Rabu, 27 Januari 2010

Dan Brown, Muhidin M Dahlan, atau Andrea Hirata???


Siapa yang tidak pernah mendengar tentang novel best seller internasional The Da Vinci Code yang penuh kontroversi. Di balik kisah misteri kode-kode Da Vinci ada kreativitas tinggi dari seorang Dan Brown. Dosen Phillips Exeter Academy ini sungguh lihai dalam merangkai kisah menegangkan yang sarat ilmu, pengorbanan dan pengkhianatan.
Akhir cerita yang sulit ditebak dengan karakter tokoh Robert Langdon sebagai tokoh utama menambah daya tarik cerita novel ini. Apa yang unik dari Dan Brown di setiap novel-novelnya: The Da Vinci Code, Angels And Demons, Deception Point, dan Digital Fortress??? Keberanian mengungkap fakta.
Dan Brown tak ragu mengungkap sisi keagamaan, ilmu pengetahuan dan pemerintahan hingga ke titik-titik muslihat yang telah mengakar dan menjadi bagian pengetahuan peradaban manusia. Tak satu pun yang dia ketahui tersembunyi walau itu pahit, kejam, hitam dan benci. Semua diungkap tanpa belas kasihan pada segolongan pihak yang dengan terang disebutkan dalam novel-novelnya.
Sebuah misteri dan rahasia yang tak pernah terlintas sejenak pun dalam nalar manusia mampu dipecahkan dengan penjelasan ilmiah dan logika yang memukau.
Seusai membaca novel-novel Dan Brown, kekaguman luar biasa dengan nakal menusuk hatiku. Sungguh kerabunanku selama ini tentang Negara adikuasa, lembaga ruang angkasa dan sebuah agama besar di dunia ini menjadi sembuh. Mungkin ini hanyalah sebuah novel diantara kisah-kisah perjalanan manusia tapi bagiku semua terasa nyata dan penuh fakta yang tak terbantahkan. Keyakinan ini diperkuat dengan referensi novel yang digunakannya adalah referensi yang jelas dari perpustakaan ternama sebut saja perpustakaan kongres Vatican Codices Exhibit, dan beberapa pihak seperti The Departement Of Paintings Study And Documentation Service. Ya…seperti itulah aku mengenal Dan Brown.
Mari kita bandingkan dengan Muhidin M Dahlan, penulis satu ini pun punya kesamaan dengan Dan Brown. Keberanian. Muhidin sungguh nekad menulis sebuah buku berjudul “Tuhan, izinkan aku menjadi pelacur” sebuah memoar luka seorang muslimah yang diyakini penulis sebagai kisah nyata. Seperti halnya The Da Vinci Code, novel ini juga disambut dengan berbagai kontroversi dari banyak kalangan bahkan sumpah serapah pun tak segan dilontarkan oleh sebagian pembacanya.
Hatiku bergetar saat kisah itu mulai mengalir dalam alur bacaku. Aku telah mendengar selentingan kritik dan cerca orang yang telah membacanya.
Muhidin M Dahlan sungguh seorang ksatria dunia tulis. Tak gentar diuraikan semua yang didengarnya dari tokoh utama dengan diksi yang mendukung kekafiran kisah itu. Ya…aku mengatakan kafir karena sengketa tokoh Nidah Kirani dengan Tuhan. Pertentangan dengan cinta, lelaki, dan pernikahan disuguhkan dengan nuansa kebencian tertinggi anak manusia. Semua berawal dari kekecewaan perempuan yang telah mencapai titik tak tergapai. Sungguh kebencian mewarnai novel ini. Pengakuan-pengakuan terpajang telanjang dalam etalase tak kenal norma.
Tapi sisi lain dalam nurani sedikit mengambil hikmah dari novel yang awalnya kuanggap tak memiliki sisi positif. Mungkin demikianlah nasib manusia yang terlalu cepat menerima perubahan spiritual ke arah puncak pengabdian. Murabbiku pernah berkata bahwa Allah melihat proses yang kita jalani menuju kesempurnaan iman dan takwa. Semakin kusadari pula bahwa memang tak ada yang sempurna baik manusia, lingkungan maupun lembaga. Sebagai diri yang mengaku aktivis dakwah sebuah pikiran bijak melintas dalam nalarku bahwa bila ada hal yang tak sesuai harapan yang kita lihat dalam lingkungan atau lembaga, jangan melihat sistemnya tapi pertanyakan mungkin mereka sedang khilaf.
Sebuah ungkapan dalam novel ini yaitu terkadang dosa yang dihikmati seorang manusia bisa belajar dewasa, lebih baik dianggap angin lalu. Karena jalan menuju kedewasaan terbentang luas bila masih ada jalan jangan memilih jalan penuh dosa.
Perenungan besar yang melahirkan doa terbit dalam jiwaku setelah membaca novel ini. Aku tahu bahwa di jalan dakwah banyak yang berguguran dan futur lalu lari sejauh-jauhnya dari jalan itu tapi janganlah sampai kita terjatuh terlalu dalam hingga ke jurang gelap tanpa cahaya dan rasa. Kalaupun terpaksa gugur seperti daun, biarkanlah daun itu berdaur menjadi humus yang menyuburkan pohon dakwah. Tuhan, izinkan aku tetap teguh di jalan ini.
Lalu ada apa pula dengan Andrea Hirata???
Andrea Hirata tergolong manusia paling beruntung dengan kejeliannya melihat kehausan negeri ini akan motivasi dan inspirasi, novelnya hadir bagai air di tengah gurun. Kontroversikah novelnya hingga saya menyejajarkannya dengan kedua penulis di atas? Bukan. Tapi sosok Andrea Hiratalah yang menuai kontroversi di kalangan penulis. Kok bisa?
Di saat para penulis pemula maupun lama telah makan garam kepenulisan dengan karya yang masih dianggap biasa-biasa saja, karya Andrea langsung menggeser kursi-kursi itu dengan tetralogi Laskar Pelangi yang terpuji. Keirian menjelma dalam hati sebagian penulis karena tanpa latar belakang kepenulisan yang berwarna Andrea Hirata mampu menembus zona Best Seller bahkan film yang mengudara berkat novelnya meraih penghargaan yang luar biasa hingga para pemainnya. Ah, kau Boy sungguh pandai bermain kata. Kau menyihir kami dengan keindahan kata yang menyusun masa kecilmu.
Merekalah penulis-penulis yang tak henti menjadi buah bibir oleh para pemain kata dan pena.



Tidak ada komentar: