Kamis, 10 September 2009

gadis itu bernama Mutiah


Gadis Itu Bernama Mutiah
“Woi…tahan gadis itu. Kurang ajar, mereka mau main-main dengan aparat.”
“KEJAR…!!!”
“Aduh! Lindungi yang lain!”
“Ah…”
Aku pilu. Hiruk pikuk itu terhenti di ujung batas kebebasan. Sel penjara membingkai perih medan demonstrasi siang tadi. Pantulan suara hati teman mahasiswa di bibir kami berbuncah amarah lumrah mereka yang gelap hatinya.
***
Pikiran beku yang terkurung harus meronta saat langkah-langkah perkasa memecah sunyi.
“Bawa dia masuk!!!”
Tampak seorang gadis muda yang diseret ke dalam sel. Dia sangat kusut. Wajahnya pucat menyiratkan kepahitan.

“Sekarang kamu sudah punya teman disini.” bisik Pak Sipir pada gadis itu.
“Hai manis…” Aku tercekat. Mata Pak Sipir seakan menelanjangiku. Kucoba menenggelamkan tubuh di tembok beku. Pak Sipir mencoba menjangkauku.
“Jangan… Jangan sentuh aku!!!” pekikku tertahan dalam ruang hampa.
“Jangan sentuh dia!” Gadis itu mencoba membelaku. Pembelaan yang merongsokkan wajahnya. Tangan jahil Si Sipir beralih mencengkeram wajah lugu Sang Gadis. Hanya sesaat. Karena panggilan keramat menulikan Si Sipir. Dia pun beranjak pergi.
Ku hembuskan nafas lega. Niat hati berucap terimakasih pada Sang Gadis tapi dia mematung. Aku pun memilih terpekur dalam diam. Tatapanku tak lepas dari gadis muda berkulit hitam manis itu. Bibirnya terkatup dalam diam merona basah di wajah berbaur tatapan kosong. Menampilkan siluet gadis kecil berlari riang menyongsong Sang Ayah yang tertunduk. Riang berpendar menjadi pilu di ujung lidah yang berucap kebenaran berbuah kecurangan dari mereka yang culas. Mungkin ayahnya baru saja dipecat.
Aku terus berkelana di relung tatapan kosongnya. Udara dingin menyusup menambah perih tubuh yang lebam. Kurasakan dera membanting, meremukkan impian di garis kulit yang memerah. Gadis itu tampak rapuh, terkurung dalam terali besi yang kokoh. Entah sudah berapa pukulan dan tamparan mengenai tubuh itu. Dia ingin menangis, tapi air mata telah kering. Dia ingin berteriak, tapi untuk apa toh tidak akan ada yang peduli. Dia terbelenggu karena salah yang tak pernah dia tahu.
Tiba-tiba aku terjungkal, gadis itu mengeluarkan air mata tanpa suara. Bening tetesan itu membiaskan potongan pilu tentang ronrongan tiga laki-laki berseragam. Wajah Gadis Muram, gelar dariku. Dia harus rela menerima tamparan polisi berkumis yang tampak garang. Betisnya harus kuat menahan tendangan Si Perut Buncit yang kasar. Dan punggungnya harus tetap tegak walaupun pukulan Si Kribo sangat menyakitkan. Tetapi bibir itu tetap diam karena dia tak tahu apa-apa.
***
“Hai, namaku Indah. Makasih ya tadi. Ehm, kamu siapa? Kok kamu bisa disini juga?” Kucoba merajut perkenalan sebagai awal sulaman pertemanan. Tapi gadis itu tetap diam dan larut dalam alam pikirannya sendiri.
Malam kian larut. Entah sudah berapa ribu detik telah kulewatkan bersama Gadis Muram itu dalam diam? Ingin rasanya kukisahkan suasana demonstrasi siang tadi padanya. Tentang kemunafikan, kebodohan dan sikap pengecut mereka yang menganggap aksi kami hanya karena kepentingan sepihak.
Kelopak mata yang kupaksa tetap terbuka mulai kelu. Sunyi bersama diam adalah sebuah kolaborasi menjenuhkan. Kubaringkan tubuh yang penat oleh ketidakpastian dan kaburnya keadilan. Perlahan-lahan cahaya rembulan merayap di raut muka sosok yang sejak tadi setia kupandangi.
Dia tersenyum di tengah kegalauan hati. Digerakkannya tangan dan kaki mencoba menjangkau jeruji besi. Rupanya interogasi siang tadi meninggalkan sakit yang menyiksa hingga dia hanya mampu mengaduh dan kembali diam. Sungguh pilu melihat airmatanya jatuh memecah cahaya yang sempat bertengger di wajah.
Kucoba untuk peduli, tapi…sia-sia! Dia tetap diam membekap dada, menatap dinding penjara yang bisu. Kembali kucoba berkelana jauh dalam gelombang lurus tatapan itu. Nihil. Terlalu susah untuk menembus bayangan kisahnya. Di tengah kantuk yang menyiksa, aku menonton potongan film yang berkelebat dari suara pilu Si Gadis Muram.
Gadis muda berambut sebahu tampak diseret keluar dari rumah sederhana. Dia mencoba melawan tapi tenaganya tak sebanding dengan kekarnya otot-otot aparat kepolisian. Dia pun sampai pada batas kebebasan. Pria berseragam pengayom masyarakat, berwibawa tapi picik, mendekatinya dan berkata,“Dimana ayahmu, Si Teroris itu??? Kamu pikir mudah menyusup ke dunia ini, Ha…Sok pahlawan. Sok peduli. Sok suci. Orang kayak kalian mending diam aja di rumah. Tahu apa tentang dunia politik? Untuk apa pusing mikirin HAM, Korupsi dan SARA, yang penting kita senang. Sekarang jawab dimana ayah kamu? Biar dia tahu buah perlawanannya.”
Tiba-tiba aku meringis, gigitan nyamuk menyerang pipiku. Gadis itu telah terlelap padahal potongan film itu masih samar. Jadi gadis ini adalah anak seorang aktivis HAM yang mengungkap keculasan pembebasan wilayah seribu gunung. Bukannya dia seorang penulis berbakat yang sarat perjuangan? Diakah penulis muda yang setia menggores kebenaran dari mulut ayahnya? Pertanyaaan-pertanyaan nakal mulai berlompatan di alam pikiranku. Jangan tanyakan kenapa? Aku pun tak tahu keahlian apa yang ada di balik sikap kritis mahasiswa sepertiku, dan perjuangan apa yang kurencanakan malam ini?
***
Batas kebebasan yang kuanggap menghapus impian tak berlaku bagi Gadis Muram, teman satu selku. Ujung pulpennya tak pernah tumpul menggores kisah perlawanan hingga aku terlepas dari kurungan nasib di balik terali besi.
Siapa yang menduga kelincahan lidah Sang Pengacara mampu melumpuhkan kuatnya kemunafikan pihak yang bermata gelap. Gadis Muram berambut sebahu akhirnya mampu merajut kembali mimpinya dalam indahnya kebebasan, sebulan setelah aku terbebas.
Siapa sangka diam dan deritanya melahirkan tulisan fenomenal kemanusiaan. Andai dia takut menyusul ayahnya ke kota yang konon sejuta mimpi. Andai dia kehilangan ketegaran di atas altar suci kebenaran. Para algojo berdasi tidak akan memelas di himpitan terali besi.
Sungguh tak mudah mengukir kebenaran. Tapi perlawanan tak boleh tamat hanya karena fisik dan kekuasaan karena Gadis Hebat, gelar baru yang tersangkut- membuang gelar Gadis Muram-telah membuktikannya. Kelihaian susunan kata yang berjejer rapi di tiap lembar telah mengukir sejarahnya sendiri. Melantunkan nada perlawanan yang berbuah kebenaran.
“Hadirin, teman dan sahabatku semua. Sebelum berdiri disini. Abu-abu kepastian bertiup terang menyilaukan hingga aku tak mampu menatap cerah wajah hadirin. Aku takut gadis itu tidak datang di malam puncak penganugrahan pemuda terbaik bangsa ini. Dia pantas menjadi bintang terang malam ini karena perjuangannya melalui tulisan. Gadis itu tak pernah layu dalam menebar ide-ide gemilang, ide ceria, kasih sayang dan perlawanan. Dialah inspirasiku hingga akhirnya aku mampu berdiri disini mewakili bapak menteri pemuda dan olahraga. Gadis yang kuceritakan tadi bukanlah tokoh pewayangan ataupun tokoh negeri dongeng. Dia ada diantara kita sekarang. Duduk anggun dalam balutan kebaya ungu. Gadis itu bernama Mutiah.” Kuakhiri sambutanku dengan sebuah pesan perjuangan. Tepuk tangan riuh memenuhi ruangan. Dan semua pandangan tertuju pada Mutiah, tapi gadis itu hanya diam.