Selasa, 26 Januari 2010

Obesitas pada anak dalam cermin realita


Obesitas merupakan suatu keadaan fisiologis akibat dari penimbunan lemak secara berlebihan di dalam tubuh. Saat ini gizi lebih dan obesitas merupakan epidemik di negara maju, seperti Inggris, Brasil, Singapura dan dengan cepat berkembang di negara berkembang, terutama populasi kepulauan Pasifik dan negara Asia tertentu.
Prevalensi obesitas meningkat secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir dan dianggap oleh banyak orang sebagai masalah kesehatan masyarakat yang utama (Lucy A. Bilaver, 2009).
WHO menyatakan bahwa obesitas telah menjadi masalah dunia. Data yang dikumpulkan dari seluruh dunia memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan prevalensi overweight dan obesitas pada 10-15 tahun terakhir, saat ini diperkirakan sebanyak lebih dari 100 juta penduduk dunia menderita obesitas. Angka ini akan semakin meningkat dengan cepat. Jika keadaan ini terus berlanjut maka pada tahun 2230 diperkirakan 100% penduduk dunia akan menjadi obes (Sayoga dalam Rahmawaty, 2004).
Panama dan Kuwait tercatat sebagai dua negara dengan prevalensi obesitas tertinggi di dunia, yakni sekitar 37%. Setelah itu Peru (32%) dan Amerika Serikat (31%). Di Brasil, kenaikan kasus obesitas terjadi pada anak-anak sebesar 239%.
Di Eropa, Inggris menjadi negara nomor satu dalam kasus obesitas pada anak-anak, dengan angka prevalensi 36%. Disusul oleh Spanyol, dengan prevalensi 27% berdasarkan laporan Tim Obesitas Internasional (Cybermed, 2003).
Masalah obesitas meluas ke negara-negara berkembang: misalnya, di Thailand prevalensi obesitas pada 5-12 tahun anak-anak telah meningkat dari 12,2% menjadi 15,6% hanya dalam dua tahun (WHO, 2003). Tingkat prevalensi obesitas di Cina mencapai 7,1% di Beijing dan 8,3% di Shanghai pada tahun 2000 (WHO, 2000). Prevalensi obesitas anak-anak usia 6 hingga 11 tahun sudah lebih dari dua kali lipat sejak tahun 1960-an (WHO, 2003).
Potensi anak Indonesia untuk menjadi obesitas sama besarnya dengan potensi anak-anak di seluruh dunia bila keadaan lingkungan memungkinkan, begitu pula potensi untuk timbulnya konsekuensi medis sebagai akibatnya yang dapat menetap sampai ke masa kehidupan anak tersebut selanjutnya (Dedi Subardja,2004:9 dalam Wijayanti, 2007).
Obesitas di Indonesia sudah mulai dirasakan secara nasional dengan semakin meningginya angka kejadiannya. Selama ini, kegemukan di Indonesia belum menjadi sorotan karena masih disibukkan masalah anak yang kekurangan gizi. Meskipun obesitas di Indonesia belum mendapat perhatian khusus, namun kini sudah saatnya Indonesia mulai melirik masalah obesitas pada anak. Jika dibiarkan, akan mengganggu sumber daya manusia (SDM) di kemudian hari.
Prevalensi obesitas di Indonesia mengalami peningkatan mencapai tingkat yang membahayakan. Berdasarkan data SUSENAS tahun 2004 prevalensi obesitas pada anak telah mencapai 11%. Di Indonesia hingga tahun 2005 prevalensi gizi baik 68,48%, gizi kurang 28%, gizi buruk 88%, dan gizi lebih 3,4% (Data SUSENAS, 2005).
Sedangkan berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi nasional obesitas umum pada penduduk berusia ≥ 15 tahun adalah 10,3% terdiri dari (laki-laki 13,9%, perempuan 23,8%). Sedangkan prevalensi berat badan berlebih anak-anak usia 6-14 tahun pada laki-laki 9,5% dan pada perempuan 6,4%. Angka ini hampir sama dengan estimasi WHO sebesar 10% pada anak usia 5-17 tahun.
Menurut penelitian DR. Dr. Damayanti Rusli Sjarif, SpA(K) dari FKUI/RSCM bersama koleganya pada tahun 2002 melakukan penelitian di 10 kota-kota besar yaitu Medan, Padang, Palembang, Jakarta, Semarang, Solo, Jogkakarta, Surabaya, Denpasar, dan Manado dengan subyek siswa sekolah dasar. Hasilnya memperlihatkan prevalensi obesitas pada anak sebesar 17,75 persen di Medan, Padang 7,1 persen, Palembang 13,2 persen, Jakarta 25 persen, Semarang 24,3 persen, Solo 2,1 persen, Jogjakarta 4 persen, Surabaya 11,4 persen, Denpasar 11,7 persen, dan Manado 5,3 persen (Farmacia, 2007).
Terlihat dengan jelas bahwa status gizi balita di Indonesia sedang dihadapkan pada dua masalah gizi ganda, dimana pada kelompok masyarakat tertentu terjadi gizi kurang sedangkan pada kelompok yang lain dihadapkan pada kelebihan gizi (Depkes, 2007).
Masalah obesitas banyak dialami oleh beberapa golongan masyarakat, antara lain balita, anak sekolah, remaja, orang dewasa, dan orang lanjut usia. Dalam hal ini akan dibahas lebih lanjut mengenai obesitas pada anak sekolah dasar karena anak-anak dalam usia ini umumnya sudah dapat memilih dan menentukan makanan yang disukai dan gemar sekali jajan. Jajan yang mereka beli seperti es, gula-gula atau makanan lain yang tinggi kalori dan lemak serta rendah serat (Wijayanti, 2007).
Masalah obesitas pada anak adalah masalah yang kompleks. Banyak faktor yang berhubungan dengan kejadian obesitas pada anak. Ali Khomsan mengatakan bahwa hereditas (keturunan) menjadi salah satu faktor penyebab obesitas. Peluang seorang anak mengalami obesitas adalah 10% meskipun bobot badan orang tua termasuk dalam kategori normal. Bila salah satu orang tua obesitas peluangnya menjadi 40% dan bila kedua orang tuanya obesitas peluang anak meningkat sebesar 80% (Ali Khomsan, 2003:90 dalam Wijayanti, 2007).
Selain itu salah satu faktor yang berkontribusi pada kejadian obesitas pada anak adalah kurangnya aktivitas fisik. Kegiatan yang berkaitan erat dengan faktor kurang aktivitas fisik adalah lama waktu tidur. Apabila waktu tidur melebihi 8 jam maka dapat berisiko terjadinya obesitas.
Olahraga juga merupakan faktor penting pada kegiatan fisik anak. Anak yang kurang berolahraga atau tidak aktif sering kali menderita kegemukan atau kelebihan berat badan yang dapat mengganggu gerak dan kesehatan anak.
Terjadinya obesitas pada anak SD juga sering dihubungkan dengan perubahan gaya hidup dan pola makan. Hal ini seiring dengan perkembangan zaman yang menuntun anak-anak lebih cenderung senang dengan makanan di luar rumah. Masih banyak faktor lain yang berperan dalam kejadian obesitas pada anak.
Anak usia sekolah dasar memiliki karakteristik yang unik. Perkembangan fisik atau jasmani, bahasa, intelektual dan emosional sangat bergantung pada faktor-faktor dari luar. Perkembangan fisik atau jasmani anak berbeda satu sama lain, sekalipun anak-anak tersebut usianya relatif sama, bahkan dalam kondisi ekonomi yang relatif sama pula. Sedangkan pertumbuhan anak-anak berbeda ras juga menunjukkan perbedaan yang menyolok. Hal ini antara lain disebabkan perbedaan gizi, lingkungan, perlakuan orang tua terhadap anak, kebiasaan hidup dan lain-lain.
Menurut data Susenas tahun 1995 dan 1998 di Sulawesi Selatan. angka kegemukan cukup tinggi, yaitu dari 4,7% ke 6,22% dengan menggunakan indikator BB/U median baku WHO-NCHS. Hal ini menunjukkan jika masalah tersebut tidak segera diatasi, maka beban pemerintah khususnya Departemen Kesehatan akan semakin bertambah (Kanwil Depkes, 1998).
Sedangkan prevalensi obesitas pada kelompok umur 6-14 tahun berdasarkan Riskesdar 2007 di Sul-Sel terdapat 7,4% laki-laki dan 4,8% perempuan. Sebuah hasil penelitian lokal yang dilakukan oleh Fatmawati Radjab di SD Nusantara kota Makassar pada tahun 2002 menunjukkan bahwa berdasarkan hasil pengukuran antropometri dari 240 siswa dengan kelompok umur 10-12 tahun didapatkan 92 (38%) siswa yang mengalami kegemukan. Yang terdiri dari laki-laki 70 (76,1%) sedangkan perempuan sebanyak 22 (23,9%).
Obesitas yang terjadi di Indonesia bukan hanya ada di daerah perkotaan tetapi telah terjadi di daerah pedesaan. Tidak selalu harus berasal dari keluarga berkecukupan. Makan nasi melebihi porsi pun bisa saja membuat badan menjadi luar biasa subur. Anak –anak di pedesaan, yang bukan dari keluarga berkecukupan pun, sudah tercemar oleh pilihan menu (jajanan) yang sekaliber junk food, selain penganan yang serba manis, dan berlemak tinggi.
Selain itu, rata-rata bayi di desa juga sudah lebih dini dan belum waktunya diperkenalkan jenis makanan padat, sehingga badannya rata-rata melebihi ukuran seusianya, mungkin lantaran ketidaktahuan. Memberi nasi, pisang, bubur, sebelum bayi berumur 5 bulan, Salah satu penyebab kenapa banyak bayi di pedesaan yang gemuk (Nova, 2009).



Tidak ada komentar: