Minggu, 06 Desember 2009

Sindrom Skripsi


Semester tujuh bagi sebagian mahasiswa bukanlah masa yang perlu merenggut separuh waktu. Berbeda dengan realita yang harus dijalani Delisha dengan teman satu kampusnya. Awal semester tujuh adalah ambang batas kecepatan arus kencang tak berperasaan bagi jiwa-jiwa penuntut kebebasan dan pengagum ketidakseriusan. Termasuk Delisha yang belum siap menghadapi puncak keseriusan langkahnya.
Berbagai gejala muncul satu per satu. Sibuk, lelah, pusing, bosan, hingga stress menampakkan wajah bengis di sepanjang koridor. Dengan modal 40% keseriusan ditambah 35% kesiapan plus 55% semangat,

Delisha mencoba masuk dalam bisnis reputasi akhir itu. Dia tak ingin tergilas waktu.
Di hari yang dianggapnya akan membawa keberuntungan, Delisha mencoba mengajukan judul hasil mesin terbaik otak. Lambat tapi pasti. Pelan tapi mulus, bujuk nuraninya. Entah sudah berapa detak jantung memaksa peluh bercucuran. Menegangkan urat saraf dalam jasad kaku di depan dosen pembimbing.
Senyum itu akhirnya mengembang tapi hanya beberapa detik telah terganti oleh gelengan kepala Sang Pembimbing disusul kata manis yang takkan terlupakan.
“Ajukan judul ulang ya!”
“Ya, Pak.” Hanya itu yang mampu keluar dari lidah kelu Delisha. Terpuruk, sudah pasti. Ingin berteriak melampiaskan kecewa tapi tak mungkin. Masih terlalu tinggi rasa malu yang dijunjungnya.
Berjalan dengan kepala teertunduk sungguh tak nyaman. Tapi entah sudah sejauh mana kaki melangkah Delisha tak mampu menatap ke depan. Trauma, mungkin itu yang dirasakannya.
Sapaan hari belum mampu melembutkan rasa sesal dalam hatinya. Hingga hati nurani bertindak. Kamu tak boleh seperti ini Delisha! Ayo bangkit, tunjukkan kalau kamu bisa! Bisikan itu sangat kuat menghujam hati kecilnya.
Tak ingin tertinggal terlalu jauh, dibongkarnya semua bahan kuliah selama ini. Slide-slide kuliah, catatan dan buku dilahapnya. Judul baru itu harus segera lahir. Semua sia-sia. Ide itu seakan terpenjara di ruang beku.
Bertambah sudah gejala baru dalam arus itu. Malas. Gejala itu memaksa jiwa-jiwa lelah lebih rajin ke perpustakaan dibanding kuliah. Di titik gerah itu Delisha berusaha membangun diskusi dengan teman-temannya.
“Gimana kalau aku ambil tema kespro tapi variabelnya media Hp?”
“Bagus juga, apalagi di kampung-kampung sekarang banyak sekali remaja yang buka facebook, internet gitu pakai Hp. Siapa yang tahu kalau mereka buka hal yang berbau pornografi.” Saran Neny.
Tema itu menghantui malam-malam Delisha. Yang akhinya pupus oleh judul baru dari rumusan bahan semester lalu. Dan tanda tangan tanda acc berhasil menghiasi lembar usulan judul Delisha.
Kini dia mencoba masuk dalam gelombang itu. Berkutat dengan hal-hal baru yang sulit dia bayangkan. Kuliah semakin menuntut eksistensi penulisan skripsi. Walaupun nyali yang terpancang kuat dalam benak Delisha mulai menyusut. Dia tak sanggup dalam himpitan keseriusan dan kesibukan. Ditambah tuntutan amanah luar yang semakin menyesakkan dada. Tak mampu dia berpikir jenih dalam hembusan nafas bebas. Hatinya ingin menyesali langkah itu tapi tak ingin ada penyesalan. Dan hanya mampu bertanya “Kenapa kondisi ini seakan sindrom yang menggerogoti raga, seakan tak mampu rileks menjalani hari?”.
Delisha tak ingin mendramatisi keadaan itu. Tapi merasakan sindrom itu membuatnya harus memacu diri lebih maju. Para jiwa-jiwa lelah seakan ingin segera meninggalkan kampus yang telah membesarkan jiwanya. Lari dari tuntutan peran besar sebagai mahasiswa. Ataukah mereka sudah bosan dengan aturan-aturan yang terasa mengganggu apresiasi diri.
Jauh di lubuk hati Delisha masih banyak hal lain yang ingin dicapainya sebagai mahasiswa. Mungkin bukan dari ranah akademik, tapi ranah lain yang ingin dia coba bangun. Masih ada rasa juang yang ingin diembannya disela tuntutan keluarga dan rasa iri pada pergerakan rekan seperjuangan.
Waktu semakin membawa Delisha pada ruangan sesak. Mencoba eksis meraup banyak waktu terbuang dari sisinya.
“Sa, sibuk sekali ya? Padahal ada lomba nasional bergengsi, kamu harusnya ikut.” Sukma mencoba menyadarkan tentang karirnya. Ajang bergengsi itu memang harus ada nama Delisha, setidaknya sebagai peserta.
Rasa penasaran yang terlalu tinggi merubah konsentrasi Delisha. Arah yang telah jelas ditempuhnya berubah haluan. Aku harus ikut lomba itu, tegas hatinya.
Berteman google, kertas, pulpen, laptop dan teman-teman yang kadang membawa pada alam kegilaan imajinasi dijalaninya. Minus 3 hari membuat bantal harus iri pada tuts laptop. Draft proposal pun harus merintih mencoba mencari perhatian. Delisha semakin jauh dalam dunia imajinasinya. Kesibukan teman-teman dan nuansa hangat konsultasi dengan pembimbing tak melenakan Delisha.
“Sudah ada kupon Kak?” tanya Delisha.
“Belum, nanti Sukma yang belikan. Sudah selesai naskahnya?” Delisha hanya menggelengkan kepala menjawab pertanyaan kak Vina.
Minus 1 hari lagi pemasukan berkas lomba ditutup. Delisha telah merampungkan semuanya. Dengan langkah ringan dia pergi menunaikan kewajiban sebagai mahasiswa.
“Hai Delisha, kemana saja? Oh ya kalau tidak salah kamu dan teman satu pembimbing akan praproposal 3 hari lagi.” Ucapan Gina meruntuhkan bangunan senyum di pipinya. Delisha tak mampu menjawab apa-apa. Sungguh dia belum siap dengan semua itu. Tak pernah disangka secepat itu arus membawanya pada ambang akhir kampus.
Kembali Delisha berjuang di sisa nyali yang dimilikinya. Malu, sungguh malu pada berkas-berkas proposal yang pernah dia abaikan demi reputasi dan penghargaan yang belum pasti. Bab 2 masih terlalu gersang sedangkan bab 3 dan 4 menari tak sabar untuk segera dijamah. Hari-hari itu berguguran. Delisha pun terkapar di gulita malam.