Selasa, 30 Desember 2008

puisi buat bunda


EMBUN CINTA SANG BUNDA
Menatap serpihan waktu yang terkapar
Terlena pada duka kering terhampar
Meniti hari dengan senyum hambar
Bersama perih yang terus menyambar
Tak Pernah Kuraih Kasih
Tak Pernah Kulirik Sayang
Walau Berdenting Hasrat
Tuk Jumpa Bunda Di Ujung Waktu
Bersama alunan pagi kurangkai rindu buatmu,bunda
Menyulam sisa kasih yang pernah kudapat

Melukis wajah yang tak pernah kukenal
Berbusa mulut pun bicara
Aku tetap tak pernah tahu
rintihan bening di ujung mata
mengaung di antara suara sumbang yang terus memanggil
bercengkrama di antara tanya yang terbungkus ….
bunda,engkau ada dimana?
Ingin ku cium tanganmu
Dalam dawai cinta tak terperih
Ingin ku kecup pipimu
Dalam alunan sayang tak bertepi
berjuta hasrat hanya mampu bergantung di tepi langit
tersapu mendung di sore hari
Bunda,ingin kuhaturkan maaf atas kecewaku
Ingin kuhapus duka atas sesalku
Ingin kubuang rasa iri atas saudaraku
Dan ingin kudengar jawaban atas tanyaku
Mengapa kau tinggalkan aku di gerbang ini?
Sendiri terpuruk oleh sepi
Berkawan tak berpihak
Tanpa pernah rasakan belaianmu
Bunda
Hanya embun pagi yang mampu kusemai
Bersama embun cinta yang pernah kau teteskan padaku
16 Desember 2008

Cerpen


LAKI-LAKI DI SUDUT KAMAR
Sore yang beku oleh kabut di cakrawala terbias warna kelam yang menyiratkan kematian. Menggiring warna indah sunset yang jelas terbias lewat jendela kamarku ke gerbang gelap tak terbaca dan hembusan angin bagai nafas yang gerah menanti waktu. Benarkah tak ada lagi mentari pagi setelah sore ini? Tiada lagi kenangan yang akan tercipta bersama kerikil jalanan yang terseok oleh hentakan langkah? Dadaku sesak laksana tiada lagi oksigen yang tersedia untukku. Ucapan dokter Ridwan telah membom istana harapan dan cita-cita yang ku bangun di dasar hati berlinang peluh diantara doa dan jerih payah papaku.
Aku bukanlah orang yang melankolis tapi entah kenapa aku selalu tersenyum bila sore datang, mungkin karena ia menyiratkan sebuah makna bahwa matahari yang gagah dan ganas dengan panasnya pun akan redup bersama waktu. Tapi ada satu hal yang selalu kutunggu saat memandang matahari sore.

Saat terindah yang akan menawarkan senyum manis dengan sinarnya yang menyiratkan kedamaian. Bulan…Tapi mengapa sore ini bagai penutup waktu yang mengerikan? Cerianya makhluk Allah kembali ke peraduannya bagai alunan maut yang mencekam.
“Salman…lho kok duduk di sudut kamar?” Suara nenek menghentikan shimponi yang berdendang di hatiku. Ku pandangi wajah tua yang masih menyimpan guratan cantik masa muda namun menyiratkan kelelahan itu dengan senyum yang kupaksa semanis mungkin. Akankah aku selalu ada di sisi engkau di hari tuamu? tanyaku diantara suara batin yang terjepit waktu.
***
Hidup tak mesti berhenti hanya karena vonis dokter, itulah yang kuyakini sekarang. Berjalan dalam rentetan waktu yang pasti kan berhenti besok ataukah nanti. Walaupun ucapan dr. Ridwan terus terngiang di telingaku.
“Kenapa baru periksa sekarang? Berdasarkan hasil Ultrasound (USG) dan Diagnostic mammography minggu lalu serta melihat tanda-tanda klinis seperti adanya benjolan, cairan encer dari puting susu, benjolan kecil pada ketiak serta bentuk dan ukurannya. Hm … kamu terkena kanker payudara stadium IIA jenis invasive breast cancer.” Ucapan itu bagai bom yang meledak di dasar hatiku. Aku tidak percaya kucoba menyanggah keputusan dr. Ridwan dengan dalih kanker payudara hanya untuk wanita, tapi jawaban apa yang kudapat? Semua hanya kemustahilan yang teraba namun berubah menjadi realita paling memilukan.
“Kanker payudara dapat terjadi pada semua usia. Kanker payudara dapat juga terjadi pada pria, meski hanya sekitar 2 persen dari seluruh jumlah kanker payudara. Dan faktor risiko yang menyebabkan anda mengalami ini karena pertama, kakak perempuan anda meninggal karena kanker payudara berarti anda punya riwayat keluarga. Kedua, anda pernah menjalani rontgen waktu kecelakaan karena luka di bagian dada itu berarti daerah dada pernah terkena radiasi. Di tambah lagi anda merokok dan … “
Panjang lebar dokter menjelaskan faktor risiko, teraphy, kelalaian aku sampai pengobatan namun semua tak mampu menggores makna di pikiranku yang tinggal hanya satu aku menderita kanker payudara. Lalu pengobatannya… Uh, aku menghela napas panjang, masih adakah harapan untuk orang miskin sepertiku mendapat pengobatan dengan peralatan yang canggih? Semua tak mungkin dapat kujalani karena tiada biaya yang bisa kupakai. Untuk cek up saja aku harus memakai uang beasiswaku bahkan meminjam uang dari temanku, aku punya kartu sehat tapi itukan cuma dapat subsidi buat pengobatan di puskesmas saja, itu pun kalau beruntung bisa dapat rujukan ke rumah sakit. Memang susah orang miskin seperti aku. Sebuah kepasrahan pada realita yang tak mungkin untuk dipungkiri.
Aku selalu berusaha untuk tegar dan tak larut oleh kekhawatiran dan sakit yang kurasakan ini. Cukuplah kondisiku ini menjadi rahasiaku untuk seumur hidup. Kembali kumulai aktivitas seperti sediakala, namun ada yang sedikit berbeda aku semakin sering menulis dan membaca karena aku harus merampungkan sebuah buku yang sudah kutulis sejak diterima sebagai mahasiswa. Sebuah jejak langkah seorang mahasiswa kucoba rangkai lewat tulisan sebagai inspirasi bagi adik-adikku kelak. Dan bagiku menulis itu untuk keabadian.
Kuamati tiap sudut kampus yang kulewati menuju tempat seorang gadis yang telah menunggu. Melisa, gadis yang sangat mencintaiku. Aku juga sangat mencintainya tapi sebuah keputusan besar harus kuambil demi sebuah seruan keabadian. Aku tak mau ia menderita karena keadaanku kini.
***
Dinding itu bagai menghimpit seluruh jiwa raga, remuk redam semua kebahagiaanku. Mata yang menatapku seakan mengejek dan menghina diriku yang terpuruk oleh kanker payudara. Hanya sudut kamar ini yang mau melindungiku dari perih yang teramat sakit di dadaku bahkan kurasakan menikam hingga ke kelenjar getah bening.
Andai papa, Adi, Doni dan nenek tahu. Apa yang akan mereka katakan? Akan diejekkah aku? Apakah mereka akan malu? Seharusnya mereka tidak malu karena ini bukan aib hanya tidak lazim saja, bisik hatiku menguatkan aku yang telah basah oleh peluh dan air mata. Mereka tak boleh tahu, tapi rasa nyeri ini seakan mendorongku untuk jujur. Sudah lama kupendam rahasia ini, tabir itu terus kubentang untuk menghalau nasehat dokter. Aku sudah tak peduli dan hanya mampu memanfaatkan waktu yang tersisa untuk sedikit berkarya.
Aku harus tetap bertahan walaupun berat resiko yang kuhadapi. Dan akan tergolek tak berdaya kelak. Mungkin ini sebuah kebodohan, tapi inilah yang terbaik untuk menjaga kebahagiaan yang mulai tercipta di keluargaku sejak ditinggal mama. Dan aku tak mau membebani ayah dengan biaya pengobatan yang terlalu mahal buat kami. Sebenarnya aku pun malu dan kadang bertanya kenapa harus penyakit ini?
Sudut kamarku yang beku oleh suhu malam ini adalah tempat ternyaman bagiku. Dan airmata adalah sahabat pelipur lara. Mungkin terdengar terlalu melankolis. Walaupun aku gagah di barisan PASKIBRAKA, pemberani di rombongan SARS dan jenius di English Club tapi aku tetaplah laki-laki yang menangis di sudut kamar karena ketidakberdayaan oleh ganasnya kanker payudara.
***
Sinar matahari pagi telah berhasil bergabung dengan cahaya lampu kamarku saat aku terbangun. Aku lupa salat subuh lagi, jerit hati kecilku. Kusambar handuk kesayanganku dan sedikit berlari ke kamar mandi. Kurasakan perih yang teramat sakit di dadaku. Benjolan itu semakin besar dan memerah bahkan kadang mengeluarkan nanah di sekitar puting susu dan kulitnya semakin mengerut seperti kulit jeruk.
Saat melangkah keluar dari kamar mandi, rasa perih itu semakin menyiksa. Kepalaku mulai pusing dan entah apa yang terjadi di detik berikutnya. Semua telah gelap.
Aku baru sadarkan diri saat warna putih menyelimuti sekelilingku. Antara sadar dengan nafas yang tertahan, samar ku dengar ayah berseteru dengan perawat tentang urusan administrasi. Perawat bersikeras bahwa bila urusan administrasi belum selesai maka tak dapat dilanjutkan keperawatan lebih lanjut. Tentu saja papa terus ngotot apalagi melihat kondisiku. Ditambah keterkejutan yang sangat keras menghantam perasaannya. Rasa perih itu kembali mendera dan aku kembali tak mampu merasakan apa-apa lagi.
***
“Bagaimana keadaannya, paman?” Suara itu … menggetarkan hatiku, membelai lembut jiwa yang pernah rapuh. Pelan kubuka mataku “Melisa.” desahku.
“Pembedahan lancar, semua sel kanker sudah diangkat dan jaringan sekitar payudara sudah dibersihkan. Tinggal pemulihan saja. Kau sangat mencintainya? Sepertinya tak perlu kau jawab karena aku sudah tahu jawaban melihat sikap kamu padanya dan kebaikan kamu pada keluarganya.”
“Aku sudah tahu alasan dia meninggalkanku, jadi tak ada kata untuk berhenti mencintainya.”
Segores harapan kembali terukir untuk menjaring mentari pagi.

Rabu, 10 Desember 2008

jomblo.gue banget


JOMBLO,Gue banget
*Ani Dzakiyah
“Indahnya hidup. Oh…” Kurebahkan tubuhku yang letih setelah jogging. Kurasakan otot-ototku mulai mengalami relaksasi. Kuhirup dalam-dalam aroma kamarku yang lembut namun menyegarkan. Inilah indahnya hidup yang kurasakan. Allah benar-benar Penyayang, menciptakan suasana pagi yang syahdu bagi para pe-jogging.Biar kata aku jomblo, tapi keromantisan itu selalu kurasakan di pagi hari bersama rayuan udaranya.
“Jomblo itu menyedihkan. Jomblo itu petaka.ugh…ugh. pokoknya secepatnya aku harus punya pacar.” Aku teringat kata-kata Indi saat diputusin oleh Si Ryan.Ternyata Indi salah besar. Justru jomblo adalah anugrah.

Tak banyak orang yang mampu menikmatinya. Hanya orang-orang yang jernih hatinya. Sueer …
“Mil…Mila…” Sepertinya ada yang memanggil namaku. Segera kuberanjak dari kasur ke pintu kamar yang sengaja tak kukunci.
“Ya kak. Ada apa?”
“Ada telpon buat kamu, dari seorang ikhwan. Ingat jaga lisan dan hati!”ucap kak Rezky sambil berlalu dari hadapanku meninggalkan sebiji kebingungan di hati.
“Assalamualaikum, ini dengan siapa ya?” Kubuka percakapan itu dengan salam . Tapi kok tak ada sahutan. Apa sudah putus ya?
“Hello…”ku ulangi mengajaknya mengobrol. Aku mulai kesal.
“Hai…Masih kenal dengan suaraku? Aku teman lama kamu. Aku senang banget, akhirnya aku bisa mendengar suara kamu yang seksi itu lagi.” Ucapan di seberang sana membuatku tersedak dan rasanya asrama ini mau roboh saja. Siapa sih orang ini? Iseng amat. gerutuku dalam hati.
“Ini siapa sih? Kayaknya suaranya asing banget di telinga gue.”ucapku cukup keras biar Si Dia sadar dari khayalannya.
“Masa lupa? Kita kan pernah melewati masa-masa indah bersama, saling…”
“Maaf sepertinya aku nggak ingat tuh.”ku potong secepat kilat sebelum ucapannya semakin ngelantur.
“ Tommy.” Ha… Mendengar nama itu bagai tsunami melanda akal sehatku dan sebuah bom tiba-tiba meledak di dasar hatiku.
Segera kututup percakapan itu dengan menjatuhkan gagang telepon dengan sadis dan berlari ke kamar. Aku duduk termenung. Perasaanku campur aduk. Aku tak menyangka, kok dia bisa tahu nomor telepon asrama? Kok dia masih ingat aku? Bukankah semuanya sudah berakhir 4 tahun silam. Ya…Rabbku.
Hari ini menjadi hari paling buruk yang pernah kurasakan. Bayangnya kembali hadir menghantui langkahku yang telah mantap meniti masa depan dalam dakwah dan cinta. Azzam diri tuk menjauhkan diri dari kemaksiatan dan nista terasa goyah olehnya. Ah, mengapa ia menjadi iblis penggoda imanku?
Sering aku begitu naïf saat teman-temanku curhat tentang pengalaman cinta mereka. Bahkan Mery pernah berkata”Jangan munafik, deh! Kita itu butuh cinta dan pendamping yang merhatiin kita.”
Tidak salah memang. Semua orang butuh cinta dan pendamping hidup yang baik dan setia. Tapi semua butuh jalannya masing-masing. Ada jalan pintas dengan pacaran, ada juga jalan yang halal dan di Ridhoi Allah yaitu pernikahan. Dan jalan yang kedua itulah yang akan kupilih.
Jomblo, gue banget. Mungkin seperti itulah jargon yang kupasang rapi di kain jilbabku. Aku bangga dengan status itu, karena dengan status itu aku bisa lebih menata dan menjernihkan hati. Asal jangan menjadi jomblo abadi.
Aku kadang kasian melihat teman-teman aku yang stress karena ulah pacarnya, ada juga sampai malas ke kampus hanya karena cemburu buta. Sungguh tragis memang padahal ada cinta yang abadi dan dijamin tak ada air mata dan kesedihan saat memilikinya yaitu cinta hamba pada Tuhannya.
***
“Kita kan jomblo klasik, Ha…ha…”Itulah sebutan buat gank kami, dibalik gema tawa ada segores duka di wajahku yang mampu mengubah ekspresi Adhe.
“Kamu kenapa, Mil?”tanyanya sambil mengamati raut mukaku yang tampak aneh dimata sipitnya. Aku tak sanggup menyembunyikan masalah ini dan meresapinya sendiri, apalagi harus berhadapan dengan tatapan tajam teman-temanku. Aku pun menceritakan semua yang kualami akhir-akhir ini termasuk sms-sms teror Si Tommy.
“Enjoy aja. Orang kayak gitu maunya di cuekin. Kalo dia nelpon nggak usah diangkat, kalo sms nggak usah dibalas nanti kapok juga.” Ani mulai angkat bicara, seperti biasa dengan gaya super cueknya. Seakan tidak ada masalah dimatanya dan semua hal bisa dihadapin dengan santai. Heran, pintar-pintar kok bawaannya super cuek abis. Kalau dipikir-pikir saran Ani boleh juga tuh bathinku.
Kucoba mengikuti saran Ani. Eh malah aku dapat balasan”Udah sombong ya. Mentang–mentang kuliah di Unhas lupa deh ma temen sendiri. Aku kan hanya mencoba untuk minta maaf dan membuka mata hati kamu kalau aku masih yang terbaik buat kamu”
GUBRAK!!!
“Ni orang kirim sms pake dengkul kali ye. Nyadar pak!malah aku menjadi orang paling sial karena udah kenal sama kamu.”pekikku yang tertahan antara kenangan dan pilu.
Tommy adalah mantan aku dulu waktu SMA, bisa dikatakan dia pacar pertama tapi bukan cinta pertama. Lho kok bisa? Dulukan sekedar gaul daripada dicap nggak laku. Itulah kesalahan besar yang pernah kutempuh dan sampai hari ini kusesali. Kok bisa-bisanya aku jalan sama cowok kayak dia.?Sungguh memilukan.
***
Aku telah melupakan masalah yang pernah menghinggapiku satu bulan yang lalu. Ternyata aku bisa juga terbebas dari sms-sms nggak jelas dan miscall yang tak kenal waktu. Kini aku bisa menikmati akhir pekanku di Mall tanpa harus berkutik dengan sms-sms Si Tommy.
Hari Minggu adalah hari buat refresing setelah lima hari berperang dengan tugas-tugas kuliah. Bagiku moment ini tak boleh disia-siakan, makanya hari ini kuputuskan untuk jalan-jalan ke Mall sekedar cuci mata kalau sempat ya…nonton di bioskop.
Saat aku dan Ella lagi asyik milih kaset tiba-tiba ada seseorang yang menyapaku. Sepertinya aku pernah mendengar suara itu. “Hai …dia tadi menyapaku dengan nama kecilku.”bathinku. Hanya ada satu orang yang biasa memanggilku seperti itu. Segera aku mencari sumber suara itu. Oh…tsunami kembali melanda hatiku, memporak-porandakan hari Mingguku.
“Tommy…”
*Mahasiswi Epid FKM 2006
Anggota FLP Ranting UH

pertanyaan sang bocah


PERTANYAAN SANG BOCAH
Lemah bersarang di sekujur tubuh
Menemani hari merangkai cerita singkat
Panas mendera memainkan peluh
Merampas cerianya pagi tak bersekat
Ada apa dengaku ibu?

Tangis pecah bersama sesal yang menyesakkan
Seribu maaf dilantunkan mencerna aib
Kamu sakit,nak.
Hari terasa hambar
Walau terhampar sejuta rasa
Bersama sepi yang mencekam
Mengapa mereka menjauhiku?
Terpuruk dalam sepi
Bermain tak berkawan
Hati berkeping sesal
Terwarnai oleh nista
di balik dosa bermain cinta
Terserang pula virus tak berobat
Aku sakit apa, bu?
AIDS
Sebuah kata tak terbias
Menjauh dari nalar
Yang terbuang dan tak terjamah
Ia tak tahu apa-apa
28 April 2008
HARVIANI

Bintangku di langit khatulistiwa

BINTANGKU DI LANGIT KHATULISTIWA
Ketika semua mata tak lagi bersinar memandangmu
Ketika wajah mulai berpaling darimu
Ketika telinga tertutup tuk mendengar jeritanmu
Ketika akal tak menghiraukanmu
Ketika mulut mencercamu
Saat harapan sudah pupus dipundakmu
Di saat semua sibuk dengan dunianya sendiri
Mungkin telah terkikis rasa bangga mengakuimu sebagai tumpah darah bagi sebagian diantara mereka tapi aku tetap bangga menjadi anak Indonesia seperti banggaku menjadi seorang muslim.
Negeriku memang penuh dilema dan warna kelam kehidupan. Goresan zaman yang telah mengantarkannya dari zaman kerajaan-orde lama-orde baru-reformasi, ternyata belum mampu menciptakan kedewasaan dan kebijaksanaan. Negeriku rapuh, jauh dari kemandirian hingga harus menggantungkan diri pada negeri asing. Sampah, gizi buruk, pendidikan rendah, dan kemiskinan menjangkiti hampir diseluruh bagian tubuhnya.

Kebanggaan akan kekayaannya laksana fatamorgana, saat disadari kita ternyata miskin. Hamparan hijau sawah, pegunungan yang menjulang tinggi, lautan yang berkilauan mutiara, dan tanah subur yang menggemaskan semua hanya bayangan yang tak tersentuh.
Aku tahu itu bukanlah gurauan atau sekedar lalucon belaka yang mengiris hati. Tapi sebuah bintang masih kugantungkan di langit khatulistiwa. Sejuta harapan masih kutebar di hamparan permadani hutanmu. Impian masih kulukis dengan tinta emas peradabanmu. Aku bangga padamu.
Diantara rasa banggaku ada tanya yang mengganggu hari-hariku kenapa mereka seakan tak peduli pada negeri ini?
Suatu saat aku bertanya pada beberapa teman tentang tujuan mereka kuliah, sebagian menjawab demi ilmu. Semakin tinggi ilmu seseorang, semakin baik pekerjaan yang dapat diperolehnya kelak. Aku pun bertanya lagi pada yang lain, pekerjaan yang baik dan gaji tinggi itu semua untuk apasih? Mereka pun menjawab ya untuk kayalah, hidup makmur, bisa beli apa saja, jalan-jalan keluar negeri dsb. Tak ada yang peduli akan nasib negeriku. Memang tak banyak yang begitu egois memikirkan saku pribadi bahkan berjuang menghalalkan segala cara demi harta, popularitas dan kekuasaan.
Walau semua menutup mata dan telinga akan nasib negeriku, seorang mahasiswi FKM masih berharap 2010 Indonesia akan menjadi Indonesia sehat sebagai langkah awal untuk menuju Indonesia yang makmur, produktif dan maju.
Wajah negeriku memang sudah tak secantik dulu, kerutan demi kerutan mulai terlukis oleh gempa, longsor dan banjir. Tapi aku masih tetap mencintainya. Diumur yang tak lagi muda, tubuhmu tak sebugar dulu. Berbagai penyakit telah menggerogoti hampir disetiap bagian tubuhmu mulai dari penyakit kelaparan, kemiskinan, kebodohan sampai penyakit menular seperti korupsi yang mulai mengendemik.
Indonesia, aku percaya suatu hari kelak kau kan bangkit dari tidur lelapmu. Setetes embun harapan di tanah tandus realitas kan tetap lahirkan impian. Kuharap suatu hari kelak negeriku kan kembali cantik dan sehat agar semua aspek kembali merayu dan menerimanya.
30/11/08