Kamis, 05 Maret 2009
akhwat dadakan
Ahad menjadi hari paling sial dalam hidup Wini. Entah kenapa dia harus selalu bertemu Iis, Si Jilbaber yang paling menyebalkan di matanya. Semua kesialan itu seakan berawal dari tatapan Iis.
“Uh, nyebelin banget sih… pokoknya dia nggak boleh menjadi pusat perhatian terus. Apalagi Aldi, kok maunya berurusan sama cewek kayak Si Iis itu. Sudah pendek, pakai baju kebesaran lagi kayak lontong berjalan saja. Ditambah jilbab besar berkibarnya. Oh… amit-amit deh. Dan kacamatanya kayak professor gitu. Uh, pokoknya nyebeliiin.” Tak henti Wini mengomel. Dia terus mondar-mandir dari pintu ke tempat tidurnya hingga akhirnya dia tersenyum lebar. Ide cemerlang mulai dia temukan.
Segera dia mencari ibunya. Sepertinya Aldi punya selera cewek kayak Iis. Hm,aku juga bisa. Ibunya tidak dia temukan di hampir semua sudut rumahnya. Dia pun segera mengeledah lemari pakaian ibunya. Semua kemeja sampai daster dia coba. Terlalu jadul pakaian-pakaian itu, tapi tak menjadi masalah yang penting bisa tampil ala Iis. Setelah berkutat dengan baju-baju besar ibunya akhirnya dia mendapatkan sebuah baju kaos lengan panjang warna ungu dan rok kotak-kotak berwarna hitam. Lumayan, hibur hatinya.
Wini pun mencoba pakaian barunya dan berlatih berjalan menggunakan rok. Selama ini dia selalu tampil tomboy dengan celana jeans biru favoritnya dipadu kaos oblong pendek. Pertama memakai rok jalannya menjadi tak seimbang dan sudah berapa kali dia menginjak pinggir rokoknya. Seperti ada yang kurang. Jilbab. Wini berusaha mencari kain yang bisa menjadi jilbab. Di rumahnya tak ada yang memakai jilbab, jadi tak mungkin ada jilbab yang dapat dipinjamnya. Untung ada taplak meja hijau nenek. Ini yang aku cari.
Komplitlah pakaian ala Iis di tubuhnya. Lucu, komentar akalnya. Tapi aneh, protes hatinya. Takkan ada kesialan lagi kalau sudah begini, dia mematok tubuhnya di depan cermin besar. Baju ungu yang kebesaran dipadu rok kotak-kotak hitam plus jilbab yang tak lain taplak meja hijau neneknya. Sebenarnya kesialan itu ada karena Wini tak pernah berhasil mengajak Aldi mengobrol berdua. Justru Iislah cewek paling sering dia ajak mengobrol dan hari ahad bukan lagi momen asyik untuk berdiskusi. Semua karena Iis.
***
“Aduh, telat deh. Kok nggak ada yang bangunin aku ya? Hari ini kan launching bukunnya Aldi.” Setengah berlari Wini ke kamar mandi. Lima menit cukup untuk mandi. Dia pun buru-buru memakai pakaian yang sudah dia setrika rapi. Hari ini akan menjadi hari keberuntungan aku, pikirnya mantap.
“Oh NO… tujuh menit lagi.” Dipercepatnya memakai jilbab dan kaos kaki. Mencong kiri dan kanan tak dia pedulikan yang penting dia tidak terlambat. Diayunnya langkah seribu lebih cepat dari biasanya untung dia memakai sepatu keats.
Telat deh… segera dia bergabung dengan para undangan. Tak ada yang peduli dengan kehadirannya termasuk Aldi. Sebel, udah keren gini masih belum dilirik. Kembali dia mengamati penampilannya. Baju ungu besar, rok kotak-kotak, jilbab hijau yang tak lain taplak meja nenek, sepatu keats Puma dan kacamata tebal. Lumayan.
Wini mulai gelisah, hampir empat puluh lima menit dia memasang senyum termanisnya tapi Aldi tak kunjung melihat kearahnya. Sesi tanya jawab mulai dibuka. Hampir semua tamu mengacungkan tangan kecuali Wini yang memang tak pernah fokus pada isi buku yang dipaparkan Aldi.
Seorang laki-laki tiga kursi dari tempatnya duduk mengajukan pertanyaan. Aldi pun memusatkan perhatiannya pada laki-laki itu.
“Duh Al kepalanya belokin dikit ke arah aku dong. Cuma 15o doang. Ayo dong. Kanan-kanan. Dikit lagi Al. Yah gitu dong.” Akhirnya dia melihatku juga.
Aldi yang duduk manis di depan menjadi fokus pada satu titik, gadis berjilbab yang tampak baru di matanya.
“Siapa gadis itu? Sepertinya dia mahasiswa baru. Ah bukan … itukan Wini. Tidak mungkin. Wini yang tomboy pakai jilbab. Tidak…tidak mungkin” Aldi berusaha lebih fokus lagi dia pertajam penglihatannya. Tapi gadis itu tetap Wini. Gadis yang diperhatikannya tampak malu-malu dan mulai sibuk dengan ujung jilbabnya.
“Aduh, Aldi kok ngeliatnya sampai segitunya. Kan jadi malu. Aku manis banget ya di matamu. Oh… akhirnya aku mendapat perhatian juga darimu. Tatapan itu udah lama aku tunggu.”
Aldi semakin yakin itu memang Wini. Dia sebenarnya tak ingin memandang gadis dengan seksama tapi gadis yang satu ini benar-benar beda.
“WINI… Ah, kok bisa memakai pakaian seperti itu. Baju ungu kebesaran, rok kotak-kotak, jilbab… tampaknya taplak meja yang disulap, warna hijau lagi. Sungguh aneh. Lho… sejak kapan dia pakai kacamata, tebal banget lagi lensanya mirip Betty Lavea” geli melihatnya. Aldi tersenyum menunduk takut terlihat audience. Kembali dia konsentrasi pada pertanyaan-pertanyaan yang diterimanya.
***
“Oh…No…kok jadi begini sih. Kenapa harus datang pas dalam kondisi senang begini??? Jangan dulu dong! Nanti aja, tuh Aldi lagi memandangi aku nih. Please, jangan sekarang!!! Aow… aku nggak tahan lagi. Sekarang harus SEKARANG.” Wini segera berlari sekencang-kencangnya menuju toilet. Dalam kondisi tegang pasti dia ingin buang air kecil.
Plong deh. Sebelum meninggalkan toilet tak lupa dia memperbaiki jilbab yang selalu mencong ke kiri-kanan. Poninya selalu saja menampakkan diri di jidat. Tapi kok Iis tidak begini, pasti dia tidak punya poni.
Para undangan mulai meninggalkan ruangan saat Wini kembali ke tempat duduknya. Sial, dia bertemu Iis.
“Hai Win. Penampilan baru nih. Selamat ya, semoga hidayahnya dipertahankan. Kamu anggun deh dengan pakaian itu.” Iis berlalu dengan senyum.
“Ehm, sok baik banget sih lo Is. Bilang aja takut tersaingi. He…he…he…” Wini tertawa sendiri. Dia lupa kalau bertemu Iis bakal ada kesialan. Pandangannya kembali tertuju pada Aldi. Oh, dia cakep banget hari ini. Lalu diambilnya tas kemudian beranjak pergi. Saat dia berbalik, BRUKK. Seorang pelayan minuman menabraknya. Bajunya basah oleh jus jeruk. Warna kuning langsung menghiasi baju ungunya.
“Sial…sial…sial.” Dia mau marah tapi dia juga salah. Dengan hati jengkel dia menuju toilet.
Entah sudah takdirnya mendapat sial bila bertemu Iis. Tapi mungkin juga itu balasan karena hatinya selalu marah dan jengkel bila bertemu Iis.
***
Gerah. Pengap. Sesak. Suasana mulai mencampakkannya, jilbab yang sedari tadi membungkus kepala pun dibuka. Keringat berjalan bebas di leher. Bajunya pun dia bersihkan dengan tissu.
Lagu “Menunggu” Ridho Irama tiba-tiba berdering di hpnya. Gaya boleh tomboy dan gaul tapi ringtone dangdut setia menyertai. Dari mamanya “Sayang mama sekarang jemput kamu nih depan aula. Cepetan kesini ya. PENTING!!!”
“Aduh, mama paling bisa deh. Datang tidak bilang-bilang dan kalau sudah bilang penting berarti sekarang.” Wini segera berlari keluar toilet. Tak disangkanya sepanjang koridor ramai sekali oleh teman-temannya yang sibuk meminta tanda tangan Aldi. Wini juga ingin sekali bergabung, tapi mamanya sudah menunggu.
“Jilbab kamu mana, Win? Perasaan tadi kamu pakai jilbab. Ha…ha…” tegur seorang teman yang langsung diiringi tawa teman-teman yang lain.
“Akhwat dadakan sih.” Teriak seorang teman cowoknya. Kembali derai tawa menggema di sepanjang koridor. Wini baru sadar, disentuhnya kepalanya. Oh…No, malu banget gue. Ya Allah, kalau begini lebih baik aku pingsan aja. Pingsankan gue dong. Duh Tuhanku. Wini pun berlari kembali ke toilet. Jilbab yang dicari pun dia temukan tergeletak dekat tempat sampah. Hatinya miris. Sedih. Pilu.
“Lihat lap disini?” tanya seorang cewek disampingnya. Jilbab aku dikira lap. Ya Tuhan, sial banget sih.
“Ini…Pakai jilbabku saja. Kebetulan tadi saya bawa dua.” Iis datang sebagai pahlawan. Ternyata Iis sudah melihat apa yang dialami Wini.
“Makasih” Dengan terpaksa Wini memakai jilbab yang ditawarkan Iis. Rasa malu masih lekat diwajahnya saat berlalu disepanjang koridor. Sepi. Hatinya lega karena dia bisa berjalan dengan tenang. Lagi-lagi hpnya berdering. Langkahnya pun dipercepat.
“Eh… sorry” Seorang laki-laki hampir saja ditabraknya.
“Wini… Ehm selamat ya. Mudah-mudahan jilbabnya dipertahankan. Aku salut banget sama kamu. Perubahan yang cepat dan semoga pasti. Yang diomongin teman-teman tentang akhwat dadakan itu tidak benarkan?”
Aldi kamu perhatian banget sih, tapi kenapa tidak mau memandang aku sedikit aja? Andai kamu tahu ini semua kulakukan demi kamu, batinnya. Wini malu. Rasanya dia ingin menangis. Kenapa justru terjebak dalam kondisi begini?
***
“Wini, kamu sayang? He…he. Gaya apa nih? Lagi lomba kostum jadul ya?”
“Ih mama… Anak berubah lebih baik kok tidak disyukuri. Wini kan cuma lagi introkspeksi diri.” Wini mencoba menarik perhatian mamanya. Walau hatinya berbeda. Suerr, semua demi Aldi.
“Oh ya, atau cuma lagi menarik perhatian seseorang? Ehm, mungkin juga lagi naksir seseorang. Biasanya kan anak mami punya kebiasaan begitu.” Mamanya paling senang menggoda Wini.
“Ah…mama.” Wini yang digodain jadi salah tingkah. Oh tidak… dia datang lagi. Tahan Win, kamu pasti bisa. Nggak… aku nggak bisa. Segera Wini berlari meninggalkan mamanya yang senyum-senyum melihat tingkah anaknya. Wini pun mengangkat roknya tinggi-tinggi untung memakai jeans di dalam. Tak disadarinya kalau sepasang mata memerhatikannya dibalik jendela mushallah.
“Ehm, benar-benar tomboy atau sekedar akhwat dadakan. Padahal dia manis kok. Astagfirullah.” Aldi segera mengalihkan pandangannya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
yah..selamt ya..ani_dzakiyah tas kemenangan cerpennya. cerpen ini mampu memberi semangat pada seorang perempuan untuk tetap sabar.
dan ceritanya menarik sekali buat referensi belajar menjadi wanita yang sholihah. mg bermanfaat n barokah.Amiin.
Posting Komentar