Selasa, 18 Mei 2010
ku kenal dia dengan nama Eri
Perjumpaan dengannya adalah hal yang biasa saja. Bahkan terlalu biasa. Dia layaknya orang kebanyakan yang kukenal. Aku tepatnya kami (para etoser) mengenalnya dengan sebuah nama lengkap khas bugis Makassar. Namanya pun biasa saja. Ah, sungguh tak ada yang istimewa pada awal jumpa.
Tapi siapa yang menyangka, saat dia mulai berbicara, mengungkapkan tautan kata serta merajut benang-benang ide dari balik tempurung kepalanya mampu menyentuh sedikit simpatiku. “Ah, dia cerdas dan luar biasa”. Semakin bertambah durasi yang kuberikan padanya ternyata mampu mengubah seleraku.”kok dia menjadi sok tahu banget.” Kelihaian lidah berucap dan tarian otak yang lincah menjadikannya tampak unik. Tanpa menunggu pengakuan dia telah menjadi selebriti hari Kamis yang tak henti dibicarakan hingga kini.
Kawan, ada yang salah dari perjumpaan itu. Egoku yang terlalu tinggi membutakan hatiku melihat permata yang sedang kemilaunya itu. Hari ini, aku tersadar bahwa dia layak menjadi primadona dalam dunia yang kugemari dan dia candu. Dunia kata layak menyambutnya menjadi pendatang berbakat.
Membaca buah pikiran dan lukisan penanya menjadi penyadaran bagiku. Kedewasaan dalam menjalani hidup yang dilakoninya sungguh jauh dari usia mudanya. Aku menjadi teringat tokoh utama film “Orphan” yang cerdas dan santun melebihi seusianya.
Ada sebuah kalimat mengawali riwayat hidupnya “miskin adalah sahabat yang mencintaimu dengan rasa sakit yang kelak menguatkanmu, menjatuhkan airmatamu untuk mengajarkan makna bersyukur dan akan berbahagia bila suatu saat kau meninggalkannya dan mengingatnya sebagai pelajaran berharga.”( Eri,26/03/10) Aku terenyuh, bagiku kata seindah ini tak mungkin lahir dari gadis mungil ini. jika bukan karena pengalaman hidup.
Kawan, beratnya hidup yang dia jalani telah membungkus jiwanya dalam ketegaran tiada tara. Takdir mempermainkan hari-harinya tanpa musyawarah. Membawanya pada banyak persinggahan dan kepahitan demi sebuah titik terang masa depan. Dan akhirnya memang akan terlalu indah. “Ada yang bertanya kenapa pemandangan dari puncak gunung itu sangat indah. Bagiku letak keindahannya bukan pada pemandangan yang tampak di depan namun pada jatuh bangun yang dilalui dibelakang yang menghasilkan afirmasi positif bahwa apa yang terbentang di hadapan kita adalah hasil dari sebuah proses pendakian yang luar biasa. Proses itulah keindahan yang sebenarnya.” (Eri,26/03/10)
Sayang, mungkin hanya waktu dan takdir baik baginya yang akan mempertemukanku pada Eri.
(bagiku sulit untuk mengagumi seseorang tapi dia memang beda dan unik.)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar