Selasa, 30 Desember 2008

Cerpen


LAKI-LAKI DI SUDUT KAMAR
Sore yang beku oleh kabut di cakrawala terbias warna kelam yang menyiratkan kematian. Menggiring warna indah sunset yang jelas terbias lewat jendela kamarku ke gerbang gelap tak terbaca dan hembusan angin bagai nafas yang gerah menanti waktu. Benarkah tak ada lagi mentari pagi setelah sore ini? Tiada lagi kenangan yang akan tercipta bersama kerikil jalanan yang terseok oleh hentakan langkah? Dadaku sesak laksana tiada lagi oksigen yang tersedia untukku. Ucapan dokter Ridwan telah membom istana harapan dan cita-cita yang ku bangun di dasar hati berlinang peluh diantara doa dan jerih payah papaku.
Aku bukanlah orang yang melankolis tapi entah kenapa aku selalu tersenyum bila sore datang, mungkin karena ia menyiratkan sebuah makna bahwa matahari yang gagah dan ganas dengan panasnya pun akan redup bersama waktu. Tapi ada satu hal yang selalu kutunggu saat memandang matahari sore.

Saat terindah yang akan menawarkan senyum manis dengan sinarnya yang menyiratkan kedamaian. Bulan…Tapi mengapa sore ini bagai penutup waktu yang mengerikan? Cerianya makhluk Allah kembali ke peraduannya bagai alunan maut yang mencekam.
“Salman…lho kok duduk di sudut kamar?” Suara nenek menghentikan shimponi yang berdendang di hatiku. Ku pandangi wajah tua yang masih menyimpan guratan cantik masa muda namun menyiratkan kelelahan itu dengan senyum yang kupaksa semanis mungkin. Akankah aku selalu ada di sisi engkau di hari tuamu? tanyaku diantara suara batin yang terjepit waktu.
***
Hidup tak mesti berhenti hanya karena vonis dokter, itulah yang kuyakini sekarang. Berjalan dalam rentetan waktu yang pasti kan berhenti besok ataukah nanti. Walaupun ucapan dr. Ridwan terus terngiang di telingaku.
“Kenapa baru periksa sekarang? Berdasarkan hasil Ultrasound (USG) dan Diagnostic mammography minggu lalu serta melihat tanda-tanda klinis seperti adanya benjolan, cairan encer dari puting susu, benjolan kecil pada ketiak serta bentuk dan ukurannya. Hm … kamu terkena kanker payudara stadium IIA jenis invasive breast cancer.” Ucapan itu bagai bom yang meledak di dasar hatiku. Aku tidak percaya kucoba menyanggah keputusan dr. Ridwan dengan dalih kanker payudara hanya untuk wanita, tapi jawaban apa yang kudapat? Semua hanya kemustahilan yang teraba namun berubah menjadi realita paling memilukan.
“Kanker payudara dapat terjadi pada semua usia. Kanker payudara dapat juga terjadi pada pria, meski hanya sekitar 2 persen dari seluruh jumlah kanker payudara. Dan faktor risiko yang menyebabkan anda mengalami ini karena pertama, kakak perempuan anda meninggal karena kanker payudara berarti anda punya riwayat keluarga. Kedua, anda pernah menjalani rontgen waktu kecelakaan karena luka di bagian dada itu berarti daerah dada pernah terkena radiasi. Di tambah lagi anda merokok dan … “
Panjang lebar dokter menjelaskan faktor risiko, teraphy, kelalaian aku sampai pengobatan namun semua tak mampu menggores makna di pikiranku yang tinggal hanya satu aku menderita kanker payudara. Lalu pengobatannya… Uh, aku menghela napas panjang, masih adakah harapan untuk orang miskin sepertiku mendapat pengobatan dengan peralatan yang canggih? Semua tak mungkin dapat kujalani karena tiada biaya yang bisa kupakai. Untuk cek up saja aku harus memakai uang beasiswaku bahkan meminjam uang dari temanku, aku punya kartu sehat tapi itukan cuma dapat subsidi buat pengobatan di puskesmas saja, itu pun kalau beruntung bisa dapat rujukan ke rumah sakit. Memang susah orang miskin seperti aku. Sebuah kepasrahan pada realita yang tak mungkin untuk dipungkiri.
Aku selalu berusaha untuk tegar dan tak larut oleh kekhawatiran dan sakit yang kurasakan ini. Cukuplah kondisiku ini menjadi rahasiaku untuk seumur hidup. Kembali kumulai aktivitas seperti sediakala, namun ada yang sedikit berbeda aku semakin sering menulis dan membaca karena aku harus merampungkan sebuah buku yang sudah kutulis sejak diterima sebagai mahasiswa. Sebuah jejak langkah seorang mahasiswa kucoba rangkai lewat tulisan sebagai inspirasi bagi adik-adikku kelak. Dan bagiku menulis itu untuk keabadian.
Kuamati tiap sudut kampus yang kulewati menuju tempat seorang gadis yang telah menunggu. Melisa, gadis yang sangat mencintaiku. Aku juga sangat mencintainya tapi sebuah keputusan besar harus kuambil demi sebuah seruan keabadian. Aku tak mau ia menderita karena keadaanku kini.
***
Dinding itu bagai menghimpit seluruh jiwa raga, remuk redam semua kebahagiaanku. Mata yang menatapku seakan mengejek dan menghina diriku yang terpuruk oleh kanker payudara. Hanya sudut kamar ini yang mau melindungiku dari perih yang teramat sakit di dadaku bahkan kurasakan menikam hingga ke kelenjar getah bening.
Andai papa, Adi, Doni dan nenek tahu. Apa yang akan mereka katakan? Akan diejekkah aku? Apakah mereka akan malu? Seharusnya mereka tidak malu karena ini bukan aib hanya tidak lazim saja, bisik hatiku menguatkan aku yang telah basah oleh peluh dan air mata. Mereka tak boleh tahu, tapi rasa nyeri ini seakan mendorongku untuk jujur. Sudah lama kupendam rahasia ini, tabir itu terus kubentang untuk menghalau nasehat dokter. Aku sudah tak peduli dan hanya mampu memanfaatkan waktu yang tersisa untuk sedikit berkarya.
Aku harus tetap bertahan walaupun berat resiko yang kuhadapi. Dan akan tergolek tak berdaya kelak. Mungkin ini sebuah kebodohan, tapi inilah yang terbaik untuk menjaga kebahagiaan yang mulai tercipta di keluargaku sejak ditinggal mama. Dan aku tak mau membebani ayah dengan biaya pengobatan yang terlalu mahal buat kami. Sebenarnya aku pun malu dan kadang bertanya kenapa harus penyakit ini?
Sudut kamarku yang beku oleh suhu malam ini adalah tempat ternyaman bagiku. Dan airmata adalah sahabat pelipur lara. Mungkin terdengar terlalu melankolis. Walaupun aku gagah di barisan PASKIBRAKA, pemberani di rombongan SARS dan jenius di English Club tapi aku tetaplah laki-laki yang menangis di sudut kamar karena ketidakberdayaan oleh ganasnya kanker payudara.
***
Sinar matahari pagi telah berhasil bergabung dengan cahaya lampu kamarku saat aku terbangun. Aku lupa salat subuh lagi, jerit hati kecilku. Kusambar handuk kesayanganku dan sedikit berlari ke kamar mandi. Kurasakan perih yang teramat sakit di dadaku. Benjolan itu semakin besar dan memerah bahkan kadang mengeluarkan nanah di sekitar puting susu dan kulitnya semakin mengerut seperti kulit jeruk.
Saat melangkah keluar dari kamar mandi, rasa perih itu semakin menyiksa. Kepalaku mulai pusing dan entah apa yang terjadi di detik berikutnya. Semua telah gelap.
Aku baru sadarkan diri saat warna putih menyelimuti sekelilingku. Antara sadar dengan nafas yang tertahan, samar ku dengar ayah berseteru dengan perawat tentang urusan administrasi. Perawat bersikeras bahwa bila urusan administrasi belum selesai maka tak dapat dilanjutkan keperawatan lebih lanjut. Tentu saja papa terus ngotot apalagi melihat kondisiku. Ditambah keterkejutan yang sangat keras menghantam perasaannya. Rasa perih itu kembali mendera dan aku kembali tak mampu merasakan apa-apa lagi.
***
“Bagaimana keadaannya, paman?” Suara itu … menggetarkan hatiku, membelai lembut jiwa yang pernah rapuh. Pelan kubuka mataku “Melisa.” desahku.
“Pembedahan lancar, semua sel kanker sudah diangkat dan jaringan sekitar payudara sudah dibersihkan. Tinggal pemulihan saja. Kau sangat mencintainya? Sepertinya tak perlu kau jawab karena aku sudah tahu jawaban melihat sikap kamu padanya dan kebaikan kamu pada keluarganya.”
“Aku sudah tahu alasan dia meninggalkanku, jadi tak ada kata untuk berhenti mencintainya.”
Segores harapan kembali terukir untuk menjaring mentari pagi.

Tidak ada komentar: