehm selamat ya. Mudah-mudahan jilbabnya dipertahankan. Aku salut banget sama kamu. Perubahan yang cepat dan semoga pasti. Yang diomongin teman-teman tentang akhwat dadakan itu tidak benarkan?”
Aldi kamu perhatian banget sih, tapi kenapa tidak mau memandang aku sedikit aja? Andai kamu tahu ini semua kulakukan demi kamu, batinnya. Wini malu. Rasanya dia ingin menangis. Kenapa justru terjebak dalam kondisi begini?
***
“Wini, kamu sayang? He…he. Gaya apa nih? Lagi lomba kostum jadul ya?”
“Ih mama… Anak berubah lebih baik kok tidak disyukuri. Wini kan cuma lagi introkspeksi diri.” Wini mencoba menarik perhatian mamanya. Walau hatinya berbeda. Suerr, semua demi Aldi.
“Oh ya, atau cuma lagi menarik perhatian seseorang? Ehm, mungkin juga lagi naksir seseorang. Biasanya kan anak mami punya kebiasaan begitu.” Mamanya paling senang menggoda Wini.
“Ah…mama.” Wini yang digodain jadi salah tingkah. Oh tidak… dia datang lagi. Tahan Win, kamu pasti bisa. Nggak… aku nggak bisa. Segera Wini berlari meninggalkan mamanya yang senyum-senyum melihat tingkah anaknya. Wini pun mengangkat roknya tinggi-tinggi untung memakai jeans di dalam. Tak disadarinya kalau sepasang mata memerhatikannya dibalik jendela mushallah.
“Ehm, benar-benar tomboy atau sekedar akhwat dadakan. Padahal dia manis kok. Astagfirullah.” Aldi segera mengalihkan pandangannya.


Senin, 02 Maret 2009

essay

HARUSKAH MAHASISWA BERPOLITIK?
Oleh: Ani Dzakiyah
Pesta demokrasi 2009 sudah depan mata. Kedepannya diprediksi berbagai elemen masyarakat akan terjun dan ikut dalam pertarungan politik tersebut, termasuk mahasiswa. Keterlibatan mahasiswa dan kampus dalam perhelatan akbar politik di negeri ini menciptakan paradigma berbeda di beberapa kampus.
Sebagian besar kampus meyakini bahwa kampus harus steril dari urusan-urusan praktis partai politik. Sebagian lagi ada kecenderungan kampus mulai melakukan upaya pendekatan untuk mengakomodir kepentingan partai politik-sebagai media efektif memberikan kesempatan kepada partai politik untuk menemukan positioning strategisnya di mata konsituen.

Paradigma yang mengatakan bahwa kampus harus steril dari aktivitas partai politik harus ditelaah kembali secara tepat. Hal ini dimaksudkan agar golongan intelektual memahami bahwa realitas politik dan realitas sosial yang berkembang di tengah masyarakat haruslah tetap menjadi perhatian masyarakat kampus.
Mahasiswa memang menjadi komunitas yang unik dan telah tercatat di dalam sejarah perubahan selalu menjadi garda terdepan dan motor penggerak. Dalam pergerakannya mahasiswa tetap harus memperhatikan 4 peran yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya yaitu peran moral, sosial, akademik, dan politik.
Peran politik yang dipegang mahasiswa memperlihatkan bagaimana mahasiswa sebagai agent of change membedah berbagai problem politik dalam bingkai akademis. Sejatinya pemikiran politik mahasiswa merupakan sebuah gerakan politik yang secara moral mewadahi semua kepentingan yang perlu diakomodir secara akademis. Selain itu dengan adanya kegiatan parpol seperti kampanye ataupun diskusi publik pada mahasiswa bisa menjadi momen paling baik dalam proses pembelajaran politik dan demokrasi bagi mahasiswa itu sendiri. Pembelajaran ini penting karena fakta historis dan kultural dinamika dan perubahan suatu bangsa di seluruh dunia termasuk Indonesia, sangat kental diwarnai oleh tingkat sejauh mana masyarakat kampus berperan pada dinamika dan perubahan politik yang dialami suatu bangsa.
Kita yang masih memahami bahwa kampus harus steril masih menganggap aktivitas politik di kampus identik dengan kampanye massa, banyaknya pesan atribusi Parpol yang ada di kampus. Kalau memang demikian kontesnya maka sterilisasi dalam konteks itu harus atau tetap dijaga secara konsisten sebab yang demikian ini pasti akan mendistorsi prinsip-prinsip Tri Dharma Perguruan Tinggi. Apabila yang kita pahami tentang masuknya Parpol masih dengan pemahaman sempit seperti itu maka terlalu naif dan amat dangkal persepsi kita dalam menyediakan tempat bagi Parpol untuk melakukan proses dialektika politik.
Perbedaan persepsi tentang keterlibatan kampus atau perlunya kampus steril atau tidak dari segala bentuk aktivitas Parpol bukan satu-satunya perbedaan yang ada dalam menyikapi perhelatan politik negeri ini tetapi juga perbedaan mengenai posisi mahasiswa dalam pemilu. Sebagian menuntut mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan harus bersikap netral dan tidak menunjukkan keberpihakan kepada salah satu partai politik.
Posisi mahasiswa memang sebaiknya netral dari kepentingan politik mengingat peran politk yang dipikul mahasiswa sangat berat. Peran politik adalah peran yang paling berbahaya karena mahasiswa harus berfungsi sebagai presseur group ( group penekan ) bagi pemerintah yang zalim tanpa memandang partai yang mengusung dibalik pemerintahan itu.
Sekarang zaman kebebasan berpolitik telah terbuka lebar bagi siapapun termasuk mahasiswa tak seperti zaman orde baru lagi. Pada zaman orba pemerintah yang zalim merancang sedemikian rupa agar mahasiswa tidak mengambil peran politiknya. Pada masa orde baru daya kritis dipasung, siapa yang berbeda pemikiran dengan pemerintah langsung dicap sebagai makar dan kejahatan terhadap bangsa.
Posisi mahasiswa yang dituntut untuk netral bukan berarti harus membisukannya dari keramaian kegiatan politik (pemilu) 2009. Lalu apa yang harus kita lakukan pada pemilu 2009 dalam melaksanakan peran kita?
Sebagai mahasiswa yang tak lain adalah calon pemimpin negeri ini tak boleh tinggal mematung memerhatikan momentum pemilu 2009. Kita harus melakukan sebuah gerakan yang tak lepas dari nafas pergerakan mahasiswa itu sendiri yaitu idealis karena apa yang disuarakan mahasiswa adalah nilai kebenaran universal berupa nilai moral yang diakui bersama kebaikannya oleh seluruh masyarakat, seperti anti tirani, demokratisasi, berantas KKN dll.
Secara internal mahasiswa atau gerakan kemahasiswaan dalam jelang pemilu harus menyamakan persepsi tentang kawajiban kita menyelamatkan nasib bangsa dengan jalan mendorong lahirnya kepemimpinan yang bersih dan kuat. Hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil karena mahasiswa pernah membuktikannya pada gerakan Reformasi 98.
Selain itu mahasiswa juga harus berperan diluar medan pertarungan politik yaitu memberikan informasi ataupun pembelajaran politik kepada masyarakat luas. Tidak semua masyarakat negeri ini paham tentang pergerakan politik. Bahkan pemilu sebenarnya tak memiliki warna bagi mereka. Baginya pemilu hanyalah formalitas yang ,mengharuskan dirinya untuk memilih orang atau partai yang tak dikenalnya dengan baik. Sedangkan untuk pemilu 2009 yang teknisnya berbeda dengan pemilu sebelumnya masih banyak masyarakat yang bingung dan belum mengetahuinya. Jangan sampai mereka menjadi sampah pesta politik. Olehnya itu mahasiswa jangan membiarkan hal ini terjadi dan ingat ada peran moral dan sosial yang harus dijalankan.
Walau mahasiswa tak perlu terjun ke dalam gelanggang pertarungan politik praktis, tapi peran harus tetap terlaksana. Ada satu hal yang penting dilakukan mahasiswa dalam pemilu nanti yaitu mengontrol serta mengawasi agar proses yang ada dapat memberikan output berkualitas dengan lahirnya kepemimpin yang kuat.
Pada gelanggang pertarungan politik 2009 banyak aktor-aktor yang akan ikut didalam dinamika tersebut, baik sebagai peserta (partai, caleg, capres dan cawapres) maupun panitia (KPU dan Panwas). Kecurangan-kecurangan tak ada yang dapat memungkiri bisa saja terjadi karena setiap diri menginginkan sebuah kemenangan. Bahkan banyak yang rela melakukan dan berkoraban apa saja untuk meraih visinya. Mahasiswa harus mengawasi dan mengontrol agar geliat politik ini dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan dan mencapai tujuan demokrasi yang diimpikan.
Selama ini mungkin terlalu banyak pihak yang telah muak dengan tingkah maupun pergerakan elit politik yang munafik apalagi demokrasi dan Pancasila mulai dinodai. Mungkin saja diantara pihak itu, mahasiswa termasuk dalam golongan yang bosan dan pasif dalam menyikapi kondisi bangsa ini. Menganggap gerakan politik hanyalah cara merebut kekuasaan. Mungkinkah ini terjadi karena kita belum mencapai kedewasaan berpolitik? Tapi sadar atau tidak masih banyak politikus kita yang memaknai politik sebagai sebuah cara untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat. Ataukah sikap acuh tak acuh dalam peran dan pemikiran kita pada gerakan politik lahir karena masih adanya pertanyaan yang belum terpecahkan. Haruskah mahasiswa berpolitik?
Mahasiswa adalah kaum terpelajar dinamis yang penuh dengan kreativitas. Mahasiswa adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari rakyat. Oleh karena itu, mahasiswa harus sadar akan arti tugas dan peranan intelektual. Mau atau tidak, mahasiswa harus mengambil bagian dalam pesta demokrasi ini. Pola pergerakan politik negeri ini tak boleh lepas dari pandangan mata.


cerpen


MALAIKAT 14 HARI
Oleh: Ani Dzakiyah
“Aku ada dimana?” Hanya itu yang mampu terucap saat kusadari tempat itu terlalu asing buatku. Dindingnya sangat kokoh, langit-langit kamar yang putih pualam, interior Makassar kuno dengan lantai marmer mengkilap. Sungguh indah. Dan kasur ini sangat empuk, badanku yang kurus tenggelam sebagian kedalamnya. Mataku menjelajahi tiap sudut kamar luas itu. Ada satu yang sangat mempesona. Jendela… ya jendela itu luas, menawarkan keindahan danau dengan teratai cantik dan lili di sisinya. Dari semua keindahan yang tersaji ada hal yang jauh lebih menarik perhatianku. Siapa laki-laki tua yang sedari tadi memandang semua tingkahku? Heran.
“Aku ada dimana, Pak?” kuulangi kata itu sekedar berharap sebuah jawaban.

“Kamu bersama bapak, Nak. Nikmati semua yang ada dan jangan pernah bertanya lagi?” Bapak itu mengusap kepalaku lembut penuh kasih sayang. Kedamaian menyusup dalam relung hatiku bersama bahagia yang tiba-tiba muncul bersanding dengan jiwaku. Siapa bapak itu? Tak henti aku bertanya pada angin dan kicau burung di pucuk pohon dekat danau.
Nikmati semua yang ada, kembali kalimat bapak itu terngiang. Ah… lebih baik aku nikmati kamar megah ini. Indah sekali pemandangan di luar sana. Aku berlari keluar kamar. Dan wow… sebuah ruangan besar dengan nuansa warna kayu dan pernak-pernik ruangan yang antik namun terkesan elegan.
“Kamu mau ikut bapak?” Suara Sang Bapak mengejutkanku dari decap kagum pada keindahan itu. Aku mau bertanya, kemana? Tapi urung karena bapak itu telah berpesan jangan pernah bertanya lagi.
Kuikuti Sang Bapak yang telah rapi dengan jubah putih dan sorban yang dikalungkannya di leher. Bapak yang teduh, baik dan lembut. Berjuta tanya masih menggantung di pikiranku saat kami sampai di sebuah dusun.
“Ini Cambaya, salah satu dusun di Kabupaten Maros. Coba kamu lihat! Jalanannya rusak, sumber air bersih tidak ada, sekolah tak memadai, sampah, gizi, kesehatan semua bermasalah. Padahal alamnya indah, penduduknya ramah bahkan produktif bila empang-empang itu mendapat perhatian. Kita akan bantu mereka. Selama 14 hari, kamu akan menjadi malaikat kecil.” Penjelasan bapak itu semakin melukis tanya di benakku. Ah menjadi malaikat kecil, mungkinkah? gumamku.
Setelah membagikan tiga kardus peralatan tulis-menulis dan beberapa buku bacaan kepada siswa-siswi Cambaya, bapak itu mengajakku ke sebuah kota metropolitan. Aku tak tahu nama kota itu. Aku pun tak tahu bagaimana caranya dari sebuah dusun kecil langsung berada di kota besar ini. Semua bagai kilat, terlalu cepat untuk dirasakan. Walau aku bingung bahkan pusing aku tetap tak berani bertanya.
Di kota besar itu kulihat kemacetan yang sesak. Copet beroperasi mulus, bahkan kutemui berbagai jenis manusia dengan wajah munafiknya melenggang cantik tanpa dosa di gedung-gedung megah. Ah, anak jalanan berseliweran, pengemis menjamur dan pengamen … itu pekerjaanku. Pengamen bernyanyi dengan sumbang hingga hilang bersama deru mobil mewah orang-orang yang enggan menghargai suara sumbang itu. Perih melihatnya walau hampir setiap hari aku sakit merasakannya.
“Kita akan ke kolong jembatan membagikan makanan dan uang agar mereka bisa makan. Sekaligus membantu mereka membangun rumah-rumah mereka yang telah dugusur.” Kembali bapak itu membawaku pergi ke kolong jembatan. Itukan teman-temanku. Indra, Susan, Viki dan Dede. Tapi kok mereka tidak mengenaliku? Aneh.
“Orang-orang seperti mereka harus dibantu bukan dibantai. Aku lihat dikotamu tak ada yang peduli dengan mereka. Bahkan penderitaan dan rasa lapar mereka tak ada yang mau tahu. Padahal banyak diantara mereka saat mencalonkan diri sebagai caleg menawarkan janji kesejahteraan bagi siapa saja. Lihat baliho besar itu! Janjinya sangat manis, sekolah gratis. Kita tunggu saja, karena kita memang sedang menunggu. Mungkinkah sekolah akan gratis atau semua hanya tinggal janji belaka.” Aku miris mendengar ucapan Si Bapak. Seperti itukah orang-orang disekililingku. Sebagai pengamen aku mengira mereka terlalu sibuk saja sehingga tidak sempat memberi sereceh uang.
“Masih banyak yang ingin bapak perlihatkan. Dan bapak senang kamu mau menemaniku membagikan bantuan itu walau tak seberapa. Dan Cambaya saya rasa biar mereka yang menyelesaikannya.” Mereka? tanyaku membathin. Seperti mendengar pertanyaan hatiku bapak itu pun berucap “Mereka itu para mahasiswa Kesehatan Masyarakat yang seminggu lagi akan datang ke Cambaya melaksanakan Pengalaman Belajar Lapangan (PBL). Kamu takkan mengerti. Sudah waktunya kamu pulang. Bapak yakin walaupun kamu cuma seorang pengamen tapi jiwamu seorang ksatria.” Bapak itu pun lalu pergi dan menghilang.
“Pak… bapak…Tunggu Udin mau bertanyaaa…Ba…Pak…”
Oh, aku terhenyak. Mimpi itu lagi, ucapku lirih. Sudah hampir dua minggu ini aku bermimpi bertemu seorang Bapak Tua di rumah yang selalu berbeda. Hanya satu yang sama, rumah itu selalu megah dengan interior Nusantara. Entah sudah berapa wilayah di tanah air yang kukunjungi tapi semua hampir sama, menyimpang komunitas bawah yang selalu tertindas dan semua wilayah itu pun berjaya dalam kemasan namun terpuruk isinya.
“Udiiin… cepat lari petugas-petugas itu datang lagi!!!” Teriakan Dede segera mengembalikanku ke alam nyata. Aku harus segera berlari, kalau tidak aku pasti digrebek petugas-petugas tak kenal kemanusiaan itu. Ah… tidur di emperan toko saja dilarang apalagi kalau mendirikan kios kaki lima, pantas aja digusur, geramku diantara derap kaki yang semakin kupercepat.
***
Semalam aku berhasil kabur dari kesulitan yang mengintai. Lega juga rasanya dan akhirnya aku dapat kembali memetik gitar tuaku demi sesuap nasi untuk hari ini. Matahari dengan teriknya ganas membakar kulitku. Semoga hari ini ada yang peduli dengan suara sumbangku. Kutenteng gitar tuaku keliling pasar sentral berharap keikhlasan pengunjung. Sepertinya tenda bubur ayam di ujung lorong itu menguntungkan buatku, harapku dalam hati. Kumulai bernyanyi diantara kerumunan orang yang sedang asyik mengobrol sambil menikmati sarapannya. Kulantunkan lagu Laskar Pelangi sebagai penyemangat menyambut hari ini. Sepertinya mereka menikmati laguku, pikirku diantara suara yang kupaksa merdu. Ada pula yang cuek dan tak peduli mungkin bubur ayamnya terlalu enak untuk dicampur dengan suara sumbangku. Selepas bernyanyi dengan sopan kuedarkan topiku meminta imbalan. Ah, sepertinya hari ini perutku harus rela dengan sepotong roti. Dari delapan orang pengunjung hanya dua orang yang memberiku recehan. Semuanya Rp. 500.
Betul kata bapak dalam mimpiku kalau orang di kotaku sungguh tak peduli dengan nasib kami. Hanya kepasrahan menjadi modal kami. Kebisingan dan deru mobil orang berduit adalah hiburan kami sehari-hari. Dan lampu merah adalah kawan kami. Kembali kucoba memetik gitar tuaku di dekat sebuah mobil metalik. Aku tak menyangka kalau dia akan mengusirku.
“Sudah sana ganggu orang saja! Udah liat macet, panas lagi masih aja nyanyi. Tambah pening tau nggak.” gertak orang berdasi di jok mobil mewah itu.
Bukan Udin Sang Pengamen namanya kalau menyerah karena digertak. Kutinggalkan mobil itu dan beralih ke mobil yang tampilannya biasa saja tapi cukup bagus. Mewahnya mobil kadang tak seindah hati pemiliknya. Ternyata pemilik mobil yang tak semewah mobil metalik tadi memiliki hati emas. Dia memberiku selembar uang dua puluhan. Akhirnya aku bisa makan enak hari ini.
Dengan wajah berseri aku beranjak berteduh di bawah sebuah baliho besar. Seorang caleg tersenyum indah di baliho itu. Mungkinkah beliau iri dengan kebaikan pemilik mobil biasa tadi? Semoga agar dia juga dapat dermawan dan peduli penderitaan kami, gumamku membathin.
“Woi… Dilarang berdiri di situ. Ayo sana pergi!!!” teriak seorang polisi lalu lintas. Aku kaget mendengar larangan itu. Segitunya, memangnya ada larangan seperti itu. Sekilas kulihat seorang bapak di seberang jalan tersenyum dan menganggukkan kepalanya padaku. Bapak itu?



Minggu, 01 Maret 2009

cerpen budaya


RETAKNYA MIMPI SANG BISSU
Oleh: Ani Dzakiyah
“Ayah, apa kita sudah di Makassar?” pertanyaan Wahyu membuyarkan bayangan masa kecil yang sempat menari di pundak anganku. Patmi tersenyum memandang buah hati kami yang sudah berumur 11 tahun itu lalu menatapku lembut.
“Ya sayang, kita sudah sampai di tanah nenek moyang ayah. Nanti sebelum melanjutkan perjalanan ke Wajo, kampung kelahiran ayah, kita istirahat sebentar di rumah teman lama ayah.” Kupandangi wajah istri yang selalu cantik dimataku. Sebentar lagi kami mendarat di bandara Sultan Hasanuddin. Kurasakan gemuruh dalam dadaku. Perasaan apa ini? Mungkin aku sudah terlalu lama lari dari ini semua.

14 tahun kutinggalkan Sulawesi tak ada yang jauh berbeda, hanya bandara ini yang semakin megah saja. Sepertinya Makassar semakin makmur pikirku. Dari kejauhan Mahmud melambaikan tangan pada kami. Dia tampak lebih tua dan kurus dariku.
“Selamat datang di Bumi Angin Mammiri Rahman.” Dia merangkulku erat seakan ingin melampiaskan semua kerinduannya. Dia pun melirik pada anak dan istriku. Mungkin dia heran dan bertanya-tanya. Siapa gerangan mereka? Kuperkenalkan Patmi dan Wahyu pada Mahmud.
“Kamu benar-benar sudah berubah kawan. Hidupmu sudah sempurna, Man. Apalagi yang kau cari disini?” Pertanyaan mengalir lembut ke telingaku bersama deru knalpot pete-pete yang kami tumpangi.
“Aku rindu suasana kampung dan kerabat. Lagipula Patmi dan Wahyu juga belum pernah kesini, mereka akan kuperkenalkan pada keluarga.” jawabku. Sudah terlalu lama aku tak menghubungi ibu, termasuk tentang kepulangan ini. Mungkin akulah anak paling berdosa, tapi ini kulakukan demi pencarian pada jati diri. Kuedarkan pandangan menyisir tubuh tol Reformasi yang tampak gagah rupanya. Makassar sudah jaya.
***
Matahari mulai meninggalkan titik sentralnya, pertanda sore kan menjelang. Aku harus segera ke terminal karena kalau kemalaman dipastikan mobil Makassar-Sengkang sudah tidak ada. Istirahat di rumah Mahmud cukup menyegarkan badan dengan suguhan nuansa rumah segar dengan bunga-bunga indah dipadu perabotan antik. Rupanya Mahmud masih suka mengoleksi barang-barang antik. Setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih, kami segera ke terminal. Mahmud tak dapat mengantar kami karena ada urusan penting yang tidak dapat ditinggalkannya. Tepat pukul empat sore kami tinggalkan terminal.
Sepanjang perjalanan Wahyu dan Patmi hanya membisu sedangkan aku sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan yang membingungkanku sendiri. Mobil yang kami tumpangi merupakan mobil terakhir di terminal tadi. Kebetulan sopirnya tetanggaku di kampong, sehingga kami dapat duduk di kursi depan.
Pemandangan yang tersaji di luar jendela mobil sudah jauh berbeda saat kutinggalkan dulu. Tak adalagi hutan dan tanah lapang yang ada hanyalah pemukiman luas dan area pertanian yang mulai terdesak.
“Sudah sampai Man.” Aku terkejut, ternyata aku tertidur. Segera kubangunkan Patmi dan Wahyu yang masih pulas. Mereka tampak sangat kelelahan.
“Terima kasih Ali. Sepertinya ada pesta di rumah Datu?” tanyaku saat melihat keramaian di rumah Datu Ake yang berseberangan dengan rumah ibuku.
“Iya. Pesta lama…sepertinya baru mulai. Oh ya, ini baru pukul sepuluh. Ayo saya juga mau kesana” ajak Ali. Pesta lama?
Awalnya aku menolak dan bergegas menuju rumah ibuku tapi ternyata terkunci. Yah, ibu tidak mengetahui kedatangan kami. Pasti ibuku ada di rumah Datu. Barang bawaan kami simpan di depan pintu dan akhirnya memilih untuk kerumah Datu juga sekalian bertemu teman lama dan kerabat.
“Ramai sekali Yah?” Tanya Wahyu saat kami memasuki halaman rumah Datu. Tak ada yang menyadari kedatanganku, semuanya serius memandang ke arah seorang penari. Oh… hatiku ciut. Tanganku tiba-tiba dingin. Desiran darahku semakin kencang. Acara mabbissu, acara ritual yang diperankan oleh para bissu.
Orang kebanyakan mengatakan kalau bissu itu “Urane majjiwa makkunrai, tengurane toi temmakunraitoi” (Laki-laki yang berjiwa perempuan, tapi bukan laki-laki juga bukan perempuan). Para bissu berperan sebagai penasihat raja. Pada masa pra- Islam mereka bisa dikatakan sebagai pendeta agama Bugis kuno. Sebagai pelaksana dalam ritual kerajaan, bissulah yang menentukan hari baik untuk memulai sesuatu, seperti turun ke sawah atau membangun rumah.
“Kang lihat itu!” teriakan Patmi menghentikan perasaan aneh yang merayapi tubuh. Kuarahkan pandanganku pada seorang bissu yang ditunjuk Patmi. Tampak seorang bissu yang usianya lebih tua dari bissu lainnya. Itulah Puang Matoa, pimpinan para bissu. Dia sedang meletakkan keris ke lantai rumah, dengan ujung keris yang menghunus ke atas. Lalu menjatuhkan dirinya ke ujung keris itu. Alas kayu yang dijadikan tumpuan kerisnya berderak patah. Gerakan ini ia lakukan berulang-ulang. Bahkan beberapa kali ia menjatuhkan dirinya dengan sangat keras.
Keramaian bertambah ketika dengan keris terhunus, Puang Matoa menggorok lehernya sendiri. Ia lalu menyandarkan ujung keris tersebut ke tiang rumah, dan menekan-nekankan keris tersebut ke lehernya. Bunyi gendang semakin kuat. Puang Matoa melenguh, ia kemudian menancapkan keris panjangnya ke bagian perut. Ia menghentakkannya ke lantai, dan seketika bambu yang menjadi alas kersinya patah. Ia semakin liar. Kemudian ia kembali menghujamkan keris ke perutnya namun tak ada setetes darah pun yang tampak. Kegiatan itulah yang biasa disebut upacara maggiri. Bunyi gendang terhenti. Kami tersenyum puas dan bertepuk tangan.
“Pat, Wahyu mana?” Tanya ku pada Patmi saat menyadari kalau Wahyu tak bersama kami. Patmi juga tampak bingung seakan ingin berkata kalau Wahyu tadi disampingnya. Kuedarkan pandanganku ke setiap penjuru. Tidak. Anakku ternyata sedang berbicara dengan seorang bissu muda. Setengah berlari aku menghampirinya.
“Kakak hebat. Kulitnya tidak teriris keris. Wah ... aku ingin seperti itu.” Si bissu hanya tersenyum mendengar celoteh Wahyu. Tak boleh ada percakapan lagi.
“Wahyu, ayo ke rumah nenek. Ibu bingung mencarimu!” dengan sedikit hardikan Wahyu akhirnya menurut. Beberapa orang yang kulewati menyapaku bahkan ada yang merangkulku. Ternyata mereka merindukanku juga.
“Rahman sudah berubah ya?”
“Itu anaknya? Seperti mustahil kalo mengingat dia muda dulu”
Selentingan komentar dari mereka hanya kuanggap angin lalu. Aku ingin segera bertemu ibu. Kupercepat langkahku menuju Patmi yang berdiri mematung. Tampak seorang ibu yang hampir renta menegurnya. Itu ibu pekik batinku.
Pertemuan yang cukup mengharukan. Setelah berpamitan dengan Puang Datu Ake dan beberapa tetangga, kami pulang ke rumah yang hanya beberapa langkah dari rumah Puang Datu.
Malam ini menjadi malam yang sangat indah sepanjang hidupku. Bintang-bintang menari diiringi alunan merdu suara bulan. Pentas indah mutiara langit itu menyisipkan kebahagiaan yang tiada terperi di sepanjang aliran darah. Tapi siapa yang tahu kalau malam ini akan menjadi awal retaknya mimpiku.
***
“Yah, keren ya kalau jadi bissu. Aku tak perlu lagi takut sama Jack. Mau dipukul, di tendang atau di tikam sekali pun. Kan udah kebal.”
“Hentikan Wahyu, tidak ada yang akan pernah jadi bissu lagi di keluarga kita.” Aku menjadi emosi mendengar angan-angan Wahyu. Mendengar ucapanku yang meninggi, Wahyu segera berlari ke arah neneknya yang sedang memberi makan ayam di halaman samping rumah.
Melihat sikapku yang tak biasanya Patmi tampak bingung. Aku sendiri bingung dengan sikapku. Mungkin harapanku terlalu tinggi pada Wahyu atau kepahitan masa lalu yang tiba-tiba membias di angan.
“Kang, kok ngomongnya kasar gitu sih. Itukan cuma angan-angan anak kecil. Biarin aja.” Patmi mencoba menenangkanku. Udara pagi ini berhembus hampa di wajahku. Ini bukan sekedar angan-angan anak kecil tapi…
“Apa maksud ucapan Akang tadi?”
“Ucapan yang mana?”
“Menjadi bissu lagi?” Tanya Patmi dengan tatapan selidik khasnya. Aku mengerti arah pertanyaan istriku. Aku harus cerita sekarang. Mungkin inilah saat yang tepat untuk membuka tabir rahasia masa laluku.
“Patmi, bagiku kamu dan Wahyu adalah nafas hidupku. Aku bermimpi suatu saat nanti keluarga kita menjadi keluarga kecil yang bahagia. Aku ingin kamu menjadi istri yang bangga akan suamimu. Dan Wahyu menjadi anak yang terpandang tanpa cerca. Aku tak meminta banyak. Aku hanya ingin kita semua dihargai dan diterima dimanapun berada.” Ucapku serius mencoba mencari setitik embun dimata istriku.
“Aku bangga menjadi istrimu. Kamu seorang pekerja keras, rajin salat, dan tak pernah mengeluh. Ada yang ingin kau ceritakan?” tanya istriku sambil menggenggam tanganku. Sebuah keteguhan untuk mengungkap semuanya hadir dalam hatiku.
“Aku tak tahu apakah kamu masih bangga menjadi istriku setelah kuceritakan masa laluku?” istriku hanya mengangguk meyakinkan hatiku.
***
Sejak berusia belasan tahun aku sudah menyadari kelainan yang aku alami, dan mencoba untuk masuk seutuhnya ke wilayah bissu. Maka aku datang berguru kepada bissu-bissu senior ketika itu, salah satunya Puang Matoa Patiro. Aku dinyatakan lulus sebagai bissu pada usia 20 tahun.
Awalnya aku menjadi bissu karena tiga kali aku bermimpi bertemu lelaki tua berbusana serba putih yang menyuruhku ke Rumah Arajang yaitu altar berkumpulnya pembesar bissu. Aku tak berani ke sana. Melihat bissu-bissu itu saja sudah takut, karena cara berpakaiannya seperti perempuan tetapi wajahnya kekar-kekar. Namun, setelah mimpi ketiga baru aku memberanikan diri. Dan jadilah aku selalu bersama mereka.
Setelah 5 tahun menjadi bissu aku mulai merasa jenuh. Seiring pemahaman agama masyarakat yang semakin baik bissu tak lagi dianggap orang suci tapi mulai dicela dan dianggap mempraktikan kemusyrikan. Selama aku menjadi bissu pun kegiatan yang kami lakukan tak terlalu besar lagi seperti pada zaman kerajaan. Keinginanku untuk lebih dihargai dengan kekuranganku justru berubah menjadi pandangan jijik.
Mulai ada keinginan untuk menjadi orang normal. Dan keinginan itu semakin kuat sejak kejadian malam itu. Kejadian yang tak ingin kulihat lagi. Malam itu acara mabbissu digelar dirumah Datu Tenri Liweng. Saat tiba giliran Puang Matoa Patiro dan melakukan upacara maggiri sambil terus mengucapkan bahasa torilangi, bahasa para dewa. Keris pun mulai di tusukkan ke perutnya. Sukses. Namun, ketika ia bangkit dan menghujamkan kembali keris ke perutnya, matanya mendelik.
Aku dan Masse di sudut ruangan mulai memucat. Puang Patiro sempoyongan, dengan langkah tertatih ia berbalik ke dalam ruangan. Bunyi gendang terhenti. Kami tersenyum puas dan bertepuk tangan. Namun, sekembali dari ruangan, Puang Patiro ternyata masih memegang hulu keris yang masih menghujam ke perutnya, berkali-kali jempol tangan yang telah diludahinya diusapkan ke bagian perut. Kami tercekat, perut Puang Patiro berdarah. Terlihat darah segar! Perut Puang Patiro tersobek oleh tusukannya sendiri. Aku digerogoti rasa takut. Puang Patiro tertikam keris, bukannya segala ritual pada dewa sudah dia lakukan? Ah, ada kekuatan di atas kekuatan para dewa.
Malam itu mencekam detik-detik tidurku. Mimpi buruk pun menyusup perlahan menggetarkan hatiku. Terlihat diriku menari dengan gemulai, keris kutusukkan ke seluruh bagian tubuh. Tak ada yang terluka, tapi saat keris kuarahkan ke bagian hatiku tiba-tiba mengalir darah segar bahkan hampir disetiap lubang pada tubuhku mengeluarkan darah segar. Anehnya, Puang Matoa hanya tersenyum melihat kondisiku. Aku marah, kecewa, geram, dan sakit tapi siapa yang harus disalahkan? Mimpi itu terus mengusik malam-malamku.
Aku takut. Semua harus berakhir. Hari-hariku penuh gundah dengan tatapan hina orang-orang disekitarku. Aku seperti bangkai berjalan tanpa arah. Hingga akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan semuanya termasuk ibuku. Bandung menjadi tujuan pencarianku. Terlunta-lunta oleh waktu, musim dan kejamnya sinar matahari. Dan akhirnya aku bertemu denganmu, Patmi
***
Meskipun aku bukan bissu lagi, tak berarti kalau aku harus membenci para bissu. Aku tak mau sorot mataku menciptakan kegelisahan di hati mereka. Wahyu tak pernah lagi penasaran dengan bissu. Aku tak menyangka dia cepat akrab dengan anak-anak kampung sini. Cukuplah dia menjadi laki-laki normal. Tak perlu kekebalan dan ritual pemujaan karena ada yang lebih kuat diatas segalanya dan lebih pantas untuk dipuja. Dialah Sang Pencipta yang di tanganNya tergenggam jiwa-jiwa anak Adam.
“Oh… aduh kenapa pada lari. Ada apa?” Seorang gadis imut yang manis menabrakku.
“Wahyu Om, mimpinya kok aneh-aneh semua.” ucapnya menggemaskan.
“Mimpi aneh. Memangnya mimpi apa, Nak?” Kutatap gadis imut itu. Dia masih kertas putih tanpa warna buram kehidupan.
“Wahyu mimpi ketemu lelaki tua berbusana serba putih. Katanya mau diajarkan ilmu kuat biar tidak teriris keris, seperti Puang Matoa.” Apa??? Kata-kata gadis imut itu selaksa gemuruh yang menulikan pendengaranku. Kami harus segera pulang ke Bandung.
Kuceritakan kekhawatiranku pada istri dan ibu. Mereka menganggap aku terlalu berlebihan. Bahkan ibu hanya menganggap itu hanyalah masalah sehari yang akan berhenti hari ini juga. Wahyu harus tetap menjadi Wahyu. Tak ada bissu, mabbissu, ritual maggiri. Takkan pernah ada. Aku harus segera menegur Wahyu untuk tak percaya hal-hal seperti itu. Kita tak butuh itu semua karena sudah ada iman yang terlalu mahal bila harus digadaikan bahkan untuk menyandingkan keduanya pun tak pantas.
***
“Kang…kang…kang…”
“Ada apa Pat? Kok kamu teriak-teriak begitu.” Segera kuhampiri Patmi yang tampak panik.
“Wahyu…Anak kita kang. Tangannya berdarah. Dia terluka parah.” Patmi semakin panik.
“Kok bisa?” Kucoba untuk berpikir jernih.
“Ayolah kita ke rumah. Nanti dia kehabisan darah. Untung dia tidak menusukkan pisau ke perutnya.” Patmi menarikku pulang. Pisau…darah… Ah… Aku berusaha mengikuti kecepatan langkah Patmi.
“Jangan bilang dia mencoba seperti para bissu.”
“Seperti itulah, Kang.” Aku berhenti dan menatap istriku. Ini sudah tak bisa dibiarkan. Segera kuraih tangan istriku dan berlari ke rumah.
Kudapati Wahyu, anakku bersimpah darah. Segera kugendong tubuh kecilnya ke Puskesmas. Kamu harus bertahan, Nak pintaku dalam doa. Wahyu sudah tak sadarkan diri. Entah apa yang ia rasakan. Kasian anakku.
“Maaf pak, dokter lagi tak ditempat. Sebaiknya langsung ke rumah sakit saja” ucap seorang perawat.Ah lagi-lagi system pelayanan kesehatan.
“Anak saya kekurangan banyak darah, Bu. Tolong diberi pertolongan pertama dulu dong. Kalau anak saya sampai meninggal kalian aku tuntut.” Aku mulai emosi. Sistem seperti apa ini? Dimana rasa kemanusiaanya? Seorang perawat tampak masih ingin berkomentar, saat seorang perawat yang lebih tua langsung menyuruhku membawa Wahyu ruang gawat darurat. Luka Wahyu pun segera dijahit dan mendapat tambahan darah. Akhirnya nyawa anakku masih terselamatkan.
Malam mulai menaungi langit. Kegelapan menjadi teman sunyi yang setia. Wahyu tampak pulas dalam lelapnya. Mata sipitnya perlahan terbuka. Alhamdulillah. Kami yang berada di ruangan itu berucap syukur atas nikmat itu.
“Yah, kenapa aku tak bisa seperti mereka?” Sebuah tanya yang meruntuhkan bangunan senyum yang baru kubentuk.
“Sayang, nggak usah mikiran itu ya. Wahyu itu anak mama yang paling jago.” Patmi berusaha menenangkannya dan tak lepas tangannya membelai rambut anakku.
“Mama bohong. Buktinya Jack lebih jago dari aku. Kok bissu bisa ya?” Kami hanya mampu saling berpandangan. Ibuku pun mulai meneteskan air mata . Ah, hatinya sungguh lembut.
“Mama pernah ngomong kalau ayah adalah ayah terhebat buat Wahyu. Ya kan Ma?” Patmi hanya sanggup mengangguk.
“Ayah pasti bisa dong seperti bissu. Aku mau lihat, Yah.” Aku terkesiap mendengar permintaan itu. Ibu dan Patmi pun sangat kaget. Kenapa harus begini?
“Sayang… andai ayah bisa, ingin rasanya segera kuperlihatkan depan Wahyu. Tapi itu kelemahan ayah, Nak. Untuk sekali ini saja ayah minta maaf. Ayah tidak bisa.” Kucoba member pengertian pada Wahyu. Tak ada ucapan yang ia lontarkan. Tapi raut mukanya membiaskan rona kecewa yang sangat besar. Seorang anak telah kecewa pada ayahnya. Oh sungguh aku tak mampu memenuhi permintaan anakku sendiri.
“Lakukan sekali ini saja Man! Demi anakmu.”
“Tapi aku tidak bisa, Bu. Lagian sudah terlalu lama aku tak melakukannya. Aku sudah lupa semuanya.”
“Mungkin kamu telah berubah tapi jiwa kamu masih tetap seorang bissu, Man. Lakukan demi Wahyu. Kamu bisa minta bantuan Puang Matoa. Jangan sampai dia kecewa pada ayahnya sendiri. Dia lagi sakit, kasihan kalau permintaannya tak terpenuhi.” Ibu terus mencoba meyakinkanku.
“Aku sudah bersumpah tak akan melakukannya lagi.” ucapku sambil menatap istriku. Patmi hanya memandangku dengan mata berkaca-kaca. Dia juga tak rela aku melakukannya.
“Demi anak kita sayang. Kamu pernah bisa melakukannya. Pasti kamu masih bisa. Lihat kondisi anak kita dia sangat lemah dan kecewa sama kamu. Melihat wajahmu saja sepertinya ia enggan” Ucapan Patmi mengalir lembut menyapa nalarku.
Aku pun menemui Puang Matoa di rumah Arajang. Setelah kurasa cukup dan yakin masih bisa melakukannya, aku kembali ke kamar rawat Wahyu.
Seraya berdoa kumulai melakukan gerakan maggiri. Awalnya hanya pada lengan dan berhasil. Tampak senyum di wajah Wahyu. Aku pun menusukkan keris ke perutku. Ouw… cairan merah tampak mengalir di bajuku seiring rasa sakit yang teramat perih. Aku melanggarnya. Samar kulihat wajah panik istriku. Semua tiba-tiba berubah kelam. Gelap. Dan aku tak ingat apa-apa lagi.