Selasa, 26 Januari 2010

perjalanan pulang

“Aku harus pulang.”
“Ini masih terlalu pagi, Say.” Rona berusaha menahanku. Diciumnya pipiku. Aku pun memandangi wajah gadis itu. Gadis yang baru kukenal siang tadi. Entah kelebihan apa yang kumiliki sehingga cewek manapun yang kudekati akan pasrah pada tatapanku. Aku memang ganteng, potongan tubuhku macho, dan tatapanku tajam, begitu kata Rona saat membelai wajahku.
Ah, wanita. Bagiku semua sama. Rapuh dan mudah takluk pada pria. Telah banyak wanita yang berhasil kucumbui lalu kutinggalkan. Mereka hanya bisa menangis, menangis dan menangis.
Aku benci air mata. Mengapa dia selalu menumbangkan ketegaran hati? Bahkan wanita paling tegar yang kukenal pun selalu kalah olehnya. Ibu.
Aku tak pernah tahu arti cinta. Yang kutahu cinta itu nafsu.
“Guys, aku pulang ya.” Ku coba melepas rangkulan Rona. Aku tahu dia masih ingin bermesraan denganku. Memang masih terlalu pagi untuk seorang Ryan pulang jam 22.00.
“Ada apa sih, Ryan? Tumben mau pulang, biasanya juga kamu paling bertahan sampai pagi.” Miko heran dengan sikapku.
Aku juga tak tahu kenapa aku ingin pulang. Padahal rumah hanya goa gelap yang akan selalu gelap. Secercah cahaya enggan mampir padanya. Sedangkan disini-klub andalan kami, semua hampir ada. Tawa, canda, keindahan, kenikmatan, kemesraan dan persahabatan. Hanya cinta yang menghindari tempat ini.
“Ehmm, aku tak tahu. Tiba-tiba saja aku ingin pulang. Aku bosan. Nggak rame sih.” Ku coba memberi alasan yang masuk akal.
“Yang lain pasti kesini. Tapi mungkin larut. Leo sama Kribo cuma nonton sama pacarnya. Sejam lagi sudah disini. Dan Si Bule cuma mengantar ibunya ke rumah sakit. Mungkin sekarang sedang menuju kesini.” Miko berusaha menahanku. Mendengar alasan Si Bule belum datanglah yang mengusikku tadi.
Ibu. Kenapa wanita itu selalu menyesakkan dadaku. Aku belum bisa mencintanya. Walaupun dialah satu-satunya milikku. Mungkin.
Malam ini aku terpaksa pulang tanpa menunggu teman lainnya. Kutitip Rona pada Miko. Dan aku mulai membelah malam dengan deru CR-V merahku. Bayangan ibu berkelebat di benak. Apakah dia baik-baik saja? Ah, sejak kapan aku peduli.
Jalanan cukup sepi, tanpa ragu kutambah kecepatan. Dorongan nuansa sunyi malam memaksaku untuk terus menambah kecepatan. Aku ingin cepat sampai di rumah. Entah darimana keinginan itu muncul.
Upss…hampir saja aku menabrak gadis berambut sebahu yang hendak menyeberang. Sepertinya aku salah. Dia sudah terserempet CR-Vku.
“Kamu tidak apa-apa?” Dengan hati-hati kudekati gadis itu.
“Aku tidak apa-apa.” Dia tersenyum menatapku. Matanya jernih seperti mata ibu. Lagi-lagi wanita itu.
“Aku antar pulang ya?” tawarku sekedar basa-basi.
“Tapi rumahku jauh.”
“Oh, nggak apa-apa.” Kali ini aku tulus. Sungguh aneh. Ryan sadar!!!
Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Aku benar-benar aneh. Gadis cantik disampingku kudiamkan. Ini di luar kebiasaanku.
Kami berhenti di depan sebuah rumah sangat sederhana. Gadis itu memintaku singgah. Aku berusaha nenolak, tapi karena suara barang pecah dari dalam rumah akhirnya aku ikut masuk.
Tampak seorang laki-laki setengah baya berkursi roda berusaha bangkit meraih segelas air tapi sia-sia. Airnya tumpah tak bersisa sebelum mampir ketenggorokannya.
Gadis itu tampak panik.
“Ayah nggak apa-apa kok, Vina.” Sepertinya dia tidak mau menyusahkan orang lain.
“Kamu pulang dengan siapa?” laki-laki itu menatapku heran.
“Seorang teman, namanya…”
“Ryan.” Segera kuperkenalkan diriku.
“Suruh dia bermalam! Malam sudah larut dan sebentar lagi hujan turun.” pesan laki-laki itu sambil berlalu. Aku hanya diam. Ingin menolak tapi suara petir tak memberi celah.
Vina menunjukkan kamar tamunya lalu berlalu. Malam yang aneh. Oh, mimpikah aku?
***
“Ha… ha… ha… Kak Vina lucu deh.”
Aku menggeliat di bawah selimut. Suara tawa nyaring itu menusuk bawah sadarku. Sempoyongan kugapai pintu kamar. Mencoba menyatu dengan suasana pagi yang cerah.
Hatiku membeku dan mata pun tak berkedip menatap indahnya senyum para tuan rumah. Bercengkerama dalam dawai canda, saling berbagi dan mensyukuri kebersamaannya. Cintakah yang menyatukan mereka dalam berbagai kekurangan?
Senyum dan tatapan Vina seakan berkata,”Beginilah ibu mengajari kami tentang cinta.”
Ibu. Oh… Wanita itu, pernahkah ia mengajarkan tentang cinta padaku? Mungkin ya, tapi hatiku terlanjur kelabu. Tak ada cinta, hanya nafsu untuk memiliki dan menguasai. Terlalu tinggi Vina memaknai cinta. Merawat seorang ayah yang cacat tanpa memberi rezeki. Melindungi adik yang keterbelakangan mental. Ah, cinta inikah campur tanganmu?
***
“Aku harus pulang.” pamitku pada ketiga penghuni rumah sederhana itu. Senyum ketiganya tulus setulus senyum wanita yang mungkin gelisah menantiku. Ah, ibu.
Beribu pikiran bergelantung di peti akalku. Mencoba mencari sisi kehidupan yang bisa mengenalkanku pada cinta. Nihil. Semua pudar tak berbekas. Kutambah kecepatan CR-V merahku. Wajah ibu tiba-tiba menyusup perih dalam pandangan.
Diakah peri cintaku? Tidak. Wanita yang pernah memaksaku pergi dari rahimnya tidak mungkin mengajariku cinta. Pengkhianatan dan kebencian yang justru ku mengerti.
Mungkin bagi Vina, cinta membuatnya bahagia saat orang yang disayangi bahagia. Cinta untuk melayani. Cinta untuk melindungi. Cinta itu memberi bukan meminta. Terlalu picik bila hatiku mengangguk sedang aku hanya inginkan kepuasan.
“Tolong… tolong mundur Pak, Bu!” Hiruk pikuk di sepanjang jalan membuatku kembali ke dunia nyata.
Kecelakaan, gumamku. Kudekati kerumunan dan mencoba menyusup untuk melihat korbannya. Orang kaya berdasi terkapar karena takdir. Seorang anak kecil penjual bunga melemparkan setangkai mawar putih pada sosok yang mungkin sudah tak bernyawa itu. Entah apa maksudnya.
Hatiku miris. Ingin menangis tapi karena apa. Toh, itu bukan naluri seorang laki-laki. Aku pun tak mengenalnya.
“Aku harus segera pulang.” Kembali kususuri jalanan yang mulai macet.
***
Kupandangi seluruh lekuk rumah bercat putih itu sebelum kuputuskan untuk mengetuknya. Sepi. Kuulangi mengetuknya. Tetap tak ada yang merespon. Kucoba untuk memutar gagangnya. Ternyata tidak terkunci. Aku pun melangkah menuju kamarku. Hanya beberapa langkah aku berhenti. Kudapati ibu menangis di depan TV. Dengan ragu kudekati tempat itu. Berita kecelakaan tadi sedang disiarkan. Ternyata laki-laki itu seorang pengusaha kaya sekaligus anggota DPR. Wajar kalau diberitakan. Justru yang tak wajar adalah ibu menangis untuknya. Untuk apa? Haruskah aku bertanya?
Air mata itu juga menyayat hatiku. Aku tak mengerti. Ingin kugenggam tangannya. Tapi tidak mungkin aku melakukan itu. Biarlah dia menyadari kedatanganku. Toh, ia akan memulai bercerita seperti biasanya.
“Kamu sudah pulang, Nak?” suaranya parau semakin mendera ibaku. Aku hanya batuk kecil tanda kalau aku benar-benar ada di dekatnya. Rasa penasaranku mulai membuncah.
“Kenapa Ibu menangis?” pertanyaan itu hanya bisa menggema dalam dada.
“Kamu pernah bertanya, siapa laki-laki bajingan yang berani menjadi ayahmu.” Bibir tipis itu mulai bercerita. Dan akan selalu bercerita walaupun aku kadang tak ingin mendengarnya.
“Dia ayahmu.” Selepas dua kata itu dia beranjak pergi tanpa penjelasan. Membiarkan aku bertanya-tanya. Heran. Tak percaya. Siapa dia? Laki-laki yang meninggal itukah? Laki-laki yang telah menghilangkan ceria ibuku. Laki-laki yang memburamkan hari-hariku. Laki-laki bajingan, begitu aku menyebutnya.
Kenapa ibu menangis untuknya? Seharusnya bersyukur karena dunia ini telah kehilangan seorang pengkhianat cinta. Seperti itukah ibu memaknai arti cinta? Air matanya seakan menjawab tanyaku,” Cinta itu memaafkan bukan mendendam.”
Itukah cinta? Semua pecahan nuansa hari ini memaksaku untuk berlari. Sejauh yang aku bisa.
***
Perjalanan yang bertumpu pada kegundahan jiwaku akhirnya berhenti di kos Miko.
“Mik… Miko…” Tak ada yang menyahut. Kemana sih siang-siang begini? tanyaku dalam hati. Karena tidak terkunci dan sepi, aku masuk. Betapa terperanjatnya aku saat kubuka pintu kamar Miko.
“Rona, ngapain kamu disini?” Aku naik pitam. Walau bagaimana pun Rona masih milikku. Aku belum mencampakkanya. Rona yang sudah hampir telanjang tak tahu harus berkata apa. Segera merapikan diri.
“Seharusnya aku yang bertanya, sedang apa kamu disini?” Miko membela Rona.
“Bajingan kamu, Mik. Kamu kan tahu Rona masih milikku.”
“Kamu sudah menitipkan dia padaku. Dan seperti inilah aku melindunginya.”
“Oh ya…”
“Ya. Aku bosan hanya mendapatkan sisamu saja. Toh, Rona mencintaiku.” Suara Miko meninggi.
“Persetan dengan cinta.”
“Itu bagi kamu. Karena kamu memang terlahir bukan karena cinta.”
“Kurang ajar!!!” Aku tak bisa menahan emosiku lagi. Kepal tinjuku segera kudaratkan di pipinya. Ku tinggalkan tempat itu dengan kebencian. Kemana lagi aku harus pergi? Mungkinkah aku pulang ke rumah bercat putih itu?
***
Jejak langkah yang kutinggalkan semakin nyata. Tak mungkin aku menghapusnya. Dan itu tampak semakin terang saat aku terdampar kembali ke rumah bercat putih. Kudekati pintu yang tak terkunci. Kemana ibu?, heranku. Segera aku mencarinya. Biasanya kalau aku pulang dia sedang menonton, menjahit, atau di dapur. Tapi kenapa dia tidak ada?
Pasrah. Aku tak menemukannya. Kubawa tubuh penatku menuju kamar. Aku tercekat. Kudapati ibu tergeletak di ambang pintunya.
“Ibu!!!” Lidahku kelu. Tanpa sadar kupanggil wanita itu. Panggilan yang tak pernah singgah di lidahku.
Ketakutan menyelinap dalam hatiku. Sebuah perasaan aneh menjalar dalam aliran darahku. Hubunganku dengan ibu masih hambar. Dan kini dia mau meninggalkanku. Curang. Dia lari begitu saja dari hidupku. Tidak!!!
Kugendong tubuh kurusnya ke mobil. Melaju memburu waktu ke tempat pemberi sedikit harapan. Rumah sakit-tempat yang tak ingin kumasuki.
Sejam sudah aku menunggu tapi ibu masih belum siuman. Aku mulai panik. Hatiku getir. Rasa takut kehilangan menghantuiku. Hanya wanita ini yang setia hidup bersamaku. Sabar merawatku walau dia tak ingin. Tabah membiayai hidupku yang tak karuan. Dulunya kuanggap Miko, Kribo, Leo dan Si Bule yang paling setia bersamaku. Mereka yang memberiku semangat, kegembiraan dan kesenangan. Tapi waktu telah menjawab semuanya. Air mata yang tak pernah kukenal mencoba membasahi sedihku. Sepotong doa bergetar di lidahku. Selamatkan ibu, ya Allah.
Mata ibu mulai terbuka. Sebersit ceria mengembang di bibirku. Kupandangi ibu dengan air mata yang semakin membasahi wajahku.
“Ryan…” pelan diucapkannya namaku.
“Maafkan ibu. Kamu terpaksa ikut menanggung akibat masa laluku. Aku tak tahu apakah hatimu akan tersentuh cinta. Selama ini hanya kebencian yang kulihat dari dirimu. Tapi air mata ini menjadi tanda ada cinta dalam hatimu. Semoga untuk ibu, Nak.” Dihapusnya air mata di pipiku. Kubiarkan tangan yang mulai keriput itu menyentuhku. Sentuhannya semakin meyakinkanku kalau getar yang kurasakan ini adalah cinta. Aku mencintaimu, Bu.



Tidak ada komentar: