Kamis, 05 Mei 2011

MENDUNG DI SEKOLAH ARI

MENDUNG DI SEKOLAH ARI
Oleh: Ani Dzakiyah
Mentari hangat sepertinya enggan menemani langkah Ari menuju tempat menuntut ilmu. Langit masih saja berawan. Mendung pekat selaksa gumpalan bah. Tapi, Ari harus tetap melangkah dalam tapak kerikil teman seperjalanan. Ada ilmu yang menanti untuk dijamah. Dan inilah darah juang yang kan terus mendidih walau jauh dari sudut arah kota.
Lumpur mulai menebal mengelilingi sepatu bututnya. Langkah pun terasa berat. Beberapa teman Ari silih berganti melaluinya dengan deru knalpot yang bising. Tak bosan Ari melayangkan senyum dan lambaian tangan pada mereka. Tak sedikit pun rasa iri terbersit di hatinya. Meski di dasar hatinya tersimpan tekad bulat untuk seperti mereka.
Semua itu hanyalah sebuah asa. Toh, walaupun ia menangis meminta bapak ibunya takkan mampu mengindahkannya. Asa itu terlalu tinggi untuk seorang bocah miskin dalam kumal hari-harinya.
“ARI!!! Ayo cepat! Bel sebentar lagi berbunyi.” teriak Agusta sambil terus mengayuh sepedanya. Tampak adiknya terkatung-katung di boncengan. Ari pun menambah kecepatan kakinya. Berusaha memburu waktu secepat keringat di gurat wajahnya.
DUARRH
Gemuruh raksasa langit mulai menampakkan kuasanya. Dada Ari terasa bergemuruh. Sepertinya hujan bakal deras, gumamnya. Ari tetap melangkah dengan kecepatan sekilat. Tak dihiraukannya jalanan becek yang menganga. Tekadnya gigih untuk dapat mencapai sekolah tanpa basah dan telat.
Mata Ari tiba-tiba berbinar. Atap biru sekolahnya mulai tampak. Semangatnya kian membara. Tapi langit makin kehilangan cahayanya. Gumpalan-gumpalan awan gelap menaungi Ari di sela-sela kilat dan guntur yang riuh. Sepotong doa pun terlintas dalam benaknya, Rabb…tangguhkanlah hujanMu, semenit saja!!!
Keberuntungan sepertinya masih enggan berpihak padanya. Tetes air dari kuasaNya satu per satu mulai membasahi seragamnya. Angin yang biasanya lembut mulai berhembus tajam. Ari mulai berlari. Dikejarnya bayangan sekolah menghindari barisan-barisan hujan. Lalu, teng…teng…teng. 5 langkah tak menyelamatkan Ari dari lonceng tanda masuk. Dia terlambat dan basah kuyup.
Ari dengan langkah gontai mulai memasuki kelas. Namun, dia tiba-tiba berhenti dan tertegun panjang. Pak Idrus, wali kelas dan teman sekelasnya berdiri menepi. Mereka pun tertegun. Hujan bulan April sungguh memperlihatkan sikap tak bersahabatnya. Rembesan airnya menelusup masuk di cela lantai dan atap. Seharusnya ini tak menjadi peristiwa mengejutkan bagi mereka karena sudah menjadi kejadian rutin di tiap hujan. Tapi hujan kali ini telah berhasil menerbangkan beberapa helai seng atap. Air mulai menggenangi lantai. Meja dan kursi tak layak untuk menjadi alas belajar lagi.
“Gimana dong, Pak? Kita jadi belajar atau tidak?” tanya Agusta Si Ketua kelas.
“Sebaiknya kita berteduh di perpustakaan. Bapak rasa disitu aman.”
Ari hanya bisa diam dan mulai mengikuti arah teman- temannya. Ruang perpustakaan memang cukup kokoh. Wajar karena inilah gedung terakhir yang dibangun di sekolah itu. Tapi sayang, ruang perpustakaan yang luas tiba-tiba terasa sempit. Beberapa murid dari kelas lain juga sudah berkumpul. Bapak kepala sekolah pun mengambil alih suasana.
“Anak-anakku, karena hari ini tidak memungkinkan belajar dalam kelas dan beberapa teman dari kelas lain juga berkumpul disini. Jadi, kegiatan belajar mengajar diganti dengan pelajaran mengarang sambil menunggu hujan reda. Temanya tentang apa yang kalian alami hari ini.” Selepas Bapak kepala sekolah berbicara. Para murid mulai sibuk dengan penanya.
Jauh berbeda dengan Ari. Dia malah bingung harus memulai kisahnya darimana. Terlalu banyak hal yang ingin ia kisahkan. Bahkan berjubel keluh ingin dia adukan. Apa daya, ia hanyalah seorang murid miskin dari sudut terjauh arah kota. Keluh kesah dalam kisahnya pun hanya dapat membentuk sebuah karangan singkat. Entah akan terliput oleh para penguasa atau sekedar menjadi pencuci mata di majalah dinding. Mungkin pula hanya sekedar pelengkap sampah-sampah hanyut di musim hujan.
Dalam rangka hari pendidikan nasional 2011

Tidak ada komentar: